Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Rambut-rambutku

3 Mei 2012   05:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 387 0
Rambut-Rambutku

Heuhhhhh……aku menghela nafas panjang sambil menatap wajahku yang semakin tirus.  Tak ada lagi pesona yang terpancar darinya, lingkar mataku pun semakin menghitam, hampir menyamai mata panda. Ku usap rambutku yang semakin rapuh, hingga meninggalkan beberapa helai disela-sela jariku. Nampaknya semakin hari-semakin habis rambutku. Mahkota bagi kaum perempuan yang menjadi satu kebanggaan yang dimiliki setiap insannya untuk menyenangkan hati sang pujaan. Dulu suamiku selalu terpesona jika aku melepas jilbabku. Namun entah dengan sekarang! Helai demi helai  rambutku jatuh tak terasa. Oleh karena itu, aku singkirkan sisir dari meja riasku, karena aku takut alat itu akan merampas keindahannya. Sayangnya usahaku hanya sia-sia saja! Walau ku hanya menggunakan jari-jariku untuk merapihkannya , namun tetap saja rambutku tak cukup kuat untuk bertahan di kulit kepalaku.
Astagfirullahaladzim…..apa gerangan yang tengah terjadi dengan tubuhku! Tak jarang aku meneteskan air mata di setiap do’aku. Aku memohon kepada-Nya untuk dicabutkan semua penyakit yang ada di tubuhku. Kalaupun ini adalah kehendaknya, aku selalu minta untuk dikuatkan. Aku tak ingin menjadi rapuh, rapuh seperti halnya dengan helai rambutku. Suatu hari aku merasa bahagia tak terkira, karena aku tak menemukan lagi hitam di kantung mataku. Aku bercermin lebih lama, bersyukur pada Tuhanku yang telah mengabulkan harapanku. Namun akupun tak pernah menyangka lingkar hitam itu kembali di ke-esokan harinya.
Apa gerangan yang tengah terjadi dengan tubuhku! Satu pekan sudah aku menutupi apa yang tengah terjadi pada diriku. Ku tutup rambutku yang layu dengan jilbab, dan ku samarkan hitam di bawah mataku dengan sedikit polesan make-up. Aku tak berharap suamiku tahu akan deritaku dan mungkin untuk sementara ini memang dia tak akan pernah tahu karena kudengar dari teman sepekerjaannya, dia akan pulang sekitar tiga bulan lagi. Aku sedikit lega mendengarnya. Bukan aku tak mengharapkan kehadiran suamiku, namun aku takut melihat muka kekhawatirannya jika ia mengetahui keadaanku saat ini. Akupun tak berani menceritakannya pada ibuku, karena ku tahu kemungkinan apa yang akan terjadi setelahnya. Ibuku yang mengidap lemah jantung, tak akan sanggup jika mendengar keluh kesahku. Biarlah ini menjadi rahasia aku dan Tuhanku. Akupun masih tetap bersyukur dengan kemurahan-Nya. Dia titipkan gadis mungil dan cantik untuk mengobati kegundahanku saat ini. tingkahnya yang lucu dan menggemaskan ketika dia belajar bicara, membuat bibirku sedikit mengguratkan senyum. Kepandaiannya menirukan suara kucing dan ayam jantan membuatku sedikit melupakan bebanku.
Akupun mencoba untuk mengetahui keadaanku, ku baca koran-koran bekas milik suamiku yang memuat tentang kesehatan. Siapa tahu tanda-tanda keluhan seperti yang aku alami tertera di artikelnya. Akhirnya akupun menemukan satu halaman artikel kesehatan di dalamnya. “Penyebab Rambut Rontok” ku baca baris demi baris namun yang ku temukan penyebabnya hanyalah karena salah memilih shampo, akibat ketombe atau kurangnya vitamin E pada kulit kepala. Akupun melanjutkan untuk membaca kelanjutan isi artikelnya.
“ Astagfirullah…. Semoga ini bukan penyebabnya!” Aku menghela nafas dalam. Ku lekas menutup Koran itu, dan aku tak ingin membacanya lagi. Aku mungkin tak akan bisa tidur jika aku menyelesaikan bacaannya. Karena ku baca disana penyebab terakhir masalah rambut rontok adalah KANKER.
Suara katak semakin ramai, sahut menyahut memanggil hujan. Nampaknya malam ini akan turun hujan lebat. Semakin malam, angin semakin kencang terdengar deritan pohon bambu di kebun depan rumahku saling bergesekan. Aku memeluk lembut bayiku yang tertidur pulas. Nampaknya dia terlalu lelah setelah seharian bermain di rumah neneknya. Aku beringsut dari ranjangku, ku ambil satu celana bayi dan satu helai kain dari dalam lemari. Harus segera diganti pesan ibuku sewaktu  bayiku masih dalam kandungan. Kulit bayi memang sensitif,  jika ompolnya dibiarkan terlalu lama kulitnya bisa iritasi. Makanya selalu ku sempatkan bangun dari tidurku untuk melihat bayi kesayanganku. Namun tidak dengan malam ini. aku begitu sulit memejamkan mata. Artikel di koran itu seakan menjadi momok yang menakut-nakutiku. Esok akan aku bakar Koran itu agar tak lagi mengganggu tidurku.
Pukul delapan pagi, bayiku belum membukakan matanya. Aku duduk di meja rias, diam untuk sejenak. Seperti dugaanku semalam, lingkar mataku semakin menghitam. Aku memang hanya dapat memejamkan mata sekitar 3 jam saja. Itupun karena aku di temani butiran tasbih dalam genggamanku. Aku memohon kepada-Nya  untuk diberikan ketenangan. Aku tak ingin merusak hari-hari bayiku di keesokan harinya. Aku sisir rambutku dengan jemari, ku coba mengatur gerakannya selembut mungkin. Aku khawatir beberapa helai rambutku ikut terbawa.
“ Nina, nampaknya kamu masih disini!” suara ibuku membuatku terkejut. Dia tengah berdiri di ambang pintu kamarku. Aku lekas membuang kerisauan dari wajahku, aku mencoba untuk tersenyum padanya.
“ Ibu…sama siapa datang kemari?”
“ Sendirian nak. Ibu tadi ketuk pintu gak ada yang nyahut, ibu coba buka saja ternyata gak dikunci.” Ibu menghampiriku, dan dia membelai rambutku. Celaka, akupun lekas berdiri. Aku takut ibuku menemukan kejanggalanku. Ibu menatapku sedikit heran seperti tersimpan sedikit kekhawatiran.
“ Ibu sudah sarapan?” tanyaku memecah kerisauan.
“Sudah nak! Kapan suamimu pulang?”
“ Kabarnya tiga bulan lagi bu!” jawabku sambil memasukan kain bekas ompol semalam kedalam keranjang cucian.
“ Astaga nina….. Rambutmu rontok ya?”
Alamak, aku belum sempat menyapu lantai kamar. Padahal di sana berserakan helai rambutku. Nampaknya aku tak bisa lagi menyembunyikan kejanggalanku.
Keesokan harinya ibuku datang membawa daun lidah buaya yang ia tanam di depan rumahnya. Akupun tak bisa menolaknya, segera ku basuh rambutku dengan air dan ku keringkan dengan handuk. Ibu membantuku mengoleskan daging daun lidah buaya itu ke rambutku. Nampak terasa seperti lendir yang membuat kulit kepalaku sedikit terasa dingin. Aku sedikit jijik, karena ini baru kali pertama aku menggunakannya. Aku pun sedikit tak tahan dengan baunya, sedikit aneh di hidungku.
Selama seminggu berturut-turut aku melakukan ritual ini bersama ibuku. Namun ibuku semakin heran, tampaknya tak ada perubahan yang berarti pada rambutku. Rambutku justru semakin menipis mungkin dalam waktu dua bulan akan semakin habis pikirku khawatir. Ibu mulai menampakkan rasa cemasnya. Belum pernah dia melihat gejala seperti ini. Pikirnya daun lidah buaya itu akan  membantu, namun kenyataannya tidak. Bukan rambutku saja yang membuat ibu khawatir, melainkan hitam di kantung mataku membuat ia semakin risau dengan keadaan putrinya sekarang. Tiga hari yang lalu ketika aku baru bangun tidur, ibuku sudah menungguku di depan pintu. Celakanya aku belum sempat menyamarkan hitam di bawah mataku. Aku hanya bisa diam ketika ia bertanya “ kamu sakit nak!”.
Sudah aku duga, kerisauan ibuku semakin menjadi-jadi. Dia pikir kejanggalanku ini bukan sakit biasa, melainkan penyakit kiriman orang yang iri dengan keluargaku. Sedari dulu memang ibuku tak begitu mempercayai dokter. Dia lebih suka mengantri di depan sebuah rumah kecil yang letaknya cukup terpencil bersama orang-orang yang juga tengah berikhtiar mencari kesembuhan. Akupun sering mendengar nama orang pintar itu, mereka menyebutnya ‘Nyi Rami’. Di kampung tempat aku tinggal, nama Nyi Rami mengalahkan ketenaran Dr. Udi Basuki yang dengan rela meninggalkan keluarganya demi buka praktek di kampung kami yang jauh dari PUSKESMAS. Hari itu ibu datang dengan sebotol air di tangannya.
“ Ayo minum air ini dulu nin! ibu baru saja dari Nyi Rami.”
Tebakanku ternyata tidak meleset. Ibuku pastilah akan mengambil langkah ini. padahal aku tidak begitu suka. Menurutku ada unsur musyrik di dalamnya. Sesuatu yang dilarang oleh agama. Apalagi pernah ku dengar dari tetanggaku, Nyi Rami itu mengucapkan mantra-mantra kemudian dia seakan kerasukan lalu memberikan nasihat pada pasien yang datang. Membuat aku semakin merinding mengingatnya. Akupun lantas menolak permintaan ibu untuk meminum air jampi-jampi itu. Ibuku bersikeras agar aku meminum air yang dibawanya.
“ Nina, ibu gak mau kamu knapa-napa. Liat matamu itu yang persis habis ditonjok orang!”
“ Ibu, nina baik-baik aja!”
“ baik-baik aja gimana? Rambut kamu tuh makin sedikit nina! Ibu khawatir ada orang usil yang gak suka liat keluarga kamu bahagia!”
“ Ibu, nanti juga sembuh sendirinya kemarin kan udah pake lidah buaya!” sanggahku berusaha untuk menolak. Aku tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa aku bersikeras menolak permintaan ibu. Jika aku mengatakannya, ibu akan merasa kecewa  dan tidak terima karena aku telah menganggapnya berlaku tidak sesuai dengan ajaran Agama. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya akupun mengalah. Ku teguk air di dalam botol itu, hanya seteguk.
“ Habiskan nina!” ibuku semakin memaksa, dan akupun mengalah. Ya Allah ampunilah dosaku kali ini. Aku tak bermaksud untuk melanggar perintah-Mu! Lantas ibuku menceritakan pesan-pesan yang didengarnya dari Nyi Rami. Menurut paranormal itu, ada orang disekitarku yang tidak menyukai keberhasilan suamiku mengais rejeki. Memang pada kenyataannya suamiku baru saja naik jabatan sebagai supervisor di perusahaan tempat dia bekerja. Aku diminta ibu untuk hati-hati dengan orang-orang disekitarku. Peringatan ibuku kali ini membuatku sedikit takut. Namun hanya pada Allah sajalah sebaiknya Aku meminta perlindungan. Selesai shalat Isya ku rebahkan tubuhku di samping bayi mungilku yang tengah tidur pulas. Nampaknya tubuhku terlalu lelah karena kemarin malam jam istirahatku berkurang. Akupun lekas memejamkan mata.
Astagfirullah…..!! nafasku terengah-engah, dan ku lihat disekelilingku. Masih di dalam kamarku! Aku menghela nafas panjang. Jarum jam menunjukan pukul satu pagi. Aku terbangun karena mimpi buruk, sungguh tidak seperti biasanya. Aku bahkan jarang bermimpi ketika aku tidur. Di dalam mimpiku aku tengah berada di dalam rumah. Namun aku tak bisa keluar karena ada jurang di depan pintu rumahku. Entah untuk apa aku ingin keluar, yang jelas aku takut untuk melangkahkan kakiku. Akupun hendak kembali masuk kedalam rumah, namun disana sudah ada lima orang yang menghadangku. Dan aku kenal mereka, mereka adalah tetanggaku. Aku terus dipojokan mereka untuk keluar. Namun aku tak bisa, karena di depanku ada jurang yang dapat mencelakai hidupku. Akhirnya akupun terbangun. Lekas ku raih butiran tasbih di samping bantalku aku bertasbih memuji nama-Nya memohon di berikan ketenangan pada hatiku. Mimpi itu masih tergambar jelas dipikiranku. Aku semakin khawatir, khawatir jika peringatan Nyi Rami itu benar. Tapi apakah aku harus berlaku seperti itu, menjauhi orang-orang disekitarku!
“ Bu Nina habis belanja ya bu? ” Sapa tetangga sebelahku.
“ Mmm..Iya.” Aku lekas masuk ke dalam rumah dan berusaha untuk tidak menatapnya. Ya Allah kenapa ketakutan itu semakin menjadi-jadi. Aku terpaksa menghindari tetanggaku itu karena orang-orang yang muncul dalam mimpiku semalam adalah dia dan keluarganya. Aku mulai berburuk sangka. Apakah benar mereka yang iri dengan kehidupan keluargaku? Jika itu benar, mereka sungguh keterlaluan sampai-sampai berusaha untuk menyakitiku. Aku tak habis pikir  kenapa masih ada saja orang yang berlaku semacam itu. Padahal semenjak keluargaku menempati rumah baru ini, kami selalu bersikap ramah kepada mereka, malah tak jarang kami membagi makanan kepada mereka. Tapi tak ku sangka, mereka sungguh picik. Astagfirullah….pikiranku mulai kemana-mana. Pikiran burukku semakin menjadi-jadi ketika ku teringat satu peristiwa yang terjadi dirumahnya. Ketika itu bayi mungilku yang baru bisa berjalan masuk ke dalam rumahnya, sementara aku yang tengah masak sama sekali tak tahu jika anakku pergi ke sana. Tidak beberapa lama terdengar teriakan dari sebelah. Pak jono tetanggaku itu, teriak-teriak memanggil namaku. Aku lekas keluar, dia memakiku habis-habisan sambil menarik anakku dengan kasar dari dalam rumahnya. Rupanya anakku tanpa sengaja memecahkan guci raksasa pajangan miliknya. Akupun meminta maaf atas kejadian ini dan berjanji akan menggantinya diawal bulan jika suamiku mengirim uang. Namun tetap saja dia memakiku dan mengatakan bahwa aku tak akan mungkin bisa mengganti guci mahal itu. Aku hanya menundukkan kepala waktu itu.
Apakah karena peristiwa itu ! pikirku dalam hati. Padahal aku telah menggantinya dengan sejumlah uang. Aku berikan pada istrinya karena aku terlanjur takut bertemu lagi dengan pak jono yang berwatak kasar itu. Ya Allah kenapa harus seperti ini. Pikiranku benar-benar tak dapat aku kendalikan kini yang tertanam di dalamnya adalah rasa takut dan kekhawatiran. Sungguh malam ini aku kesulitan untuk menutup mata, alhasil tubuhku semakin terasa lemas  dan terlihat mataku semakin mencekung. Rambutkupun berjatuhan ketika tanganku mengelusnya. Aku sungguh tak tahan lagi. Sesuatu yang selalu ku banggakan, satu-satunya keindahan yang aku miliki di mata suamiku, kini mereka berjatuhan tak lagi memancarkan pesonanya. Untuk kesekian kalinya ibuku datang ke rumah. Kali ini dia membawa bebeapa kuntum bunga yang beragam warnanya. ‘Untuk apa?’ pikirku dalam hati.
“ Nina, lekas buka pakaianmu, ibu akan memandikanmu!”
Astagfirullah….hendak berbuat apa lagi ibuku ini, pikirannya seakan sudah dikuasai oleh Nyi Rami. Akupun langsung menolaknya. Namun ibu begitu keras membujukku. Katanya dia baru saja menemui dukun itu dan dukun  itu mengatakan bahwa kekuatan ghaib yang mereka sebut santet semakin mendekat ke tubuhku. Akupun terdiam ketika mendengarnya. Ketakutan merasuk dan menguasai tubuhku. Aku takut akan kehilangan waktuku dengan bayiku, aku takut tak lagi menyenangkan suamiku, aku takut….aku takut….aku takut semuanya! Tetesan air mata tak dapat lagi ku menahannya. Aku menangis aku peluk tubuh ibuku, aku tak ingin semua ini terjadi. Aku bersimpuh dihadapan-Nya memohon ampunan atas tindakan tak masuk akal yang telah aku lakukan. Aku memohon petunjuknya, meminta jawaban atas kegundahanku saat ini. do’aku semakin larut dengan kesedihanku. Nampaknya aku tak dapat berlama-lama berkeluh kesah kepada-Nya, karena bunyi handphone di ruang tengah sedari tadi sudah memanggil-manggil pemiliknya. Aku lekas mengangkat telpon itu tanpa melepas mukenaku. Ternyata suamiku yang menelpon. Aku sedikit gembira karena aku sungguh merindukannya, aku membutuhkannya untuk mendengar keluh-kesahku, akupun berharap dia akan meringankan penderitaanku. Namun aku tak mampu mengatakannya saat ini. aku takut akan kekhawatirannya terhadapku. Dan sebelum ia menutup perbincangan kali ini, ia memberitahuku bahwa ia sudah mentransfer sejumlah uang ke rekeningku. Tuuut…tuut..tut… ku masih menggenggam handphone ku seakan tak rela jika suara suamiku pergi.
Ku titipkan bayi kesayanganku pada ibuku. Aku hendak mengambil uang itu, karena uang simpananku di rumah semakin menipis. Perjalanan yang cukup jauh bagiku. Karena ATM tak mungkin ada di desaku, untuk itu aku pergi ke kota yang memakan waktu dua jam dengan kendaraan umum. Diperjalanan pikiranku terus tertuju pada penyakitku. Aku tak tahu harus berbuat apa dengan keadaanku saat ini. Apakah aku harus terus mengandalkan ritual yang disarankan Nyi Rami melalui ibuku! Padahal aku tahu hal semacam itu menyimpang dari ajaran Agamaku. Berdosakah aku jika aku semakin meyakininya! Tentu saja iya, tapi apa yang seharusnya aku perbuat? Diam…….pikiranku diam untuk sesaat. Baiklah, aku akan pergunakan uang kiriman suamiku untuk pergi ke rumahsakit. Aku akan cari penyebab dan penyembuhnya disana.
Setelah aku mengambil uang, aku lekas pergi ke rumahsakit yang letaknya tidak jauh dari ATM. Lumayan sedikit lama aku menunggu disana, karena antrian pasien begitu banyak. Setelah 30 menit, kini giliranku. “ Selamat pagi !” sapa perempuan berbaju putih di ruangan itu. Dia adalah dokter yang akan menanganiku. Masih muda, terlihat dari kulit wajahnya yang masih kencang. Akupun lantas menceritakan perihal kejanggalan pada tubuhku. Dia menyarankan padaku untuk tes darah dan tes urine terlebih dahulu di laboratorium. Akupun langsung mengiyakan. Setelah lima belas menit, petugas laboratorium datang menemuiku dan memberikan hasil tes yang telah aku jalani. Akupun lekas kembali menemui dokter muda itu. Dia terlihat begitu serius mengamati hasil tes kesehatanku. Dan akupun semakin tegang.
“Ibu, apa ibu pakai KB?” Tanya dokter itu secara tiba-tiba. Akupun menganggukan kepala.
“KB suntik atau KB pil?”
“KB suntik dok.” Aku menjawab sedikit heran. Kenapa dokter ini menanyakan hal itu! Apakah ada kaitannya dengan sakitku kali ini. dokter itupun kembali melanjutkan.
“Dari hasil lab, keadaan tubuh ibu normal. Namun ada beberapa hormone yang nampaknya tidak stabil. Dan…saya pastikan itu diakibatkan penggunaan KB yang kurang cocok. Sudah banyak sekali kasus semacam ini saya temukan. Jadi ibu tidak perlu khawatir, karena gejala itu akan hilang setelah ibu menghentikan KB itu untuk sementara.”
Seakan ada hujan turun membasahi tubuhku yang kering. Aku merasa lega, aku merasa bebas. Kini aku dapat menghirup udara dalam-dalam. Inilah jawaban Tuhan atas kegelisahanku selama ini. Sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan. Jawaban yang sama sekali tak terlintas dalam benakku. Aku telah dibutakan oleh Nyi Rami dan ritual-ritualnya itu. Aku telah terjerumus ke dalam kemusyrikan hingga aku mempercayainya. Ya Allah ampunilah atas kekhilafan hamba-Mu ini, Ampuni hamba-Mu ini karena telah menduakan ke Agungan-Mu. Sungguh kebodohan yang telah aku perbuat. Aku memohon ampunan pada-Mu ya Rabb!
Wajahku terlihat begitu cerah, mataku tak lagi menghitam, tak Nampak sedikitpun ke khawatiran di dalamnya. Senyumpun kini kembali hadir menghias hariku pagi ini. Aku pandangi wajahku di cermin lebih lama, Tapi rambutku….., rambutku kini kembali bersahabat dengan sisir di meja riasku. Aku sungguh bersyukur memiliki semuanya, aku bersyukur telah dititipkan keindahan oleh Tuhanku yang Pemurah. Dan aku akan terus menjaganya untuk Suami tercintaku.

SELESAI

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun