Menyebut Lise, masyarakat Sulawesi Selatan pasti teringat satu desa di Kabupaten Sidenreng Rappang. Masyarakat desa tersebut sangat lugu. Setiap berbicara selalu menyisakan makna terselubung yang mengandung nilai human interest. Jika dipikirkan, apa yang mereka katakan itu – dari segi logika sederhana – benar juga.
Pernah pada tahun 1970-an, rombongan Rektor Universitas Hasanuddin yang diwakili Pembantu Rektor I Prof.dr.Hardjoeno (alm) bertandang ke desa ini. Tujuan utama kunjungan adalah melihat kegiatan mahasiswa KKN Unhas yang gelombangnya saya sudah lupa. Begitu tiba, rombongan turun dari kendaraan. Mobil diparkir di ruas jalan di desa itu, yang teratur rapi, karena mungkin baru saja mengikuti lomba keindahan desa sehubungan dengan Hari Ulang Tahun Proklamasi.
‘’Tolong mobil saya dilihat-lihat,ya,’’ seorang pengemudi berpesan kepada beberapa warga yang berdiri tidak jauh dari kendaraan itu diparkir.
Sopir pun pergi tanpa mendengar respons dari warga yang dititipi pesan. Sopir mengikuti rombongan yang melihat-lihat obyek kunjungan. Tentu saja kegiatan para mahasiswa. Tidak lama kemudian, dia kembali ke tempat mobilnya diparkir. Dia terperanjat melihat mobilnya sudah diikat dengan tali.
‘’Mengapa mobil saya diikat,’’ kata sang sopir yang bingung melihat peristiwa yang tidak lazim itu kepada beberapa orang yang kemudian mendekat.
‘’Kami ikat, karena tidak ada orang yang membawa (sopir, maksudnya) di atas mobil. Biar tidak lari kami ikat saja, karena kami juga pergi,’’ jawab salah seorang di antara mereka.
‘’Ihh.. mobil ini tidak mungkin bergerak dan lari tanpa sopir,’’ balas si sopir lagi.
‘’Wah.. tidak, Pak. Sedangkan ada orang di atas mobilnya lari, apalagi kalau tidak ada orang sama sekali,’’ sahut warga yang membuat si sopir tersenyum geli.
Dirantai
Kisah kendaraan yang diikat di Desa Lise puluhan tahun silam itu, terkenang kembali, ketika Senin (13/1/2014) saya menemukan beberapa sepeda motor dirantai di Kampus Universitas Hasanuddin, Tamalanrea, Makassar. Perantaian beberapa sepeda motor ini dilakukan, karena melanggar larangan parkir di tempat itu. Pihak kampus sudah menyiapkan lokasi di tempat khusus.
‘’Baru tadi malam dan hari ini, motor-motor ini diparkir lagi di sini,’’ kata salah seorang anggota Satpam Unhas yang berjaga-jaga di dekat motor-motor yang dikerangkeng dengan rantai besi tersebut.
Beberapa bulan terakhir, pihak birokrat kampus memindahkan lokasi parkir ke dekat Fakultas Ilmu Budaya, guna mempermolek pemandangan di samping gedung rektorat dan di depan Pusat Bahasa Unhas yang semrawut selama dijadikan lokasi parkir kendaraan sepeda motor. Tampaknya, mahasiswa malas memarkir kendaraannya di tempat yang disiapkan dengan alasan terlalu jauh dari lokasi aktivitas dan kuliah mereka. Satpam tidak punya pilihan lain dan capek menegur para mahasiswa. Satu-satunya jalan adalah merantai sepeda motor bandel ini biar tahu rasa.
Meskipun di wilayah kampus, penaatan mahasiswa terhadap aturan penataan perparkiran dan berlalulintas secara internal di kampus merah ini masih banyak diabaikan. Yang paling nyata tampak sehari-hari adalah dalam hal parkir kendaraan mobil. Contoh kecil saja, di lokasi parkir di depan gedung rektorat. Satu petak (kotak) parkir yang disediakan untuk tiga kendaraan, malah hanya dimuati dua kendaraan. Ini terjadi lantaran ada pengemudi yang seenak perutnya dan sembarangan memarkir kendaraan kapasitas tiga mobil itu hanya dua mobil. Padahal, pengemudi pasti orang-orang berpendidikan cukup baik. (dear).