Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Artikel Utama

Susahnya Mencari Sehat

30 Agustus 2014   23:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:03 220 4

Di benak teman tersebut tebersit pikiran, ternyata orang sakit itu makin ‘’massif’’. Lalu timbul pertanyaan, upaya mencegah orang sakit itu apakah benar-benar dilakukan. Juga apakah pernah juga dilakukan secara terstruktur, sistematik, dan massif (TSM), meminjam istilah dalam gugatan Pemiiihan Presiden (Pilpres) pasangan Prabowo-Hatta ke Mahkamah Konsitusi (MK) yang silam.

Memang kita semua paham dan mengerti, tidak ada orang mau sakit. Setiap orang sudah berupaya semaksimal mungkin dan beranekaragam cara untuk tidak sakit. Jika di muaranya (rumah sakit) banyak ditemukan orang sakit, tentu bukan saja karena orang tersebut menderita suatu penyakit, melainkan juga ada penyebab lain. Misalnya kecelakaan lalu lintas, jatuh di tangga, terbakar, dan sebagainya.

Boleh terjadi, adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyebabkan masyarakat memperoleh kemudahan ke rumah sakit. Tetapi di sisi lain, peran Puskesmas yang menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan pada tingkat pertama tidak maksimal.Masyarakat datang ke Puskesmas, karena tuntutan ‘’birokrasi’’ pelayanan semata demi kepentingan syarat rujukan. Orang yang sakit yang tentu saja mendambakan sehat, mustahil datang ke Puskemas yang memiliki etos jam kerja kantoran. Jika pun datang pada saat jam kerja harus dijamin dokternya tersedia. Bayangkan kalau seorang penderita yang membutuhkan pertolongan cepat datang ke Puskesmas pada malam hari?

Program vs Infrastruktur

Di Indonesia sejak dulu hingga sekarang bicara program jago dan tidak ada ‘’mati-mati’’-nya. Samahalnya dengan seorang pengamat sepakbola, jika berkomentar luar biasa, dialah yang juara. Jauh lebih pintar dari pelatih dan pemain di lapangan. Meskipun kita maklum mereka memang hanya ditakdirkan pintar berkomentar saja lantaran kemampuan membolak-balik dan menjungkir kata dan kalimat. Saat disuruh tendang bola, belum tentu sesuai dengan apa yang dikatakannya.

Begitu pun dengan program pemerintah di bidang kesehatan. Program-program yang didesain bagus-bagus dan KW (kualitas)-1 semua. Tetapi begitu diterapkan atau berurusan dengan aplikasi di lapangan, baru bermasalah. Ambil contoh Puskesmas yang di dalam tayangan TV mulai diarahkan untuk melayani penderita pada tingkat pertama, infrastruktur yang diperlukan belum maksimal dipersiapkan. Dokter yang bertugas boleh jadi satu-dua jam berkantor di situ, karena harus keliling ke tempat lain. Di tengah tuntutan kehidupan yang serba konsumtif akibat ‘’life style’’ (gaya hidup), tentu tidak banyakdokter yang bekerja benar-benar karena Lillahi taala. Demi pengabdian pada kemanusiaan tanpa pandang bulu.

Teman saya tadi akhirnya juga memeroleh kamar, meski tidak sesuai dengan peruntukannya jika dilihat golongannyasebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan haknya di rumah sakit pemerintah. Yang lucu, saat melangkah masuk ke rumah sakit, dia dihadang oleh Satuan Pengamanan (Satpam) rumah sakit, karena membawa koper pakaiannya menggunakan roda. Sang Satpam berdalih, koper beroda itu sama dengan troli yang ‘’diharamkan’’ masuk rumah sakit.

Debat kecil berlangsung. Sang istri pun menyilakan Satpam membongkar isi koper yang berisi pakaian guna meyakinkan bahwa mereka tidak membawa benda-benda yang dilarang masuk rumah sakit seperti alat-alat elektronik (rice cooker seterika, dll) atau bom. Teman saya itu berkata dalam hati, orang cari sehat, kok dicurigai sebagai teroris danbawa bom segala. Saya mengganggunya dengan mengatakan,’’ tidak usah heran, ini Indonesia. Yang mudah dipersulit dan yang sulit dipermudah’’.

Teman itu ‘’bersyukur’’ memeroleh kamar kelas III, yang tentu saja tidak sesuai dengan jatah kelas 1 yang diperuntukkan padanya. Kamar kelas III, suasananya ramai. Satu kamar terdiri atas enam orang. Memang kelompok penyakitnya sama, tetapi jeritan pasien yang tidak tahan rasa sakit jelas bermacam-macam.

‘’Ada yang menjerit, bagaikan suara histeris di dekat kubur,’’ kata anak kedua teman saya itu menimpalibincang-bincang saya dengan ayahnya.

Selera pasien di kamar pun macam-macam.Ada yang membawa pemutar musik dan menghidupkannya sehingga suara yang terdengar mulai mengusik kenyamanan penderita yang lain. Pasien yang menjerit dan mengeluh tidak dapat tidur berbaur menjadi satu dengan teman saya yang hanya menunggu hari operasi kecil nan gelisah atas suara musik itu. Inilah kehidupan kamar rumah sakit dengan porsi kelas III.

Selain kurang dipersiapkannya infrastruktur yang baik, juga urusan pelayanan yang sering tidak nyaman. Teman saya itu berkisah, ada anak seorang temannyadiinfus, berdarah. Sang ayah bertanya kepada perawat yang sedang mengurus infus, mengapa terjadi. Sang ayah yang sedang bingung dengan penderitaan anaknya terpaksa mengirim bogem mentah kepada sang perawat lantaran menjawab dengan kalimat yang tidak sopan.

‘’Tidak perlu bertanya, saya lebih tahu!’’.

Inilah potret infrastruktur dan pelayanan kesehatan kita. Orang ke rumah sakit yang tadinya memburu sehat, tambah menjadi sakit (perasaannya), karena hal-hal yang seperti ini. Setiap rumah sakit harus memiliki standar pelayanan baku. Rumah sakit kita (kebanyakan), terutama milik pemerintah, masih terus mencari pelayanan yang baku, sehingga terkesan masih dalam proses belajar.

Teman saya itu yang mengalami lika-liku berurusan dengan rumah sakit hanya mengurut dada. Pemerintahan baru Jokowi-JK harus bekerja keras dengan ‘kartu sehat’’ dan juga untuk mencapai ‘’kartu pintar’’-nya.

‘’Ternyata mencari sehat itu tidak mudah!,’’ kata teman saya tersebut ketus.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun