Jika ini yang terjadi, maka tentu saja menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, apakah Singapura ini masih layak untuk menjadi rujukan kita dalam menata kota? Sebab, untuk memastikan angkutan umum membaik, drainase dan sanitasi membaik, pengelolaan sampah juga membaik, dan sebagainya, tidak perlu meninggalkan ciri khas kota kita sendiri yang permukimannya padat, warganya suka bertelanjang dada, berkeringat. Sebab, yang penting adalah kebersihan terjaga, tidak ada genangan air kotor, dan sebagainya. Modern tapi tetap khas kota tropis.
Perguruan tinggi yang acapkali melakukan perjalanan studi ke Singapura, saya kira harus secara akademik mempertimbangkan kembali, apakah Singapura layak menjadi rujukan / contoh penataan kota yang baik? Sebab, penataan kota yang baik ternyata meningkatkan daya saing antar warganya sendiri. Sehingga, warganya menjadi lelah dengan "pertempuran" itu. Belum lagi ditambah dengan invasi ekonomi dari beberapa warga atau kelompok yang masuk ke kota shingga semakin mendorong perlawanan untuk sejajar dari warga setempat. Persaingan yang semakin berat inilah yang menyebabkan ketaknyamanan.
Kita harus kembali menggabungkan realitas dengan idealitas. Kita harus mengkompromikan ini semua. Kota modern dan cara bermukim penduduk tradisional harus dikombinasikan. Dan ini menjadi tugas dan tanggung jawab para manager kota, akademisi dan para praktisi.