Astaghfirullahal 'adzim, berkali-kali aku mencoba untuk menenangkan diriku. Aku teringat saat-saat aku bersama Nafia. Apa yang sebenarnya telah aku lakukan Yaa Rabb. Di tengah lamunanku tiba-tiba ku dengar ada yang mengetuk pintu.
"Assalamu'alaikum bi", ketuknya pelan.
Ku jawab salamnya dalam hati, lalu ku hanya diam, tak ada yang bisa ku katakan padanya.
"Abi, ini Nafia", katanya lagi.
Air mataku bercucuran entah mengapa.
"Abi, Nafia masuk yaa"
Nafiaku membuka pintu dan masuk ke dalam kamar.
"Kok lampunya belum dinyalakan bi, ini kan sudah malam bi"
"Biarkan saja," jawabku lantang.
Aku tak ingin dia melihatku basah dengan air mata.
Mendengar jawabku demikian, lantas dia diam dan ku dengar langkah kakinya keluar dari kamar.
Tak bisa ku bayangkan wajah ayunya basah dengan air mata saat mendengar jawab tegasku tadi. Nafiaku, perempuan sholehah yang kini menjadi tanggung jawabku, menjadi pelengkap hidupku.
Aku tak bisa terus-terusan melukai hatinya seperti ini. Nafiaku, bidadari surgaku. Tak mungkin aku melepasnya begitu saja. Tidak, tidak, aku tidak boleh melepasnya.
Waktu menunjukkan pukul 11 malam, sejak aku ketiduran usai pulang kerja tadi, aku belum berbicara apapun padanya. Aku tak boleh kehilangannya, tidak, dia Nafiaku, milikku.
Antara sadar dan tidak, aku mendengar kembali ada yang mengetuk pintu, lalu tiba-tiba ..
(bersambung)