Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

(FFK) Mencari Jodoh #1

18 Maret 2011   13:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 168 5
Festival Fiksi Kolaborasi Mencari Jodoh # 1

Ayu melangkah pelan menuju dapur. Dia mengintip ibunya yang sedang asyik dengan resep terbaru. Ibunya memang gemar memasak. Setiap hari ada saja resep-resep yang di praktekkan. Ayu tersenyum lega. Dia segera berlari menuju ruang tengah. Mengambil album foto lalu membukanya satu persatu. Matanya mencari foto ibunya yang terbaru. Sebulan yang lalu mereka foto bareng di sebuah studio. Walau wajah mereka berdua lumayan cantik, tapi dengan efek yang di buat oleh si fotografer. Foto mereka terlihat sangat memikat. Ayu menarik dua lembar foto. Fotonya dan foto ibunya. Setelah meletakkan album di tempatnya, Ayu bergegas menuju kamar. Dia meraih tasnya. Berdandan sebentar di depan cermin. Lalu keluar dari kamar menuju dapur. " Bu, Ayu keluar dulu ya." pamitnya sambil mencium tangan ibunya. Ibunya menatap heran. " Mau kemana? Inikan hari minggu? Biasanya kamu diam di rumah." " Ada deh. Nanti ibu juga tahu." Ayu kemudian meninggalkan rumah dengan menggunakan motornya. Ayu begitu bersemangat. Sebuah rencana tersusun dengan rapi dalam otaknya. Sudah dua bulan ini dia tidak tidur nyenyak memikirkan rencananya. Ayu ingin mencarikan jodoh untuk ibunya. Rencananya makin mantap sewaktu Rey, kekasihnya dengan tanpa perasaan memutuskan sepihak tali kasih mereka. Rencana awal yang hanya mencarikan jodoh untuk ibunya berubah menjadi mencarikan jodoh untuk dirinya juga. Dia memang masih muda, masih dua puluh lima tahun. Ibunya juga tidak memintanya cepat-cepat menikah. Tapi karena rasa sakit hati pada Rey membuat Ayu ingin membalas dendam. Dia ingin mencari pasangan yang bisa membuat Rey menyesal seumur hidup karena meninggalkannya

Rencana Ayu baru bisa terlaksana karena Ayu masih bingung mencari biro perjodohan yang sesuai dengan keinginannya. Ayu ingin proses pencariannya seperti di drama korea yang pernah di tontonnya. Pasangan yang di calonkan saling bertemu, berbincang dan saling mengenal. Kalau cocok lanjut dengan kisah berikutnya. Tapi kalau tidak, maka masih terbuka peluang untuk mencari pasangan yang lain. Dengan bantuan media maya, akhirnya Ayu menemukan biro itu. "Klinik Cinta ki Ade Bodo" itulah bunyi tulisan yang tertera pada sebuah plang yang terdapat di depan sebuah rumah, yang diakui oleh pemilik rumah sebagai klinik. Ayu memarkirkan motornya di halaman depan klinik itu. Siang itu klinik cinta ki ade bodo tidak ramai seperti biasa. Alhasil Ayu tidak perlu mengantri lama untuk bisa berkonsultasi dengan ki Ade bodo. Klinik cinta ki ade bodo memang terkenal tidak hanya senatero Rangkat, tapi juga hingga keluar rangkat. Dan kredibilitasnya tidak perlu diragukan lagi. "Ini Ki fotonya" Ayu menyerahkan foto ibundanya yang tadi ia ambil. "Sekalian minta cariin juga ya ki buat yang ini" tak lupa Ayu menyerahkan pula foto terbaiknya. Ki Ade terlihat bingung. Ia memperhatikan foto itu secara seksama, kemudian beralih kembali ke sosok yang ada di depannya. Beberpa kali ki Ade malakukan itu. "Hehehehe... iya ki, itu foto saya" ucap Ayu sambil tersenyum sipu. "oohh... mau minta di cariiin juga toh". Ayu mengangguk mantap. Ki Ade terdiam dan berfikir sejenak. "Satu minggu lagi kamu kesini, bawa juga ibumu ya" "Mau apa ki?" Tanya Ayu bingung. "Katanya minta dicariin jodoh? Ketemu sama calonnya satu minggu lagi" jawab ki Ade. "Kok bisa cepet banget ki ?" Ayu masih belum yakin dengan apa yang didengarnya. Ki Ade tidak memberikan penjelasan panjang lebar. Ia hanya meyakinkan Ayu untuk datang lagi minggu depan. Tanpa Ayu tahu, ki Ade punya banyak calon yang bisa diperkenalkan kepada ayu dan ibundanya. Namanya juga klinik cinta, ya mesti punya solusi yang cepat buat nanganin masalah percintaan para kliennya. Ayu berlalu dengan perasaan puas, tak sabar menunggu hingga minggu depan. Seribu satu rupa pria bergelayut manja diotaknya. Entah rupa yang mana yang nanti akan bertemu dengannya minggu depan, atau bahkan tak ada satupun dari wajah - wajah pria yang ada dibayangannya yang akan jadi teman kencannya nanti

Hari yang dinanti Ayu tiba juga. Tepat di hari ini Ia bersama ibundanya akan dipertemukan dengan pria yang akan menjadi "teman kencan" mereka. Tak seperti minggu lalu, hari ini suasana di halaman Klinik Cinta ki Ade Bodo ramai sekali. Mulai dari sepeda motor, onthel hingga becak terparkir rapi di halaman depan klinik cinta. Di teras rumah Ki Ade sudah nampak pemuda-pemuda yang duduk rapi. Mereka menatap Ayu dan ibunya tanpa berkedip. Bahkan terdengar bisik-bisik di antara mereka. Ayu dan ibunya melangkah masuk setelah mengucapkan salam. Ki Bodo menyambut mereka dengan senyum sumringah. " Mbak Ayu, selamat datang kembali. Ehm, ini ya ibunya?" Ki Ade menatap ibu Ayu dari ujung kaki ke ujung rambut. Matanya tak berkedip membuat ibu Ayu salah tingkah. " Ok, begini.. Eh, iya silahkan duduk dulu. Kalian duduk di sini. Nanti saya akan panggilkan, pemuda-pemuda yang berminat dengan rencana kalian. Setelah itu kalian bisa menentukan diantara mereka siapa yang akan jadi pendamping kalian." Ki Ade berbicara sambil sesekali menatap ibu Ayu. Ayu dan ibunya memang terlihat serupa. Sama-sama terlihat muda.

Memang usia Ayu dan ibunya hanya terpaut sepuluh tahun. Ibunya adalah istri kedua ayahnya yang menikah saat umur Ayu baru sepuluh tahun. Ayu menganggapnya ibu kandung dan makin sayang dengan ibunya setelah melihat betapa ibunya sangat setia menjanda tanpa ada niat untuk menikah lagi. Padahal ibunya masih sangat muda sewaktu ayahnya meninggal. Ibunya masih berusia dua puluh lima tahun ketika itu. Setiap kali Ayu mendesak agar ibunya menikah, maka ibunya akan menjawab bahwa dia sangat mencintai almarhum ayah Ayu. Ibunya tidak ingin ada lelaki lain yang hadir menggantikan posisi ayah Ayu dalam hati ibunya. " Ehm..bagaimana saya panggil mereka satu persatu? Kalau kalian masih ragu, nanti bisa dilanjutkan dengan kencan. Saling mengenal dulu." Ayu dan ibunya saling memandang, lalu Ayu mengangguk. Menyetujui perkataan Ki Ade. Ki Ade kemudian keluar sebentar lalu duduk kembali di kursinya. Masuklah peserta pertama. Tubuhnya tinggi dan tegap. Berpakaian hansip tapi lebih mirip dengan tentara. Dia juga membawa pentungan " Perkenalkan, mas ini namanya Hans, dia adalah hansip di kampung kami. Kelebihannya adalah kesetiannya menjaga keamanan di Desa Rangkat. Ciri khasnya adalah pentungan yang kemana-mana selalu di bawa. Ini bisa memberi kesan kalau mas ini sangat setia."

Hans nampak tersipu malu mendengar pujian dari Ki Ade. Tapi tidak demikian dengan pasangan ibu dan anak itu. Dari pancaran mata mereka nampak mereka terpesona dengan sosok Hans si hansip di Desa Rangkat. Peserta ke dua masuk. Kali ini pemuda itu masuk sambil tersenyum dengan menenteng kamera. Bisa ditebak pekerjaan pemuda tersebut. Kalau bukan hobi memotret, pastilah kerjaannya adalah tukang potret atau bisa juga terobsesi jadi tukang potret jadi kemana-mana membawa kamera.

" Namanya Mas Rizal. Tapi lebih terkenal dengan sebutan mas Reporter. Sesuai dengan tampilannya, maka mas ini bertugas sebagai tukang potret di Desa Rangkat. Percayalah, Ayu dan Ibu. Kalian akan puas dengan hasil jepretan mas ini. Di jamin setiap detik kalian akan dipotret. Ini bukan iklan tapi ini pujian yang benar-benar tulus dari hati." Ki ade mengedipkan matanya pada mas Reporter. Mas Reporter tahu, pasti kedipan itu bernilai rupiah atau setidaknya ada imbal jasa yang harus segera dibalas.

Mas Reporter kemudian menunjukkan keahliannnya memotret Ayu dan ibunya. Berlanjut ke peserta ke tiga. Kali ini berbeda dengan dua peserta sebelumnya. Pemuda yang masuk ini berjanggut. Dengan menggunakan peci bulat di kepalanya makin memberi kesan kalau keimanannya sangat kuat. Wajahnya sangat bersih. Ayu sudah bergetar saat melihatnya. Sepertinya pemuda inilah yang dia idamkan. " Ayu dan ibu, perkenalkan mas ini namanya Mas Erwin. Namanya sangat banyak. Tapi untuk menghindari kebingungan kalian. Cukuplan namanya, Erwin saja. Ehm, maaf mas Erwin karena ini adalah proses mencari pasangan hidup. Saya harus memberitahu Ayu dan ibunya tentang latar belakang kehidupan percintaan mas." Pemuda yang bernama Erwin itu sudah memberi kode agar ki Ade tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi gerakan matanya tidak di mengerti oleh ki Ade atau memang ki Ade yang pura-pura tidak mengerti. " Ayu dan Ibu, beberapa waktu yang lalu di desa kami di buat heboh dengan ulah mas Erwin yang menikahi dua wanita dalam tempo yang singkat." Mata Ayu dan ibunya melotot. Erwin sudah menghela nafas. Dia terlihat tak bersemangat lagi. Kenapa juga si tabib palsu ini bertingkah aneh-aneh, umpatnya dalam hati. " Tapi Ayu dan ibu tenang. Masalah mereka sudah selesai. Ternyata itu hanyalah kesalah pahaman. Sekarang ke dua wanita itu telah bebas dan mas Erwin kembali seperti sedia kala. Tapi tetap saja statusnya sekarang adalah duda atau boleh ditambahkan jadi duda keren." Erwin tersenyum lega. Dia menyesal telah terlanjur mengumpat Ki Ade. " Sebentar ki.." ucap Erwin lalu bergegas ke luar. Tidak lama kemudian dia masuk lagi dengan kantong plastik ukuran besar. " Ayu dan ibu, sebagai rasa terima kasih saya karena kalian memberi peluang bagi saya untuk mencari jodoh lagi. Maka terimalah kepiting ini. Kepiting ini tidak seberapa dibanding dengan ketulusan kalian. Semoga kalian berkenan menjadikan saya sebagai pasangan hidup kalian. Saya sebenarnya.." Erwin masih ingin berkicau dengan rayuannya tapi Ki Ade dengan sigap menariknya keluar. " Ayu dan ibu, percayalah!" teriak Erwin dari luar. Ki Ade masuk kembali dengan nafas tersengal-sengal. Maklum menarik keluar seorang Erwin bukan perkara mudah. Erwin malah sempat berpegangan kuat pada pintu seperti pasangan yang akan dipisahkan dari cinta matinya.

Peserta berikutnya masuk kali ini dua orang pemuda. Mereka berdua terlihat mirip. Sama-sama terlihat santai dan sama-sama terlihat manis. Dan sama-sama melihat Ayu dan ibunya dengan tatapan menggoda. Ayu dan ibunya tersenyum-senyum melihat mereka berdua. " Perkenalkan dua pemuda ini namanya mas Edi dan Mas Lala. Kelihatannya mereka biasa-biasa saja, tapi nanti saat ibu dan Ayu berbicara dengan mereka, pasti Ayu dan ibu akan terpesona. Mereka pandai membuat kata-kata yang indah. Puisi mereka sudah terkenal seantero Rangkat. Oh, ya apa Ayu dan ibu tahu kompasiana? Itu loh yang ada di kompas?" Ayu menggeleng. Ibunya juga. " Sayang sekali. Karya-karya mereka telah banyak di sana, kapan-kapan kalau Ayu buka internet, tolong di lacak nama mereka. Di facebook juga ada nama Desa Rangkat. Tempat Itu khusus untuk postingan desa Rangkat. Ayu dan ibu juga bisa bergabung. Jadi jangan lihat desa kami yang terpencil, tapi lihat kemajuan yang telah di capai oleh desa kami."

Pemuda yang bernama Lala terbatuk-batuk sambil melihat Ki Ade. Mungkin dia kesal karena Ki Ade melenceng dari rencana mempromosikan mereka. Ki Ade malah mempromosikan Desa Rangkat. Ki Ade tersadar. Terlalu bersemangat membuatnya lupa pada rencana awal mencarikan jodoh untuk Ayu dan ibunya. " Maaf... untuk mempersingkat waktu yang memang tidak singkat ini..saya persilahkan Mas Lala untuk lebih dulu membacakan puisinya..tolong puisinya jangan panjang-panjang." pesan Ki Ade. Wajah Lala nyaris cemberut. Bagaimana cara menyingkat puisi yang akan di bacanya? sementara kertas di tangannya ada lima lembar! Lala maju selangkah. Dia berlutut di depan Ayu dan ibunya, membuat ibu dan anak itu mundur karena kaget.

Ayu dan ibunya terkesima mendengar puisi yang begitu indah. Mereka terkagum-kagum. Ibunya bahkan mencolek lengan Ayu. Lala tersenyum senang. Sepertinya dia akan terpilih menjadi salah satu calon terkuat. Padahal masih ada tiga lembar lagi yang belum sempat di bacanya. Tanpa diminta Edi kemudian maju. Tidak seperti saat masuk tadi. Kali ini Edi mengeluarkan blankon dari dalam tasnya. Dia memakai blankon itu lalu mulai bersiap membacakan puisi. Dia tidak bersikap seperti Lala yang maju berlutut di depan Ayu dan ibunya. Edi malah mengambil posisi berdiri di dekat jendela. Pandangannya menerawang. Menatap nun jauh padi-padi yang nampak menghijau di desa Rangkat.

Entah ini entah itu aku tak tahu jitu, Itu suaramu atau pekik hatimu, Dimalam buta tanpa nama, Kasih dan kerinduanmu itu gaib, *** Aku hampir lupa diri lagipun kau tak pedulikan hatiku, Kau membiarkanku melupakan kasih, harap dan senyumu Aku tak berteriak lagipun kau berlalu Aku tak mengejar lagipun kerinduanmu menggulung.Pulang *** Kau bercanda ditebing-tebing rinduku

Manalah akan kubalas senyum cemerlangmu Sedang kebahagiaan pujaanku terlindung pantai nan perkasa *** Rindu tanpa nama Ia timbul dari kedalaman mengapung didadaku Kelap-kelip mengerdip dilangit-langit hatiku Lenguh rindu dan getar kasih kecil saja rasanya *** Digeliat jantung malam akan kucuri permata cinta perkasa Meski aku tak berdaya, aku tak berhak sombong tanpa pelukanmu Panji-panji tetap berkibar, pongah kibaran dari perca-perca kerinduan Tiadalah aku akan binasa, karena aku perkasa dalam cintamu.

Ayu dan ibunya tiba-tiba bertepuk tangan membuat tiga orang yang berada dalam ruangan tersebut tersentak kaget. Terlebih Lala. Dia merasa puisi Edi biasa saja, kenapa mereka malah tepuk tangan? Batin Lala heran. " Bagus-bagus Ki. Saya dan ibu saya sangat suka. Pemuda Rangkat betul-betul pandai membuat karya yang indah." ucap Ayu dengan semangat. Ibunya juga mengangguk tanda setuju. Lala dan Edi kemudian keluar dengan perasaan senang. Terlebih Ki Ade. Dia sudah bisa menebak kemana arah pilihan Ayu dan ibunya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun