Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Hakim Konstitusi dari Merdeka Utara

15 Desember 2014   03:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:18 153 0
Hakim Konstitusi di Indonesia diajukan oleh tiga buah lembaga yaitu Presiden, DPR dan Mahkamah Agung (MA), sebagaimana ditentukan oleh pasal 24C UUD 1945 dan dijelaskan secara rinci dengan UU Nomor 24 Tahun 2003 (tentang Mahkamah Konstitusi UU 24/2003) dan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2011). Ketiga lembaga tersebut memiliki hak secara penuh untuk memiliki dan menentukan calon yang “memiliki sikap negarawan” untuk menjadi Hakim Konstitusi.

Pasca tertangkapnya Akil Mochtar pada 2 October 2013, Presiden dan DPR berusaha memperketat proses seleksi Hakim Konstitusi melalui UU Nomor 44 Tahun 201 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi UU tersebut dibatalkan oleh MK dengan Putusan 1-2/PUU-XII/2014. Kembali, pemilihan hakim konsitusi menjadi hak mutlak ketiga lembaga tersebut.

Hakim Konstitusi dipersyaratkan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan (pasal 15 UU 8/2011). Sedangkan mekanisme Pemilihan Hakim Konstitusi harus dilakukan secara transparan dan partisipatif (pasal 19 UU 24/2003), dimana ketentuan seleksi ditentukan oleh lembaga masing-masing sepanjang dilaksanakan secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan (pasal 20 UU 24/2003).

Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi (Fadlil Sumadi) yang dilantik pada tanggal 7 Januari 2010 akan mengakhiri periode pertama sebagai Hakim Konstitusi pada 7 Januari 2015. Sedangkan Hakim Konstitusi Muhamad Alim yang telah memasuki periode kedua sebagai hakim konstitusi, akan  mencapai usia pensiun 70 tahun pada 21 April 2015 (pasal 23 (1) UU 8/2011 ). Fadlil Sumadi masih berusia 62 tahun, dan berkesempatan untuk menjadi Hakim Konsitusi untuk periode kedua.

Sesuai dengan harapan publik, dan tidak seperti periode yang lalu, dimana Ketua MA yang menunjuk Hakim Konstitusi, kali ini MA melakukan proses seleksi. Panitia Seleksi (Pansel) Hakim Konstitusi ini dipimpin oleh Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial Suwardi yang beranggotakan seluruhnya dari internal MA. Proses wawancara/ fit and proper test  dilakukan  secara tertutup, bahkan tidak mengikutkan para ahli konstitusi ataupun mantan Hakim Konstitusi yang berasal dari MA.

Setelah menelusuri rekam jejak 11 calon Hakim Konstitusi lainnya, Komisi Yudisial merekomendasikan Ahmad Fadlil Sumadi dan Manahan MP Sitompul (Kompas, 13 November 2014). Akan tetapi, periode kedua bagi Fadlil kemudian hanya tinggal kenangan. Pada 2 Desember 2014, Mahkamah Agung  memutuskan memilih Suhartoyo (hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Denpasar) dan Manahan Sitompul (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bangka Belitung) untuk menjadi Hakim Konstitusi periode 2015-2020 mengantikan Fadlil Sumadi dan Muhamad Alim. Komisi Yudisial menyatakan protes keras terhadap keputusan MA untuk memilih Suhartoyo dan meminta Presiden untuk menunda pelantikan Suhartoyo menjadi Hakim Konstitusi (Kompas, 6 Desember 2014). Suhartoyo sedang dalam proses pemeriksaan di Komisi Yudisial berkaitan pemberian Peninjauan Kembali (PK) terhadap terpidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sudjiono Timan.

Sangat disayangkan bahwa MA memilih tidak melanjutkan periode Fadlil Sumadi, salah satu yuris terbaik MA yang sangat layak menjadi Hakim Konstitusi.

Fadlil memulai karir di Mahkamah Konstitusi pada 2003, sejak awal masa berdirinya Mahkamah Konstitusi (Mahkamah). Sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Agama yang ditempatkan di Mahkamah Agung, Fadlil menjabat Sekretaris Hakim Agung sebelum “dipinjamkan” ke Mahkamah. Ketua MA Bagir Manan, mengirimkan Fadlil Sumadi untuk menjadi Panitera Mahkamah Konstitusi. Dengan segala ketiadaan hukum acara di Mahkamah, bersama Hakim Konstitusi generasi pertama, Fadlil sangat terlibat dalam proses membangun penanganan perkara serta membantu Hakim Konstitusi pada bidang justisial.

Periode 2003 - 2008, periode dimana Hakim Konstitusi tidak dipusingkan dengan sengketa pilkada, sebagai Panitera, Fadlil terlibat dalam seluruh Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH) untuk membantu Hakim Konstitusi dalam perumusan putusan. Setiap legal scholar sungguh ingin berada dalam RPH Hakim Konstitusi, ingin mendengar perdebatan dari para Hakim Konstitusi dalam memutus suatu pengujian undang-undang, dan Fadlil mendapat kesempatan istimewa itu. Tak dapat disangkal, periode tersebut adalah proses pembelajaran terbaik bagi Fadlil.

Tahun 2008-2010, Fadlil kembali ke MA untuk menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta. Dengan berakhirnya periode Maruarar Siahaan pada Desember 2009, tanpa berpikir panjang, Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa kembali memanggil Fadlil Sumadi untuk menjadi Hakim Konstitusi pada tahun 2010.

Keputusan MA untuk tidak melanjutkan periode Fadlil Sumadi patut dipertanyakan. Constitutional moment pasca perubahan UUD 1945, mempengaruhi MA untuk mengirimkan calon-calon terbaiknya untuk menjadi Hakim Konstitusi pada generasi pertama. Tiada yang meragukan integritas dan kecerdasan dari Hakim Konstitusi generasi pertama yaitu Prof Laica Marzuki, Dr Maruarar Siahaan dan Soedarsono. Pemerhati hukum tata negara dan konstitusi, akan bersepakat bahwa generasi pertama Hakim Konstitusi merupakan generasi terbaik dari Hakim Konstitusi. Dan Mahkamah Agung pantas mendapat kredit untuk hal tersebut, karena mereka mengirimkan calon-calon terbaiknya.

Akan tetapi, keinginan untuk mengirimkan calon terbaik ke Mahkamah Konstitusi semakin berkurang. Meningkatnya institutional legitimacy, dan peran penting yang dimainkan oleh Mahkamah, membuat MA cenderung tidak lagi mengirimkan calon terbaik menjadi Hakim Konstitusi.

Sebagai seseorang yang mengerti perjalanan Mahkamah sejak berdirinya, dan telah “dididik” di Mahkamah hampir selama 10 tahun, institutional memory Mahkamah melekat di benak Fadlil sehingga tidak heran, Fadlil merupakan salah seorang yang paling banyak berdebat dengan para Hakim Konstitusi lainnya dalam Rapat Permusyawaran Hakim. Fadlil mungkin dianggap tidak menjadi “agen” yang baik bagi MA dalam memutus perkara yang berkaitan dengan kepentingan MA. Pada

Putusan 34/PUU-XI/2013, Mahkamah mengabulkan permohonan yang diajukan Antasari Azhar yang menyebabkan diperbolehkannya peninjaun kembali (PK) berulang di MA. Fadlil mendukung putusan ini dengan tidak menjadi dissenter.

Pada putusan lain yang berkaitan dengan pengujian formil UU Mahkamah Agung (UU 3/2009), yang salah satunya mengatur pasal krusial perubahan syarat pensiun dari 67 ke 70 tahun (berkaitan dengan keterpilihan Harifin Tumpa menjadi Ketua MA), Fadlil juga tidak menjadi “agen” yang baik dengan mendukung putusan mayoritas yang menyatakan pembentukan UU MA  tidak memenuhi syarat formil, akan tetapi “demi asas kemanfaatan, UU tersebut tetap berlaku” (Putusan 27/PUU-VII/2009). Peran sebagai “agen” untuk melindungi MA, diperankan dengan baik oleh Arsyad Sanusi dan Muhamad Alim dengan menolak (dissenting) putusan ini dan berpendapat pembentukan UU Mahkamah Agung tersebut tidak melanggar syarat formil.

Independensi Fadlil untuk memutus sesuatu yang dia percayai, dan menempatkan dirinya berseberangan dengan institusi dimana ia berasal, mungkin kurang mendapat tempat di hati pimpinan MA.

Konon kabarnya, sifat Fadlil yang tidak suka “sowan” ke MA mungkin menjadi pertimbangan “ketidakpatuhan” Fadlil kepada institusi MA. Pada saat fit and proper test dilaksanakan di MA, Fadlil baru mendapat undangan untuk hadir 30 menit setelah waktu fit and proper test berlangsung. Fadlil baru tiba di MA satu jam setelah fit dan proper test selesai. Pada sore harinya, MA mengumumkan kedua calon Hakim Konstitusi untuk periode 2015-2020.

Sejarah institusional MK telah membuktikan bahwa Mahkamah memiliki peran yang sangat signifikan, tidak sekedar memberikan perlindungan konstitusional kepada setiap individual rakyat Indonesia akan tetapi juga sebagai penyeimbang kekuataan politik diantara institutisi konsitutional di Indonesia. Menyadari kekuatan politik yang berkecamuk pada saat ini, lembaga Mahkamah Konstitusi yang tidak sekedar profesional, tetapi berwibawa dan mandiri dalam memutus, merupakan hal yang diperlukan bangsa ini. Sayang, Mahkamah Agung melepaskan momentum baik untuk menentramkan Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun