Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Mencari Ketua MK

6 Januari 2015   14:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 123 0
Panitia Seleksi (Pansel) Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Prof Saldi Isra telah merekomendasikan Dr. I Dewa Gede Palguna dan Prof Yuliandri sebagai calon Hakim Konstitusi pengganti Hamdan Zoelva yang akan mengakhiri masa jabatan 5 tahun pertama sebagai Hakim Konstitusi pada hari Selasa, 6 Januari 2015. Meskipun Hamdan Zoelva yang dilantik sebagai Hakim Konstitusi dari Pemerintah pada tanggal 10 Januari 2010, akan tetapi surat pengangkatan beliau ditetapkan pada tanggal 6 Januari 2010. Secara umur dan periode, Hamdan Zoelva masih dapat dipilih untuk periode kedua, asalkan bersedia untuk mengikuti jalur yang telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi, melalui Panitia Seleksi (Pansel). Memang,tiada kewajiban bagi Presiden Jokowi untuk menetapkan pilihan hanya kepada I Dewa Gede Palguna atau Yuliandri. Akan tetapi, dengan terbentuknya Pansel telah menunjukkan keberpihakan Presiden Jokowi terhadap prinsip transparasi dan partisipasi publik, yang mana hal tersebut sesuai dengan roh Pasal 19 dan 20 UU Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003). Pada tahun 2008, pada saat pencalonan kedua, Jimly Asshiddiqqie juga menolak untuk mendaftarkan diri dan diseleksi melalui suatu Pansel. DPR akhirnya tetap mencalonkan Jimly dengan membuka tenggat waktu dan procedure yang berbeda dengan kandidat lainnya. Akan tetapi, constitutional moment and political context pada tahun 2008 dan hari ini sangat berbeda. Dapat dipastikan, bahwa Hamdan Zoelva tidak akan terpilih untuk periode berikutnya.

Pada Workshop tentang Mahkamah Konstitusi Indonesia yang diadakan di University of New South Wales dan University of Sydney pada 11-12 Desember 2014 yang lalu, dalam paper yang saya sampaikan, saya berpendapat bahwa Hamzan Zoelva mampu untuk mengembalikan reputasi Mahkamah kembali kepada keadaan sebelum tertangkapnya Akil Mochtar. Salah satu indikator keberhasilan Mahkamah yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva adalah keberanian Mahkamah untuk memutus (1) pemilihan umum serentak; (2) mengembalikan sengketa Pilkada kepada Mahkamah Agung; (3) menyelesaikan sengketa pemilihan presiden dengan menolak permohonan Prabowo - Hatta.

Prof Mark Tushnet, Harvard Law School, sebagai commentator dari paper saya berpendapat bahwa ketiga putusan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai indikator bahwa Mahkamah telah kembali kepada posisi semula. Pada Putusan Sengketa Pilpres, Mahkamah mengambil sikap yang sama dengan publik (upheld popular vote) berkaitan dengan tetap menyatakan pasangan  Jokowi - JK sebagai pemenang pilpres. Artinya, tidak perlu keberanian / institutional strength untuk berpendapat sama dengan publik. Sedangkan Putusan Pilkada, Tushnet berpendapat “regional election decision is strategic retreat, strategic defence, and is not indicator of strength”. Saya dapat menerima kritik Tushnet tersebut. Terkait Putusan Pemilu Serentak, putusan tersebut bukanlah Putusan yang ditetapkan pada kepemimpinan Hamdan Zoelva. Putusan tersebut ditetapkan pada 26 Maret 2013, pada masa kepimpinan Mahfud MD, dan dibacakan pada 23 Januari 2014 pada masa kepemimpinan Hamdan Zoelva.

Meskipun Mark Tushnet berpendapat bahwa Mahkamah dalam kepemimpinan Hamdan Zoelva masih belum mencapai recovery stage, tapi saya tetap berpendapat bahwa Hamdan Zoelva telah melakukan sesuatu yang significant untuk mengembalikan reputasi Mahkamah.

Putusan mengembalikan sengketa pilkada kepada Mahkamah Agung, meskipun itu dianggap sebagai strategic defence, Hamdan berusaha untuk “memurnikan Mahkamah”dan mengembalikan mahkota MK yang telah memudar. Sejak memulai memimpin MK, Hamdan sadar betul perlunya Mahkamah kembali kepada original intent pembentukannya (Interveiw, November 2013). Sejak Hamdan memimpin Mahkamah, Hamdan juga terlihat tidak seaktif seperti Ketua Mahkamah terdahulu dalam memberikan komentar terhadap kasus-kasus tertentu ataupun memberikan wawancara di televisi.

Saat menguji UU MD3 berkaitan dengan pengaturan cara pemilihan Pimpinan DPR serta pimpinan badan/komisi di DPR, Hamdan berhasil memimpin para Hakim Konstitusi lainnya untuk tetap independen dan menolak permohonan yang diajukan oleh PDI-P (Putusan 73/PUU-XII/2014). Sebagaimana kita ketahuin bersama UU MD3mengakibatkan PDI-P sebagai Pemenang Pemilu 2014 tidak mampu menjadi Ketua DPR dikarenakan perubahan pengaturan tentang tata cara pemilihan Pimpinan sebagaimana diatur dalam UU MD3. Penolakan permohonan tersebut merupakan salah satu bukti indepedensi Hamdan dan para Hakim Konstitusi lainnya dalam memutus, meskipun mereka sadar bahwa Presiden Jokowi dan koalisi partai politik pendukung Presiden Jokowi akan mengingat penolakan tersebut. Apabila Mahkamah mengabulkan putusan tersebut, kekisruhan politik di DPR yang berlarut tidak akan terjadi dan Presiden Jokowi dapat memimpin dengan nyaman. Pasca putusan UUMD3 ini, Hamdan sadar bahwa dengan menolak permohonan tersebut, kecil kemungkinan dirinya akan dipilih kembali oleh Presiden Jokowi.

Apabila Hamdan Zoelva tidak lagi terpilih, maka Mahkamah harus memilih Ketua Mahkamah yang baru. Prof Denny Indrayana, yang juga hadir pada Workshop tersebut serta bertindak sebagai comentator terhadap paper saya berucap. “Prof Jimly itu akademik, tapi punya sense politik. Prof Mahfud itu akademik juga, tapi sangat kental ilmu politiknya. Setelah itu, Mahkamah dipimpin oleh para praktisi politik (Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva)”.

Salah satu pendapat kenapa Prof Jimly dapat memimpin Mahkamah dan membawa Mahkamah berlari kencang sejak ia terbentuk, karena pada saat tak satupun diantara kita mengerti apa Mahkamah Konstitusi itu, Prof Jimly telah mempelajari tentang Mahkamah (pada saat proses pembahasan di PAH I MPR). Intelectual academic yang beliau miliki, menyebabkan teraihnya respect dari para Hakim Konstitusi lainnya.

Prof Mahfud juga memiliki latar belakang yang tidak jauh berbeda. Nama besar yang beliau miliki sebelum menjadi Hakim Konstitusi tak tertandingi oleh Hakim Konstitusi lainnya. Judicial activisim yang dilakukan oleh Jimly saat memimpin Mahkamah, membuat Presiden harus memilih calon Ketua Mahkamah yang bukan Jimly dan Mahfud menikmatin kesempatan tersebut.

Sampai dengan saat ini saya tidak mengerti kenapa Akil Mochtar bisa terpilih menjadi Ketua Mahkamah. Pada tulisan saya sebelumnya, saya berkira bahwa “kepribadian Akil yang easy going, suka bercanda dan great personality membuat dirinya disenangin oleh Hakim Konstitusi lainnya”. Sebagai seseorang yang diduga telah menerima korupsi (Refly Harun, MK Masih Bersih? Kompas, 2010) bahkan Mahkamah membuat Komisi Etik untuk memeriksa Akil, seharusnya Akil memiliki hambatan moral untuk menjadi Ketua Mahkamah. Akan tetapi, para Hakim Konstitusi lainnya masih merasa “MK masih bersih” pada saat itu.

Hamdan Zoelva menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi dengan situasi yang tidak menyenangkan. Setelah hampir 6 bulan menjabat Wakil Ketua Mahkamah mendampingin Akil Mochtar, Hamdan menjadi Ketua pasca tertangkapnya tangannya Akil. Krisis kepercayaan terhadap Mahkamah bahkan menyebabkan Hakim Konstitusi lainnya urung untuk menjadi Pimpinan Mahkamah Konstitusi. Prof Arief Hidayat, yang baru dilantik menjadi Hakim Konstitusi mengantikan Prof Mahfud MD  pada 1 April 2013 langsung menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, pada 6 November 2013.

Apabila Mahkamah harus memilih Ketua Mahkamah yang baru, saya berpendapat Hakim Konstitusi tersebut harus memiliki kriteria sebagaimana berikut. Pertama, harus punya kesadaran bahwa“Mahkota Mahkamah” telah pudar. Dan mengembalikan kecermerlangan Mahkota adalah dengan membuat putusan dengan legal reasoning yang dapat dimengerti (meski belum tentu dapat diterima). Kedua, tidak berkeinginan mencari jabatan lainnya setelah terpilih menjadi Ketua Mahkamah. Apabila diperlukan, dapat membuat surat penyataan, tidak bersedia dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden pada pilpres berikutnya. Ketiga, berani untuk tidak populer. Ketua harus mampu mendorong kepastian hukum dan perlindungan konstitusi bagi seluruh rakyat Indonesia. Pilihan terhadap suatu putusan meski harus berseberangan dengan banyak pihak, adalah sebuah pilihan yang tak terhindarkan. Keempat dan terakhir, tidak genit untuk tampil di televisi, majalah bahkan temu wicara konstitusi. Mahkamah telah cukup terkenal dan biarkan para pengajar hukum tata negara yang berbicara tentang apa itu Mahkamah Konstitusi dan Putusannya. Hendaklah fokus Hakim yang selama ini didengungkan (membaca,menulis, dan memutus) tidak sekedar sebuah pencitraan.

Selamat Jalan Pak Hamdan. Terima kasih atas pengabdian yang diberikan. Selamat datang Ketua Mahkamah yang baru. Semoga Indonesia menjadi lebih baik dengan peran baru mu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun