Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Ibu Jagoan di Hidupku

23 Desember 2014   09:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:39 63 2
Karyati, wanita yang lahir pada tahun 1954 silam adalah pekerja keras, kini berusia 60 tahun, sosok wanita pemberani dan pantang menyerah yang biasa kupanggil sebagai ibu.

Semua orang pasti menyayangi ibunya, termasuk juga aku, anak kelima dan terakhir yang dimiliki oleh ibu.

Ibuku memulai hidup bersama orangtuanya beserta adiknya yang berjumlah 9 orang di Tasikmalaya, Jawa Barat. Bukan berasal dari ningrat apalagi berdarah bangsawan. Ibuku lahir ditengah keluarga sederhana yang penuh kehangatan. Sedari kecil ibuku telah menjadi perempuan kecil yang tegar sebelum berangkat ke sekolah, pasti beliau membantu pekerjaan orang tuanya dirumah, beliau selalu bangun sebelum adzan subuh berkumandang karena tugas membantu mencuci dan memasak itu menjadi kewajibannya.

Tak hanya sampai disitu,beliau menempuh jarak sekolah yang cukup jauh dari rumah, dan beliau tempuh dengan berjalan kaki, sampai melewati pasar pancasila yang cukup jauh dari rumah. Tak hanya sekolah formal yang beliau jalani, siang selepas pulang sekolah, biasanya ibu melanjutkan dengan mengikuti sekolah agama ditempat yang berbeda, ibu harus menempuh jarak yang cukup jauh pula sampai melewati persawahan dan juga bukit.

Selepas pulang sekolah, beliau pergi kerumah tetangga untuk membantu pengemasan lada untuk dijual, dimana setelah itu beliau mendapatkan upah yang akan beliau tabung dan disisihkan pula untuk membeli jajanan. Dengan segudang aktivitas selain bersekolah dan juga jarak yang ditempuh cukup jauh, tidak pernah menyurutkan langkah ibu untuk berprestasi disekolah, beliau beberapa kali menjadi perwakilan sekolahnya dalam perlombaan, contohnya lomba marathon tingkat kabupaten.

Ibuku, bersekolah hanya sampai Sekolah Menengah Pertama, karena kondisi finansial keluarga dan saat itu juga beliau mempunya 9 orang adik. Ibuku tak ingin tinggal diam, beliau mengikuti kursus gratis menjahit pada saat itu. Belajar dengan tekun dan penuh semangat itulah yang beliau lakukan, sehingga beliau mahir menjahit sampai dengan sekarang.

Lalu ibuku menikah dengan seorang arsitek di tasikmalaya bernama Kemas (Alm) yakni bapakku tercinta. Ibu dan bapakku lalu hijrah ke Jakarta, ibuku mempunyai lima orang anak yang pertama bernama Heny Rodiani, yang kedua bernama Herlan, ketiga bernama Cecep Wahyudin(Alm), keempat bernama Ellis Nurliani dan kelima adalahaku, Elfi Handayani.

Ayahku bekerja disebuah perusahaan jasa arsitek sampai akhirnya beliau terkena stroke, hal itu membuat ibuku memutar otak untuk membiayai hidup kami, anak-anaknya. Sejak ayah mengalami stroke, ibuku berjualan sayur dirumah. Berangkat kepasar pukul 02.00 wib setiap harinya, dimana kebanyakan orang sedang tertidur lelap, beliau sudah berangkat kepasar membeli sayuran untuk dijual dirumah. Angin malam, kegelapan dan kesunyian malam, tak pernah beliau hiraukan, yang ada hanya bagaimana untuk bertahan hidup dan memberikan rezeki yang halal untuk anak-anaknya.

Tahun 2000 saat aku masih duduk di kelas dua bangku Sekolah Dasar, ayahku meninggal, setelah tujuh tahun mengalami stroke. Kakak-kakaku sibuk mencari kerja kesana kemari untuk membantu ibu membiayai dua adik yang masih bersekolah dan juga membiayai kebutuhan rumah tangga.

Ibu tak henti-hentinya mendapatkan cobaan, kakaku mengalami sakit parah yang membuat ibu harus membayar rumah sakit yang cukup mahal pada saat itu. Ibu menawarkan tanahnya untuk dijual dan juga menawarkan sertifikat rumah, demi untuk membayar tagihan rumah sakit. Akhirnya ada tetangga kami yang bersedia membeli tanah kepunyaan ibu, untuk biaya rumah sakit sampai kakaku, Herlan sembuh sehat wal afiat.

Masa-masa sulit sudah ibu alami, tidak punya beras, tidak punya uang untuk membeli makanan dan hanya makan dalam satu kali sehari sudah pernah dialami oleh ibu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku yang berada diposisi ibu, apakah aku sanggup menerima cobaan dengan sabar dan ikhlas seperti ibu. Oh Allah.. jagalah ibuku agar senantiasa dalam kehangatan cahaya iman-Mu

Mei 2005, ibu kehilangan anak tercinta karena dipanggil oleh sang Maha Kuasa. Aku ingat sekali waktu itu aku sudah duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Aku pulang sekolah, lalu tiba-tiba telfon rumah berdering lalu mengabarkan bahwa kakaku, cecep wahyudin, meninggal dalam kecelakaan kerja. Ibuku langsung terkulai lemas, dagangan sayurnya beliau tinggal, karena seakan tak percaya bahwa anaknya yang tadi pagi berpamitan siangnya sudah tak ada. Ka, semoga amal ibadahmu diteima dan ditempatkan dalam cahaya disisi-Nya.

Selepas semua itu berlalu, ibuku tetap berjualan sayur. Beliau dikenal tetangga sekitar sebagai orang yang ramah dan baik hati, tak ayal pelanggan sayurnya sampai ada yang berjarak lumayan cukup jauh dari rumah kami. ibu tak pernah lelah, malamnya ibu sempatkan untuk mengajariku mata pelajaran disekolah. Ketika aku mengingatnya seakana air dari mata ini ingin terus jatuh mengalir. Ibu juga tetap mengaji bersama ibu-ibu walaupun aku tahu fisiknya sudah lelah.

Ibuku adalah wanita yang amat sabar, aku tahu beliau mempunyaibanyak fikiran dalam benaknya, tapi beliau selalu berusaha untuk ceria dan tetap sabar. Beliau selalu menghadiahiku ketika aku selalu mendapatkan juara selama 6 tahun disekolah dasar, walaupun ikat rambut itu sangat berharga bagiku.

Factor usia tak bisa dipungkiri untuk membuat fisik beliau melemah. Ibu sering sakit, dari maag, tyfus sampai pengapuran yang bersarang di kakinya. Tapi, itu tak menyurutkan langkahnya untuk berjualan sayur, sebelum berangkat ke pasar ibuku selalu meakai balsam dan koyo agar kakinya kuat untuk berjalan agar tak terasa sakitnya untuk sementara.

Empat belas tahun 1999-2012 bukanlah waktu yang singkat, tahun 2012 saat idul fitri, kaki ibu tak bisa untuk berjalan seperti biasanya. Ibu merasakat sakit yang berlebih ketika berjalan. Maka pada saat itu ibu tidak mampu berjalan jauhlagi seperti biasanya. Maka selepas lebaran, ibuku berhenti dari berjualan sayur, ibuku pun tidak ingin melakukan hal tersebut, mengingat aku yang masih mengenyam pendidikan S1 membutuhkan biaya, tapi Allah Maha Pengasih, kakak iparku lah suami dari kakaku yang pertama yaitu Heny Rodiani yang menanggung biaya studiku sampai sekarang.

Ibu aku harap engkau mendapatkan syurganya nanti karena kasihmu yang selalu menyemangatiku untuk terus berusaha lebih dan lebih. Engkau selalu menasehatiku agar menjadi pemuda yang pandai bersyukur kepada Allah karena berbagai nikmat yang Allah limpahkan kepada kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun