Mohon tunggu...
KOMENTAR
Edukasi

Kelahiran Joserizal Zam Zam: Sebuah Catatan

14 September 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58 2397 2
Hari gini lairan di rumah? Kayak nggak ada rumah sakit aja, Jeng…”, komentar teman, sambil tertawa.

“Cerita dong, Mbak.. kok bisa memutuskan melahirkan dengan gentle birth? Apa bedanya dengan melahirkan biasa?”, tanya seorang kenalan, dalam emailnya.



Pasca melahirkan Joserizal Zam Zam, anak kedua, pada 10 Maret 2011 lalu, saya menerima cukup banyak tanggapan dan pertanyaan. Sebagian besar dari teman-teman dekat, namun banyak juga dari teman-teman baru, alias yang sebelumnya belum pernah saya kenal, namun mengaku penasaran dengan proses kelahiran Jose. Mereka menghubungi saya melalui email, facebook, dan telepon.

Tulisan ini, dipublikasikan sama sekali bukan dengan maksud membusungkan dada. Melainkan, semata-mata ingin berbagi, berharap jika ada yang baik - bisa diambil manfaatnya. Dan yang tidak baik, menjadi pelajaran kita semua.

Dari water birth ke gentle birth

Gentle birth.

Pada awalnya, konsep ini belum saya kenal sama sekali. Saya justru lebih tertarik pada istilah water birth, yang belakangan banyak diberitakan media sebagai metode persalinan “tanpa” rasa sakit.

Beberapa klinik, rumah sakit di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia mulai “berbondong-bondong” menyediakan fasilitas ini. Tarifnya pun relatif tinggi, karena diposisikan di atas tarif persalinan spontan (namun masih di bawah tarif persalinan secara operasi).

Fenomena ini, turut menyedot perhatian saya. Seperti gelembung sabun, satu demi satu pertanyaan menggelembung, lalu meletup di atas kepala. Seperti, “Kenapa demam water birth baru muncul belakangan?”, “Bagaimana awal munculnya metode ini?”, “Apa yang membuatnya berbeda dengan persalinan umum?”, dan masih banyak lagi.

Saking penasarannya, saya bersemangat untuk mempelajari lebih jauh, dan menyajikannya dalam ulasan yang lebih komplit dalam sebuah laporan (artikel) untuk media tempat saya bekerja. Beruntung, meskipun belum menjadi keputusan final, ide tersebut diterima.

Observasi dan riset pun mulai.

Secara empiris, water birth memang berperan mengurangi rasa nyeri persalinan. Alasannya, air hangat bersifat membuat rileks, sehingga rasa nyeriyang dirasakan pada saat kontraksi berkurang.

Itu sebabnya, water birth dianggap sebagai salah satu metode alternatif, bagi kalangan yang ingin mengurangi rasa nyeri persalinan - tanpa obat.

Sebagian kalangan juga meyakini, melahirkan di dalam air dapat meminimalisasi trauma persalinan bagi bayi. Alasannya sih, karena saat di dalam rahim, bayi juga "hidup" di dalam air ketuban. Jika dilahirkan di dalam air (yang suhunya dibuat sama dengan suhu tubuh), transisi dari rahim ke dunia menjadi tidak terlalu mengagetkan. Air hangat juga membuat area perineum jadi lebih elastis, sehingga meminimalisasi robekan bagi Ibu.

Nah... pada saat menyelami isu water birth inilah, saya mulai berkenalan dengan berbagai aspek seputar persalinan.

Mulai dari pergeseran cara memandang peristiwa kehamilan dan  persalinan, prosedur dan intervensi medis yang belum tentu diperlukan, evolusi posisi persalinan yang (ternyata) justru menjadi kurang ramah bagi proses persalinan itu sendiri, hingga pendekatan persalinan yang cenderung fokus pada bagaimana membuat ibu lebih nyaman secara fisik saat bersalin; tidak sakit, tidak nyeri, dsb.

Ibu yang melahirkan – dan bayi yang lahir – dengan selamat dan tubuhnya berfungsi  dengan baik, biasanya juga dianggap sudah cukup.

Sementara, bagaimana pengalaman fisik, mental, dan spiritual ibu saat melahirkan, juga bayi itu sendiri saat dilahirkan, seperti terlupakan dan diabaikan. Padahal, bagaimana perlakuan yang dialami bayi dan ibu serta lingkungan tempat ia dilahirkan ternyata sangat berperan terhadap trauma dan ikut menentukan fase kehidupannya kelak. Mulai dari tingkat kesuksesan menyusui, keparahan baby blues atau depresi pasca bersalin, karakter yang terbentuk, gangguan penyakit (fisik dan mental), hingga meningkatnya risiko dalam menyalahgunakan obat dan bunuh diri.

Sekarang, banyak orang juga sudah semakin sadar tentang pentingnya menyusui. Sayangnya, fase-fase yang terjadi sebelum bayinya  lahir belum cukup mendapatkan perhatian. Jadi, konsep gentle birth (atau di Indonesia kurang lebih dikenal sebagai konsep Sayang Ibu Sayang Bayi) ini seperti satu mata rantai yang harusnya nyambung, namun "hilang" dan terlupakan.

Secara pribadi, titik balik pemahaman dan terbukanya paradigma baru adalah ketika saya menonton film "Birth Into being" karya Elena Tonetti, seorang aktivis natural childbirth dari Rusia. Sepanjang film, saya tak henti-hentinya menangis. Beberapa kali, saya bahkan mematikan film untuk sementara waktu, karena tak sanggup melanjutkan. Hati ini seperti diaduk-aduk. Antara terkejut, kagum, haru, hingga sedih yang luar biasa.

Saya baru tahu, bahwa ada perbedaan yang sangat besar antara bayi yang dilahirkan secara lembut, tenang, alamiah, dengan bayi-bayi yang ditangani secara kasar dan dilahirkan secara penuh intervensi.

Bayi yang lahir secara lembut bahkan bisa bereaksi mirip orang yang baru saja bangun tidur; matanya membuka perlahan, raut wajahnya sangat tenang, sorot matanya pun hadir. Ia tetap menangis saat dilahirkan, namun tidak terdengar histeris.

Sementara bayi yang dilahirkan penuh intervensi dan berada dalam suasana panik, atau bising, umumnya menangis melengking dengan nada tinggi, seolah menunjukkan reaksi terkejut, marah, dan sedih.

Yang lebih memprihatinkan, bayi tersebut seringkali masih harus menerima rangkaian prosedur lagi; pemotongan tali pusat saat denyutnya belum berhenti, pembersihan saluran pernapasan menggunakan selang, langsung dimandikan, dipisahkan dari Sang Ibu, dan masih banyak lagi.

Saya juga baru tahu, bahwa teriakan memberi semangat yang dilakukan saat ibu bersalin, omelan, kecemasan dokter, bidan,  suster, suami, ibu mertua, kesedihan, kelelahan yang dialami sang Ibu, semuanya bisa dirasakan oleh bayi, dan terekam kuat dalam pikiran bawah sadarnya, serta dibawa hingga dewasa.

Rupanya... water birth, yang semula menarik perhatian saya, “belum ada apa-apanya”.

Dia hanya sekadar metode.

Sementara hal prinsip yang mendasari proses kehamilan dan persalinan yang ramah jiwa dan minim trauma, yang sering disebut gentle birth (persalinan yang dilakukan secara santun, lembut, mengoptimalkan potensi tubuh Ibu, dan memposisikan ilmu pengetahuan serta kearifan alami secara seimbang) justru jarang diungkap.

Padahal, ia ingin mengembalikan manusia pada “fitrah”-nya, dengan kepercayaan bahwa setiap perempuan memiliki potensi untuk menjalani proses kehamilan dan persalinan dengan aman dan nyaman, serta menjadikan momen-momen tersebut sebagai sarana transformasi ke tingkat spiritual yang lebih tinggi. Asalkan, potensi yang sudah ada di dalam dirinya diberdayakan.

Jadi, esensi gentle birth ini BUKAN untuk menghindari rasa sakit.

Sekadar mencari rasa nyaman.

Apalagi untuk gaya-gayaan.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun