Sebelumnya saya mohon maaf, atas kelancangan surat ini. Keberanaian untuk membuat surat ini dikarenakan hari-hari ini, terutama dalam dua hari yang kulewati membuatku tidak bisa tidur. Kabar yang datang beberapa hari lalu telah mengganggu pikiranku, membuatku resah. Ketika itu, saat menjelang Bedug Maghrib berbunyi, suara adzan ditiap sudut kota bersahut-sahutan. Seketika itu, ku tancapkan gas kendaraanku lebih kencang, agar bisa menjalankan buka puasa lebih awal. Namun apalah daya, saat di perempatan jalan, ku dihadang lampu merah. Hingga aku merasa, pastilah bakal terlambat buka puasa ku kali ini. Sebab yang ku tahu, lampu merah di dearah ini dikenal paling lama menyala.Jam tangan ku lihat, waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Pikiranku semakin risau, apalagi rasa haus dari tadi sudah menghampiriku. Ku tahan, namun selalu mengusikku. Saat ku menunggu lampu merah berganti dengan kuning dan hijau, tiba-tiba Ku dikejutkan oleh tangan mungil yang menegadahkan tangannya dihadapanku. Ia meminta belas kasih, menunggu pemberian sekeping uang, yang kadang di rumah sering kita sia-siakan. Seorang anak kecil, kira-kira berusia 12 tahun, sore itu menatapku terus, menunggu sekeping rupiah yang kukeluarkan dari dompet atau kantongku.
Buat para yang terhormat,Sore itu, tiba-tiba rasa hausku hilang, saat melihat wajah mungil anak-anak yang harus mengemis dijalan. Kini gantian Ku memandanginya. Setelah sekeping lima ratus rupiah kuberikan kepadanya, dan anak itu berpindah tempat, meminta kepada pengendara sepeda montor lainnya.
Kadang ke-isenganku juga muncul. Ku mencoba menghitung jumlah pengemis yang berada diperempatan jalan dimana kendaraanku berhenti. Ternyata ada sekitar lima anak kecil, dan ada dua orang dewasa. Aku sendiri saat itu mencoba bertanya dalam hatiku, mungkinkah Ia sudah berbuka puasa? Jika belum, ingin rasanya aku ingin mentraktir mereka untuk makan bersama. Namun, teringat kalau di dalam dompetku kini hanya tinggal lima ribu rupiah saja. Maka, ku urungku niatku untuk mentraktir mereka.
Buat para yang terhormat,Apa yang pernah kualami, lalu kuceritakan kepada sahabatku (seorang sarjana yang katanya lulusan luar negeri, dan paham soal kemiskinan). Aku ditertawain. Menurutnya, apa yang kulakukan saat itu memang baik. Namun tidak bisa menyelesiakan masalah. Sebab keberadaan pengemis itu tidak lepas dari banyak hal, katanya. Soal pengemis juga menyangkut soal kemiskinan dan pemiskinan. Ah...apa yang dikatakan oleh temanku itu kadang tidak ku mengerti. Padahal, yang ku lakukan hanyalah, ingin menyenangkan para pengemis di saat bulan romadhon yang belum tentu akan didapat di dalam bulan-bulan yang lain. Menyenangkan dengan makan-makan yang enak, tak lebih dari itu.
Buat para yang terhormat,Kadang aku juga masih bingung. Lalu bagaimana seharusnya memperlakukan para pengemis itu?Mungkinkah mereka harus ditangkapi, lalu dipenjara dan didenda ratusan juta? atau sedemikian kriminalkah perbuatan para pengemis itu dengan meminta-minta?
Buat para yang terhormat,Beberapa tahun lalu, aku masih ingat. saat pemilu. Banyak orang-orang yang menyarankan agar aku golput. Namun itu tidak ku lakukan. Masih ada dalam pikiranku saat itu, dengan menconterng tanda gambar, serta terlebih dahulu membaca bismillah, maka saya berkeyakinan, pilihan ku untuk memilih para calon terhormat saat itu tidak keliru. Saat itu pilihanku untuk memilih para calon terhormat itu dengan tulus. Dengan harapan, agar kelak terpilih mau bekerja secara tulus dan cita untuk memperjuangkan nasib orang-orang kecil.
Buat para yang terhotmat,Maafkanlah saya, dalam hal ini jika tidak bisa menulis surat dengan baik dan benar. Namun surat ini kutulis dengan rasa tulus. Agar sudi buat para yang terhormat mau membacanya. Ya, hanya sekedar membacanya. lalu mengulang untuk membacanya. Hingga suatu saat hati buat para yang terhormat tumbuh benih cinta. Sebab hanya dengan cinta, kita bisa bicara dengan benar.
Demikian surat ini kami buat.Salam cintaku buat para yang terhormat.
Surakarta, 14 agusutus 2011