[caption id="attachment_123000" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: Medan News"][/caption] Rasanya tiada nikmat di pagi hari setelah subuh tidak menikmati segarnya udara pagi. Duduk dibangku teras rumah, sambil mendengarkan kicauan burung pagi yang menyapa. Apalagi ditambah suara kokok ayam tetangga menambah indahnya suasana pagi menjadi komplit. Sambil menunggu datangnya penjual koran yang datang tiap pukul lima, aku duduk sambil menikmati secangkir kopi hangat yang ku buat barusan. Tiap pagi, sehabis subuh, Aku selalu meluangkan waktu untuk membuat secangkir kopi. Proses pembuatannya pun mudah. Ini pun juga mengikuti anjuran dari seorang temanku penggemar kopi. Yaitu dengan memasak air panas, lalu dimasukkan kopi bubuknya kedalam air panas tersebut hingga mendidih, dan pekat. Kata temanku, cara seperti ini akan menjadikan kopi yang kita minum betul-betul larut dalam air dan uap airnya juga membangkitkan selera. Setelah itu, dituangkan kedalam cangkir atau gelas dan diberi gula sesuai selera. Wah, menjadi semakin mantap rasa dan baunya. Disaat ku meminumnya, pikiranku pun dibawanya terbang. Ku melihat indahnya perkebunan kopi, yang hijau dengan latar belakang pegunungan dan hawa udaranya yang sejuk. Disana kulihat para petani yang memetik kopi, setelah sekian lama menunggu. Menurut para ahli, usia produksi kopi mulai umur 2,5 tahun dengan syarat bila tanaman tersebut dirawat dengan baik, dan buah telah menunjukkan warna merah yang meliputi sebagian besar tanaman dan dilakukan bertahap sesuai dengan kemasakan buah. Pernah ku membaca di Wikipedia, katanya sejarah kopi dicatat jauh pada abad ke-9. Pertama kali, kopi hanya ada di Ethopia, yang ditanam didaerah dataran tinggi. Kemudian ketika bangsa Arab meluaskan perdaganganya, biji kopi meluas hingga ke Afrika dan biji kop ditanam secara massal. Kemudian meluas hingga Asia sampai Eropa. Di Indonesia, penyebaran kopi melalui seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 sekitar tahun 1646 yang mendapatkan biji arabika mocca dari Arabia ke Jakarta. Kopi arabika pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat di timur Jatinegara, yang menggunakan tanah partikelir Kesawung. Kopi arabika ini kemudian menyebar ke berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan, melalui sistem tanam paksa. Kemudian berkembang ke daerah lain seperti Pulau Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Timor. Dengar-dengar sih, katanya kopi arabika yang semula ditanam di Brasil sebagai negara produsen kopi terbesar di dunia, konon katanya bibitnnya berasal dari Pulau Jawa. Berarti Kopi yang telah kuminum ini memiliki sejarah yang panjang. Jika diandaikan, kopi ada dalam cangkir ini manusia atau orang maka Ia merupakan generasi baru dari sejarah yang lama. Hehehehe....aku kok jadi ngaco begini ya. Saat kulihat Kopi yang ada di cangkir Kopiku, aku kemudian melayang lagi bersama sedapnya aroma kopi yang menguap. Ku jadi teringat beberapa hari yang lalu, disebuah media massa nasional yang memberitakan tentang nasip petani kopi. Sebagaimana yang kubaca di media itu, saat ini kenaikan harga kopi di tahun ini tidak begitu banya dinikmati para petani di daerah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Pasalnya hasil panen mereka merosot akibat cuaca ektrem. Harga kopi robusta petik merah mencapai Rp5.500 hingga Rp6.000 perkilogram dari sebelumnya Rp3.500 perkilogra. Kemudian biji kopi kering dari semula Rp13.000 hingga Rp16.000 perkilogram menjadi Rp22.000 hingga Rp23.000 perkilogram. Sayangnya tingginya harga kopi tidak diimbangi dengan produktivitas tanaman kopi. Sehingga produktivitas kopi robusta turun hingga 75 persen dibanding tahun lalu, sedangkan kopi arabika turun 50 persen. Yang menyedihkan lagi, kenaikan harga Kopi justru hanya dinikmati tengkulak, pedagang dan petani yang banyak modal. Biasanya mereka membeli kopi dari petani untuk disimpan dan dijual bila harga tinggi. Petani kecil tentunya langsung menjual hasil panen kopinya karena keterdesakan kebutuhan hidup. Jeritan Petani Kopi ini tidak hanya di Temanggung, namun juga terjadi di Bengkulu, Lampung, Aceh. Tentu kita juga tidak menduga, sebagaimana aku dan teman-temanku saat nongkrong di Cafe Kopi yang bertebaran di Kota besar, begitu mahalnya harga secangkir Kopi. Pikiranku saat itu yang lugu, dengan harga satu cangkir kopi terbaik sekitar Rp. 100 ribu rupiah, tentu dalam bayanganku, Petani akan dapat keuntungan lebih dari hasil jual panen. Ternyata dugaanku salah. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, dan banyak meraup keuntungan adalah pedagang dalam hal ini tengkulak yang mempermainkan harga. Bahkan Bupati Bener Meriah, Tagore AB pernah menuduh Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) telah mempermainkan harga secara semena-mena, sehingga merugikan Petani Kopi. Dan yang lebih meyakitkan lagi, AEKI telah melakukan pembelian Kopi ke Petani dengan cara di hutang. Kini baru ku mengerti, ternyata dalam Kopi yang ku minum ini ada jeritan berjuta petani Kopi yang selalu hidup dalam penderitaan. Dan aku pun mulai beranjak dari tempat duduk Ku, dan siap-siap berangkat kerja. Jogjakarta, 5 agustus 2011
KEMBALI KE ARTIKEL