Liburan ke Belitung adalah impian saya. Selain di sana menyimpan sejuta pesona keindahan pantainya, di pulau itu pula kakak saya berada. Jadi, sambil silaturahmi, sekaligus menikmati keeksotisan pulau, yang kalau dari Jakarta menggunakan kapal laut, kira-kira 12 jam lamanya. Nampaknya, ini momen yang saya tunggu. Saya ke sana tak sendirian. Saya ditemani adik saya, yang juga sedang libur kulihnya. Adik saya memang telah menabung selama dua tahun untuk persiapan ke Belitung.
Belitung. Pulau penghasil timah terbesar di Indonesia itu selalu terngiang di benak semenjak saya nonton film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Kedua film itu membuat saya terbius oleh latar yang ditampakkan, bahasanya, keelokan tanahnya, dan, orang-orangnya yang ramah. Belitung, tunggulah, saya akan menciummu! Bahkan saya akan menidurimu. Entah berapa hari. Yang pasti, kau harus siap dengan kedatanganku.
Jika saya sudah sampai di pulau Timah itu, saya tak akan menyianyiakan waktu. Saya- sebisa mungkin akan mengunjungi tempat-tempat yang pernah dipakai syuting film besutan Riri Reza itu. Mislanya; Manggar, pasar, dan tempat, yang kalau saya pandang itu bagus, saya akan kunjungi. Termasuk pulau Lengkuas. Benarkah pulau Lengkuas banyak “Lengkuas”nya? Ha, saya belum tahu. Sebagaimana di Bengkulu, ada pulau Tikus. Ternyata, setelah saya ziarahi pulau itu, gak ada tuh tikusnya? Wah, itu hanya soal penamaan saja.
Kalau ingat kata”pelesiran”, di otak saya, malah tergambar seorang mantan pegawai pajak- Gayus. Ya, dia memang orang berduit. Selagi di dalam tahanan Mako Brimob, Depok, saja , orang yang bernama lengkap Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, itu bisa main mata dengan penjaga tahanan. Hebat. Jagoan. Itu karena duit. Ya, rupiah memang jadi panglima di zaman kiwari. Panglima sih panglima. Tapi, kalau cara mendapatkan duitnya dari cara-cara yang kurang beradab, bahaya juga tuh!
Ya, pelesiran. Saya akan, minimal mencontoh apayang Gayus lakukan; pelesiran. Tapi pelesirannya ke Belitung dan memakai uang hasil celengan plastik berbentuk ayam, bukan seperti Gayus yang punya bejibun ATM- beberapa bulan ke belakang. Kalau gak menabung begitu,mana mungkin saya akan- sekali lagi- pelesiran ke sebuah pulau, yang hawanya lumayan panas itu. Mantan pegawai pajak itulah yang membuat saya, ingin pula pelesiran ke kota lain.
Ini musim liburan. Awalnya, saya dan adik saya- ke Belitungnya pakai pesawat. Namun- kata adik, kalau naik pesawat perjalanannya terlalu singkat, selain karena ingin melihat pemandangan nan elok kalau pakai kapal laut. Selain itu, kalau pesan pesawatnya mendadak, biasanya harganya melonjak seperti cabai merah dan rawit. Naik tajam sambil merangkak. Ya sudah, kami putuskan menggunakan kendaraan laut saja. Naik dari Tanjung Priuk, Jakarta.
Denger-denger, pake kapal laut dari Tanjung Priuk- Belitung, harganya relatif murah, meskiekstra sabar menunggu hingga 12 jam perjalanan. Katanya Rp. 150.000 per-orang. Gak tahu sekarang, karena musim libur. Berdoa saja, mudahan-mudahan standar saja harganya. Naik pesawat, yang saya cek bulan lalu di internet- dari bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, ke Tanjung Pandan, Belitung, harganya 400-an ribu atau bahkan lebih sedikit. Bagi Gayus, itu mudah saja. Sebab, jejaringnya lumayan luas.
Kata saya ke adik saya, kalau jadi ke Belitung, jangan lupa persiapkan kamera. Sebab benda itu sangat penting di era ini. Bendaitu bukan dimiliki oleh wartawan saja, kita pun, kalau mampu membelinya, boleh saja. Barangkali saja, tanpa sengaja- nanti- di pulau Timah itu, ternyata ada si Gayus sedang asyik menikmati indahnya pantai Belitung. Kan, beruntung kalau dapet gambar Gayus yang lagi nyantai di pinggir pantai, misalnya. Lumayan, pasti beberapa mediamenginginkan hasil jepretan saya. Misalnya, lho. Tapi, kemungkinan itu bisa saja terjadi, lho. Ada uang, Gayus terbang. Ada duit, Gayus bangkit.
Saatnya mencari inspirasi baru. Makanya, saya mau ke Belitung. Empat tahun merasakan aroma Bandung, cukup membanggakan, juga mencemaskan. Membanggakan, karena- kota yang dijuluki kota kuliner itu membuat saya tertegun dengan banyaknya bangunan bersejarah, warganya yang ramah, tempat wisata yang beragam, dan keelokan-keelokan lainnya. Lalu, apa yang mencemaskan? Banyak pula. Di antaranya; kini, kota yang berbentuk tempat penggorengan (cekung) itu, tak lagi mendapat julukan sebagai kota kembang, tapi kota lautan sampah, kotageng motor yangmembuat keresahan warga, dan terakhir, Bandung, udaranya tak sesejuk dulu. Makanya, bukan bermaksud melupakan Bandung, sejenak- saya akan mencoba menghirup udara Belitung beberapa hari lagi.