Grasi terhadap mantan Bupatai Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuai protes. Pasalnya, pengurangan hukuman yang cukup besar, yakni selama tiga tahun tersebut dinilai mencederai rasa keadilan rakyat. Terlebih, Syaukani merupakan terpidana kasus korupsi yang telah divonis pengadilan enam tahun penjara. Berkat pengampunan dari presiden ini, Syaukani yang telah menjalani hukuman selama tiga tahun langsung bebas melalui Keputusan Presiden (Keppres) bernomor 7/G Tahun 2010 tertanggal 15 Agustus 2010. Syaukani dinyatakan bersalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Sepanjang 2001-2005, dana perangsang yang disalahgunakan itu berjumlah Rp 93,204 miliar. Pengadilan Tipikor dan pengadilan tingkat banding telah memvonis Syaukani dengan hukuman dua tahun enam bulan penjara. Di tingkat kasasi, hukumannya justru diperberat menjadi enam tahun penjara. Memang Presiden memiliki hak prerogratif yang diatur dalam undang-undang untuk memberikan grasi kepada seseorang. Pemerintah menyatakan dasar pemberian grasi kepada Syaukani tersebut semata-mata karena pertimbangan kemanusiaan. Sementara pihak keluarga berharap dengan adanya grasi ini seandainya bupati terkaya di Indonesia ini meninggal tidak dalam status narapidana. Bahkan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar bahkan menilai Syaukani seperti mayat hidup yang tergolek di tempat tidur akibat sakit keras yang menderanya. Sebagai Menkum HAM dia mengaku masih punya hati nurani dan rasa kasian. Persoalannya kok yang dikasihani koruptor yah? Kan masih banyak narapidana pengidap penyakit berat seperti AIDS yang tinggal menghitung hari kematian. Mungkin disinilah persoalannya, pemerintah kurang peka terhadap gejolak di masyarakat. Sebab itu, pemerintah harus memberikan klarifikasi sejelas mungkin mengenai polemik ini. Memang rasa kemanusiaan dan kegeraman masyarakat terhadap korupsi dan koruptor menjadikan dua hal ini saling bertolak belakang. Tapi benarkah dalam pemberian grasi Syaukani semata-mata karena nurani dan rasa kasihan? Jawabannya, bisa iya atau tidak. Tergantung pihak mana yang menafsirkannya. Namun publik menilai pemberian grasi terhadap Syaukani ini sebagai cermin ketidakadilan dalam hukum. Selain grasi Syaukani yang disoal, kebijakan pemerintah memberikan remisi kepada narapidana terutama yang berkasus korupsi juga menyebarkan aroma  tidak sedap. Terutama remisi yang diberikan kepada Besan SBY, Aulia Pohan yang tersandung kasus aliran dana BI dan diganjar hukuman tiga tahun bui. Remisi ini dihubung-hubungkan dengan pemberian pembebasan bersyarat bagi Aulia Pohan yang resmi meninggalkan LP Salemba sejak 18 Agustus 2010. Nmaun pihak lapas berdalih pembebasan tersebut dilakukan karena Aulia telah menjalani dua per tiga masa hukuman. Undang-undang memang masih memberikan pintu bagi pemerintah untuk memberikan remisi kepada narapidana, tanpa terkecuali koruptor dan teroris. Dalam PP 28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Hak Warga Binaan Lapas, disebutkan narapidana kasus korupsi dan terorisme mendapatkan remisi dengan cacatan berkelakuan baik dan telah menjalani dua pertiga masa tahanan. Dengan demikian, untuk mengecualikan narapidana korupsi tidak mendapatkan remisi maka harus ditinjau kembali aturannya. Sebab, jika pemerintah tidak memberikan remisi malah akan disalahkan secara hukum dan melanggar hak asasi seseorang untuk hidup bebas. Dalam hal ini, pemerintah juga dituntut transparan. Seperti kasus grasi Syaukani, pengurangan masa tahanan kepada narapidana koruptor memunculkan pro-kontra di masyarakat. Para aktivis penggiat antikorupsi, pemberian remisi ini tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Para koruptor yang telah merampok uang rakyat tidak pantas mendapatkan jatah pemotongan hukuman, bahkan semestinya mendapatkan hukuman mati. Bahkan bila perlu diberi sanksi pemiskinan dan jenazah koruptor tidak disalatkan seperti diwacanakan kiai NU. Pasalnya, selama ini hukuman terhadap para koruptor belum maksimal dan diperingan dengan pemberian remisi. Sementara maling yang nekat lantaran terdesak kebutuhan hidup, harus mendekam lama di penjara.
KEMBALI KE ARTIKEL