Arthur Hangewa merupakan hakim pada Pengadilan Negeri Tanggerang pada 29 Desember 2009 yang telah memutuskan kasus Prita Muliasari dinyatalan bebas dari tuntutan jaksa selama 6 bulan penjara sebagai tuduhan penghinaan atas pencemaran nama baik kepada RS.Omni International tidak terbukti. Prita diancam Jaksa dengan pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada 2 tahun yang lalu. Malah sekarang MA yang dipimpin Harifin A Tumpa menerima kasasi Jaksa untuk Prita (kontradiksi atas putusan hakim
Arthur Hangewa serta rasa keadilan masyarakat) tertuang dalam putusan kasasi MA bernomor register 822 K/PID.SUS/2010 tertanggal 30 Juni 2011, menyatakan Prita Mulyasari bersalah dalam dugaan pencemaran nama baik atas RS Omni International dan Prita terancam kurungan kembali selama 6 Bulan. Kejadian ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat dan merupakan preseden terburuk bagi Pengadilan di Indonesia.
Kepercayaan masyarakat luas kepada MA menjadi hilang bahkan sirna.
Prita hanya mempublikasikan keluhannya terhadap pelayanan kesehatan yang buruk dilakukan oleh RS. Omni International, dan keluhan itu nyata terjadi dialaminya serta bukan fitnah dimana seharusnya manajemen RS. Omni lah memperbaiki kinerjanya sehinga konsumen kesehatan lainnya tidak mengalami laku salah selanjutnya dari RS. Omni International. Seharusnya RS. Omni International yang melakukan pelayanan buruk mendapatkan sanksi hukum cukup berat. Apalagi setatus International-nya dinyatakan palsu dan diragukan. Juga kesalahan RS.Omni International merekayasa medical report milik Prita. Tapi malah Prita sebagai konsumen kesehatan terus mendera kenyataan hukum dari peradilan kita yang sungguh sangat buruk (pelanggaran Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen).
KEMBALI KE ARTIKEL