Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Seberapa Berat Hidupmu?

24 Februari 2011   12:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:18 105 1
Aku teringat perjalanan pulang dari Salatiga ke Purbalingga yang paling melelahkan itu. Waktu itu hari Kamis, entah tanggal berapa, dimana aku harus kuliah sampai pukul 17.00 ketika aku begitu ingin pulang karena sudah sekitar tiga bulan aku tidak pulang. Aku belum pernah pulang di hari yang selarut itu. Pada jam - jam itu tidak ada bus eksekutif dan tidak terlalu menyenangkan jika harus menumpang bus ekonomi yang sama sekali tidak nyaman. Namun aku tetap pulang. Seusai kelas terakhir hari itu aku segera naik bus menuju terminal Bawen. Aku terpaksa berdiri sepanjang jalan karena bus begitu penuh, maklum saja esoknya adalah akhir minggu yang panjang.Sampai sekitar setengah tujuh aku masih berdri di tepi jalan depan terminal menunggu bus ke arah Purbalingga. Setiap bus yang lewat selalu penuh, sopir - sopir itu menjejali busnya sampai kelebihan muatan, jangankan duduk, berdiri pun sangar sulit.

Hari semakin larut sehingga aku memutuskan menumpangi bus reot yang kelebihan muatan itu. Aku begitu lelah, tubuhku terhimpit oleh penumpang - penumpang lain, tak ada tempat untuk sekedar bersandar atau bahkan berpegangan. Aku hanya dapat merasakan udara kotor yang bau, pengap dan membuatku bersin berkali - kali. Bus melaju sangat pelan, antara sadar dan tidak aku telah berdiri lebih dari tiga jam. Udara dingin menusuk saat bus ini mulai memasuki daerah Wonosobo. Jalan berliku membuat laju bus semakin pelan. Seolah kehilangan kesadaran, aku tersentak saat bus mendadak berhenti di tepi kebun teh yang sangat sunyi. Pukul 22.00, aku menatap jam tanganku. Kebanyakan penumpang turun karena bus itu macet. Aku memutuskan untuk duduk di sebuah kursi butut yang kosong, merasakan udara yang begitu dingin sambil memainkan ponselku. Satu jam berlalu. Dua jam sudah lewat, bus belum juga melaju, beberapa pria mulai nekat menumpang truk - truk yang lewat.

Akhirnya semua penumpang turun dan naik bus selanjutnya yang keadaannya lebih parah. Beruntung aku mendapat tempat duduk. Aku duduk di bagian paling belakang pojok bus itu, menatap kaca jendela yang sudah pecah membiarkan angin malam yang menusuk tulang masuk begitu saja. Rasanya sudah hampir tertidur ketika aku menerima telepon dari mama yang begitu khawatir. Syukurlah aku akan dijemput di Banjarnegara oleh mama papaku, sekitar satu setengah jam dari purbalingga. Ketika mengantongi ponsel, mataku menatap seorang ibu muda, mungkin hanya dua atau tiga tahun lebih tua dariku yang waktu itu baru sembilan belas tahun, mengendong anaknya yang belum genap setahun.

"Mengerikan," pikirku, "Ada bayi di tempat seperti ini? Kenapa ibu itu tidak cari kendaraan yang lebih layak?"

Kami mengobrol setelah aku meminjamkan jaketku untuk menyelimuti bayi perempuan ibu itu. Rasanya aku ingin marah menatap seorang pemuda gagah di sebelah kanan ibu itu tertidur dengan nyaman dalam jaketnya yang tebal, sepatu hampir selutut yang menghangatkan kakinya, topi yang melindungi kepalanya yang berambut cepak itu dari angin malam dan dia duduk dalam posisi yang sangat memakan tempat! Sementara perempuan yang di sebelahku sama sekali tidak memakai jaket, hanya pakai sandal jepit, duduk di posisi yang begitu sempit, dan lebih parah lagi menggendong bayi! Lebih kesal lagi, ketika mendengar sang perempuan bercerita dengan polos bahwa dia belum lama bisa duduk karena tadi semua kursi penuh, termasuk kursi pojok yang menjadi tempat tidur pemuda itu.

"Kalo ga mau kasih jaket itu,bisa, dong, memberikan tempat duduknya yang nyaman itu!" kataku dalam hati.

Mungkin ibu muda itu bisa membaca pikiranku, ketika tiba - tiba dia berkata dalam bahasa jawa yang artinya kurang lebih mengatakan mungkin pemuda di pojok itu terlalu lelah sehingga tidak memberikan tempat duduknya. Ibu itu juga bercerita dia terpaksa naik bus itu karena uangnya tidak cukup untuk membeli tiket bus eksekutif, "Aduh, mbak, kalau bisa naik bus AC pasti enak, tapi itu, sih, cuma buat orang - orang kaya."

Ya, Tuhan. Aku begitu tertegur, ada seorang yang bisa begitu memikirkan orang lain sementara dirinya juga susah. Bukan seperti aku yang langsung kesal melihat pemuda di pojok itu. Aku hanya tersenyum, lalu mengobrol dengan ibu muda itu sepanjang jalan sampai aku turun dari bus.

Dalam mobil nyaman yang kini kunaiki aku sudah hampir tertidur. Aku berpikir, mungkin ibu itu berpikir mobil senyaman ini adalah barang yang luar biasa mewah. Tempat yang nyaman, bersih, tidak ada udara panas atau kotor bahkan pakai AC, aku hampir - hampir tidak mendengar hriuk pikuk jalanan ketika berada disini. Namun, belum pernah aku memikirkan semua hal yang bisa kunikmati ini. Baru aku mengerti hidupku sebetulnya begitu nyaman dibanding banyak orang di luar sana, tetapi kadang aku masih mengeluh dan merasa berat.

Bagaimana dengan hidupmu?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun