Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Di Barat Daya Gunung Leuser (Satu)

16 April 2012   07:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33 1876 2

Foto dan Teks: Dedy Zulkifli

Awan menggumpal di atas langit yang masih cerah. Udara dingin sejurus menyapu wajah. Sekitar pukul dua belas siang saya berjalan tertatih-tatihmendekatipilar trianggulasi (penanda puncak gunung) dengan kode S 227, setinggi bahu orang dewasa di puncak Gunung Loser (3404 mdpl). Setelah delapan hari yang melelahkan, berjalan melewati beberapa puncak dari Dusun Kedah, Blang Jerango, Gayo Lues, akhirnya tiba juga di puncak yang menjadi impian banyak pendaki gunung di Indonesia. Namun kelegaan ini sementara saja, perjalanan yang sebenarnya baru saja di mulai. Kami bertujuh yakni, Saya, Agi, Anton dan empat warga kampung Kedah (mereka adalah guide dan porter) yakni, Mister Jali, Pak Wo, Bang Udin dan Husin kembali harus berkemas menuju puncak Gunung Leuser (3119 mdpl) untuk turun menuju ke arah barat daya Aceh yang sudah terkenal rapat hutannya dan belum ada jalur pendakiaannya.

17:15 Wib. Kami tiba tidak jauh dari Puncak Leuser sekitar lima ratus meter disisi tenggara. Dengan keadaan alam yang terbuka dan hanya di tumbuhi rerumputan,lokasi ini menjadi arena hembusan angin kencang tanpa penghalang. Namun begitu mau tidak mau kami harus bertenda disini. Di samping hari yang mulai malam, juga tidak ada pilihan tempat lainnya. Saat usai tenda terpasang di semak perdu yang tersisa, Pak wo, Bang Udin dan Husin mulai menyalakan api sembari memasak nasi. Agi membuka peta dan mencoba membuat ploting jalur pada GPS (Global Positioning System).

Turun Ke Barat Daya

Berdasarkan pengamatan lapangan (scouting) yang kami lakukan sebelum bertenda, Saya, Agi dan Mister Jalimelihat ada punggungan yang terlihat sambung menyambung hingga mendekati garis pantai barat daya. Dan tanda yang khas di ujung punggunganadalah sebuah muara sungai yang cukup lebar, yang kalau dilihat pada peta bernama Labuhan Haji. Namun yang jadi kendala adalah, punggungan tipis dan curam saat nanti menuruni Gunung Leuser initidak terlihat jelas dari tempat kami berpijak. Di peta, punggungan ini terlihat biasa saja, tapi gambaran dilapangan menunjukan, punggungan terlalu terjal. Menurut pengalaman saya, biasanyapunggungann ini memiliki kecendrungan patah atau terputus oleh sungai. Seperti jembatan yang terputus, maka kalau ini adanya hanya ada dua pilihan terus memaksa turun dengan resiko jatuh (karena tidak membawa tali untuk rappeelling) atau kembali naik punggungan dan berpindah jalur yang bakal membuat waktu perjalanan jadi molor.

Dan memang patut di sayangkan juga adalah peta yang terbawa adalah peta tofografi dengan skala 1:250.000. Hingga membuat tidak terbacanya detail kontur Gunung Leuser. Demi mengecilkan resiko tersebut kami memutuskan untuk melakukan survey terlebih dahulu keesok harinya.

Hari ke 9 (Minggu, 17 Juli 2011)

09:05 Wib. Saya dan Agidengan membawa tas kecilmulai beranjak menuju ke Puncak Leuser dan mulai menuruni punggungan yang kami curigai terputus. Mister Jali dan Pak Wo sudah bergerak lebih dulu dengan mencoba beberapa alternatif jalur. Sementara itu yang lainnya tetap tinggal di tenda.

11:10 wib. Bertemu dengan Mister Jali di jalur yang rapat di tumbuhi belukar yang terselimuti lumut. Saya melihat Mister Jali memanjat pohon. Dengan nafas yang tersengal-sengal saat turun dari sebuah pohon Mr Jali menjelaskan bahwa sejauh ini punggungan tidak terputus. Tapi tetap juga belum bisa di pastikan dan harus di survey ke bawah lebih jauh lagi.

13:05 Wib. Survey di lanjutkan. Setelah dua jam berjalantetap tidak menemukan patahan yang kami cari tersebut. Melihat hari yang semakin sore maka diputuskan untuk kembali ke camp.

18.35 Wib. Dari tempat kami bertenda hari terlihat cerah. Sore yang beranjak ke malam mulai menyingkapkan keindahannya. Langit perlahan-lahan berwarna merah bercampur jingga. Warna kelabu dan biru terkuas di batas pantai barat sumatera. Sementara itu matahari yang menyala kecil di batas cakrawala turun sedikit demi sedikit. Seperti pertunjukan cahaya laser di panggung musik, pergerakan matahari ke peraduan mengubah-ubah warna di langit. Hingga saat matahari menghilang warna biru yang menggelap itu menghadirkan bintang-bintangnya.

20:00 Wib. Usai makan malam kami mendiskusikan tentang hasil survey. Berdasarkan peta dan pengamatan di jalur, Puncak Leuser ini bercabang ke arah tenggara dan barat daya. Punggungan tenggara akan membawa ke Peulumat dan Meukek, Aceh Selatan. Sementara punggungan barat daya membawa ke Desa Manggeng, Aceh Barat daya. Sedangkan punggungan yang kami survey adalah punggungan barat daya. Walau punggungan tenggara terlihat landai namun cukup jauh dari desa terdekat. Ada usulan juga untuk mengambil punggungan tenggara namun kami sepakat memutuskan untuk tetap turun dari punggungan barat daya, dengan tetap mengambil resiko belum di ketahuinya batas punggungan yang aman.

Hari ke 10 (Senin, 18 Juli 2011)

07.05 Wib. Pagi terlihat cerah. Langit yang bersih menampakkan Puncak Loser seperti batu besar. Sementara itu lapisan punggungan dan bebukitan di sisi tenggara tersapu kabut tipis. Angin pagi masih terasa dingin hingga membuat tangan terasa pedih.

08.45 Wib. Setelah sarapan dan berkemas-kemas. Tenda langsung di lipat dan dimasukkan ke dalam carrier. kami lalu bergerak menuju puncak Leuser.

09:10 Wib. Tiba di Puncak Leuser. Tempatnya cukup terbuka dan dapat memandang lepas kearah Samudra Indonesia. Kami istirahat sejenak sambil kembali mengamati gambaran medan (bentangan alam) yang akan di lalui. Terus terang keraguan masih terus saja membayangi di hati. Kami tidak boleh “salah langkah”. Saya memandangi gugusan bukit-bukit yang berlapis dengan lekatnya. Saya tidak ingin kami sampai kehilangan orientasi saat di jalur. “ Mudah-mudahan punggungan ini tidak terputus. Karena ini jalur yang paling dekat dengan desa.” Kata Mr Jali mencoba meyakinkan kami.

Sejak tahun delapan puluhan Mr Jali yang kini berusia 47 tahun sudah menjadi guide Leuser di Blangkejeren. Beliau adalah guide senior yang sudah banyak makan asam garam tentang pengalaman di hutan khususnya Gunung Leuser. Walaupun ini pertama kali mendampingi tim ke arah barat daya, namun kemampuan hidup di hutan tak perlu diragukan lagi. Ini bisa dilihat dari ketrampilannya mencari sumber air, memilih alternatif jalur dan membuat api bahkan dari ranting yang basah sekali pun.

Kami cukup beruntung karena hari yang cerah. Penampakan alam berupa lembah, puncak gunung dan sungai terlihat jelas. Bahkan adanya perladangan masyarakat juga terlihat walau memakai binokular. Sementara itu juga tanda-tanda alam berupa longsoran yang mudah dilihat tetap di jadikan acuan agar bila nanti turun bisa di jadikan pedoman.

Sebuah Cerita di Jalur Selatan

Mr Jali kemudian menunjukan sebuah tempat di kejauhan di mana pernah seorang mahasiswa pecinta alam di evakuasi pada era tahun 90an. Musibah ini menjadi kehebohan yang menasional. Mereka para mahasiswa tersebut mencoba menembus Leuser dari sisi selatan. Namun karena kehabisan bekal makanan hingga terpaksa di evakuasi.

Pendakian dari jalur selatan dan barat daya sama-sama masih rintisan. Sama-sama memakan waktu yang berminggu-minggu atau nyaris sebulan. Bahkan dari beberapa sumber informasi hanya beberapa kelompok saja yang berhasil menembus belantaranya hingga tiba di Puncak Leuser. Kini jalur yang ada dan umum di lalui dari Dusun Kedah, Gayo Lues. Pendakian ini memakan waktu kira-kira dua belas hari dimana akan kembali pulang dengan jalur yang sama ke Dusun Kedah. Sementara itu yang hendak kami lakukan saat ini mendaki Gunung Leuser dari Desa Keudah lalu turun merintis jalur kearah barat daya (Aceh barat daya). Dengan perencanaan perjalanan memakan waktu delapan belas hari, jalur ini mudah-mudahan menjadi alternatif untuk menikmati keindahan Gunung leuser.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun