Foto dan Teks: Dedy Zulkifli
“Bersepeda bukan hobi saya. Tapi saya bisa naik sepeda.” Dua kalimat sederhana itu adalah gambaran saya tentang bersepeda. Dalam sebuah kesempatan, saya dan tiga orang teman yakni, Ibid,Ganda dan Suban mencoba naik sepeda ke Gunung Sibayak dari Kota Medan. Rute sepeda ini jarang saya dengar di coba para pesepeda umumnya. Entah kurang menarik atau sebab lainnya saya kurang tahu. Tapi bagi kami ini adalah tantangan yang sangat menyenangkan. Tentunya hal ini terkait dengan hobi kami mendaki gunung.
Sebagai informasi, jarak yang bakal di tempuh dari Kota Medan kira-kira 70 km hingga Puncak Sibayak. Sementara itu ketinggian Kota Medan kira-kira 25 meter dari permukaan laut (mdpl). Dan puncak Gunung Sibayak sendiri berada pada ketinggian 2094 mdpl.Melihat jauhnya selisih ketinggian ini maka tak hayal lagi kelak memakan waktu yang lama, jauh dari perkiraan saya sekitar delapan jam-an.
Di hari yang di sepakati, pagi pukul 06.30 Wib, kami sudah bersiap-siap mengowes sepeda. Ganda dan Ibid segera berjalan lebih dulu sementara saya dan Subhan mengikuti pelan-pelan di belakang. Kota Medan belum lagi sibuk, lalu lintasnya juga masih belum padat. Jadi kami masih bisa leluasa menikmati udara pagi yang segar.
Jalan aspal yang menanjak
Memasuki menit ketigapuluh bersepada, keringat mulai mengembun di sela baju. Tanpa saya sadari perjalananmulai melewati batas Kota Medan dengan Kab. Deli Serdang. Sebuah gapura besar yang menandakan batas tersebut mengangkang di simpang Tuntungan. Tidak lama kemudian kami melewati Kota Kecamatan Pancur Batu yang berda di lintas jalan Medan-Berastagi. Disini napas mulai terasa ngos -ngosan, ternyata jalan beraspal yang tampak datar ini mulai menanjak. Pelan-pelan saya mengayuh sepeda federal yang di pinjam dari seorang kawan.
Mendekati jembatan di sebuah lokasi wisata Sembahe kami memutuskan untuk beristirahat. Ternyata kami sudah mengayuh sepeda kurang lebih dua jam lamanya. “Lumayan juga ya” Kata Ganda dengan keringat bercucuran. Saya dan ketiga teman pun menganguk sambil tertawa. Kadang terlitas di pikiran saya bahwa yang kami lakukan ini seperti orang kurang kerjaan saja. Namun kalau melihat keriangan selama perjalan an semangat seperti naik lagi. Dan saya yang jarang bersepeda ini pun seperti tidak mengalami rasa pegal saja.
Kami beristirahat hanya setengah jam. Setelah minum dan melakukan gerakan pelemasan dan memeriksa kondisi sepeda perjalanan di lanjutkan lagi. Dari sinilah tanjakan mulai terasa, hampir 40 derajat kemiringannya. Tentu hal ini akan jadi “suplemen” bagi saya. Apa pasal? Sepeda federal yang saya naiki, dimana rear derailleur-nya atau pemindah gigi belakang pada rantai sepeda tidak ada akibat rusak sebelumnya. Jadi selama perjalanan tadi saya memang tidak pernah “meng-over” gigi. Keadaan ini sudah saya antisipasi dengan prinsip “cuek saja”. Jadi tanjakan ini akan saya nikmati dengan mata terpejam, narik napas yang dalamkemudian menekan pedal sekuat tenaga dan berteriak “ Hajar teruss!!”
Tanjakan kenikmatan
Konsekuensinya memang lumayan, akibat tanjakan ini paha dan betis saya jadi bulan-bulanan rasa sakit dan pegal. Bahkan saya sedikit mengalami kram pada paha. Namun saya tidak ambil pusing, mengowes pun tetap jalan terus. Sementara saya berjibaku di tanjakan, yang lainnya terlihat mudah saja melaluinya. Sesekali mereka berhenti demi menunggu saya.
Tiba didepan sebuah resort mewah sebelum Bumi Perkemahan Sibolangit kami istirahat. Jarum jam sudahmenunjukan angka 11.45 Wib. Kami mengunyah beberapa biskuit dan minum beberapa teguk air mineral. Tidak berapa lama perjalanan pun dilanjutkan lagi. Namun sungguh disayangkan baru beberapa puluh meter berjalan Suban ternyata sudah tidak sanggup lagi untuk menggowes. Tanjakan didepan yang lumayan panjang dan terlihat jelas itu menjatuhkan mentalnya. “Aku stop disini saja woi, paha ku kram. Kalian lanjut terus. Aku tunggu di Berastagi saja” kata Suban pada kami dengan wajah menahan nyeri. Demi mendengar perkataan Suban, Ibid langsung menyela dan meminta pada suban untuk tidak menyerah dulu. “ kita berangkat berempat, maka di Puncak Sibayak pun kita mesti berempat” katanya pada subhan dengan sungguh-sungguh.
Mengalah
Suban betul-betul “down”, dan Ibid terlihat kesal karena tidak bisa menaikan semangat temannya. Jika situasi seperti ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, sudah tentu Suban akan saya marahi habis-habisan. Karena dimasa itu, sulit bagi saya menerima kelemahan apalagi menyerah dalam perjalanan. Saya membiarkan Ibid dan Ganda untuk terus memotivasi Suban hingga akhirnya di capai jalan tengah. Kami semua naik bus beserta sepeda hingga simpang Lau Debuk-debuk. Walaupun hanya 8 Km namun ini adalah etape krusial. Dimana tanjakan terhebat yang bakal kami terima akhirnya kami lewati dengan bus. Terbayang dalam benak jika etape ini kami selesaikan tentu ini adalah sebuah prestasi yang patut di banggakan. Namun mengingat tujuan bersepeda ini untuk kesenangan dan saya pun menyadari bahwa kebersamaanlah yang terpenting, maka kekurangan ini dapat saya (dan kawan-kawan juga) terima. Kami pun kembali tersenyum dan bersepeda lagi. Perjalanan belum lagi selesai.
Kondisi Subhan sudah mulai membaik. Jalan yang beraspal rusak ditambah tanjakan dan turunanmewarnai perjalanan kami kali ini. Menyusuri Desa Semangat Gunung yang banyak dijumpai pemandian air hangatnya jalan terus menanjak. Lewati komplek Pembangit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal), kami kembali memutuskan untuk beristirahat. Waktu sudah menunjukan pukul 14.30 WIB. Kali ini kami cukup lama beristirahat hampir satu jam-an. Setelah makan mie instan dan minum teh hangat perjalanan di lanjutkan. Tapi untuk kali ini saya benar-benar tidak bisa mengayuh pedal. Tanjakannya sudah lebih dari 45 derajat. Sepeda terpaksa saya dorong. Jauhnya tanjakan ingin sekali sepeda ini di lepaskan saja agar saya leluasa menapaki jalan.
Tiba Di Puncak
Di ujung jalan, sepeda terpaksa kami lansir satu persatu. Kemudian menyusuri jalan bertangga yang jelas juga tidak bisa di naiki sepedanya terpaksa di tuntun. Di bawah naungan pepohonan pandan sesekali sepeda di gendong. Dan tak jarang kami harus bahu-membahu membawa naik sepeda di jalanan yang agak memanjat. Hanya beberapa penggal jalan saja yang bisa dinaiki sepeda. Namun disinilah kami kadang-kadang tertawa dan tersenyum melihat diri sendiri yang tersungkur, terpeleset atau jatuh kelelahan.
Namun semuanya terbayar saat tiba di puncak Gunung Sibayak kira-kira pukul 17.30 Wib. Langit sore yang teduh menyambut suka cita kehadiran kami. Gemuruh Kawah Sibayak seperti bersorak sorak. Maka tak terbayangkan rasa haru yang menghampiri. Perjalanan berat ini menjadi batas yang telah mampu dilalui. Sambil menikmati udara segar, saya melihat ketiga teman saya. Kebersamaan ini begitu indah rupanya. Maka kopi hangat pun menjadi pengisi kecerian kami di sebuah senja di Puncak Sibayak.
Bike to Sibayak, 15 Juni 2010
Catatan: Tulisan ini di buat saat mengobrak-abrik hardisk dan menemukan folder foto tentang perjalanan saya ke Sibayak bersama kawan-kawan dengan sepeda medio 2010. Tulisan sudah saya ketik dua minggu lalu. Namun karena kepergian saya ke toba samosir, sehingga jadi terbengkalai. Berhubung juga tulisan tentang toba samosir lagi “stuck” di pikiran saya, maka tulisan “bike to sibayak” yang hampir kelar kemarin lebih baik saya tuntaskan terlebih dahulu. Padahal sebelumnya mutiara di parbaba (di pulau samosir) sudah saya publish.
Akhirnya dengan semangat berbagi, semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Salam Kompasiana.