Artinya ada kesadaran obyektif, fakta sosial, perkembangan zaman yang tidak boleh dicampuradukkan dengan kesadaran subjektif, personal, dogma, dsb. Kesadaran obyektif itu bermuara pada kondisi sosial yang garisnya sejajar atau horizontal. Sedangkan kesadaran subjektif bermuara pada ruang metafisik, supranatural, tauhid, dan garisnya adalah vertical.
Pendekatan keagamaan sepatutnya dilandasi dengan penerimaan terhadap perbedaan keberagamaan sesama. Baik dalam aspek spiritual, religiusitas dan kondisi Syariah yang purwarupa. Artinya jika agama bermuara pada keimanan, maka ukurannya bukan manusia, tetapi antara Tuhan dengan Manusianya. Pun demikian jika nilai-nilai keagamaan yang diukur, maka ukurannya bukan halal-haram, baik-buruk, dan lain sebagainya, tetapi kepekaan sosial keagamaannya.
Lain hal dengan kebudayaan, di mana ruangnya adalah ide atau akal budi manusia. Hal ini tentu sangat dinamis tetapi perlu pertimbangan objektif terhadap perkembangan dan laju kehidupan.
Kondisi sosial tidak dapat ditebak lajunya. Kadang lajunya begitu pesat, kadang juga merambat, di lain waktu melambat. Jika budaya luar (barat) selalu menjadi kambing hitam akan akibat perubahan sosial, begitu juga seharusnya ada peninjauan lebih dalam lagi akan budaya luar yang lain (timur tengah). Dalam hal ini budaya jawa, atau budaya bangsa-bangsa di Nusantara baiknya dipertahankan dan dijadikan acuan dasar sebelum menelan dan mencerna budaya dari luar (baik barat ataupun timur tengah).
Budaya lokal, tidak jarang hanya dibuat pemanis komunikasi; baik politik maupun kepentingan yang lain. Paling sederhana adalah budaya saling tegur sapa, kulo nuwun, amit sewu, lujeng, dan lain sebagainya, agaknya sudah tertutupi oleh kebiasaan-kebiasaan baru yang terserap dari luar jati diri kejawaan atau kelokalannya. Apalagi justifikasi terhadap model tradisi ngibadah sembahyang yang ada sebelum islam datang; bakar kemenyan, macapat baynan, macapatan, ambengan, dlsb.
Jauh dari pada itu, pada dasarnya yang perlu menjadi pondasi penguat adalah kepekaan. Kepekaan budaya dan kepekaan agama adalah ruang nilai. Pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai sosial pun agama menjadi ramuan dalam menjalani perkembangan kehidupan. Karena yang terpenting dari sebuah bentuk adalah substansi atau hakikat.
Kepekaan budaya dan kepekaan agama perlu dipupuk tumbuhkan di dalam ruang Pendidikan. Pendidikan memiliki multi makna dalam penerapannya. Di satu sisi Pendidikan berupa transfer pengetahuan dan nilai, di sisi yang lain Pendidikan berupa pendampingan. Sehingga wajar jika Gus Mus pernah dawuh bahwa ta'limiyah berbeda dengan tarbiyah.
Pendidikan memiliki peran dalam membentuk individu untuk memahami personalitasnya. Gus Sabrang (Noe) pernah mengatakan dalam salah satu seminarnya bahwa personalitas dan identitas itu adalah dua ruang yang berbeda. Namun begitu keduanya saling melengkapi satu sama lainnya. Personalitas menunjang bagaimana prinsip, cara berpikir, cara pandang dan sikap mengambil keputusan, sedangkan identitas adalah kesadaran bahwa manusia memiliki tugas kemanusiaan untuk menyembah kepada Tuhan, sesama manusia dan alam.
Sehingga Pendidikan menemui perannya; membangun kemanusiaannya dan kepekaannya. Kepekaan terhadap kondisi sosial, keberagamaan, dan kebudayaan adalah hasil (yang seharusnya) dibentuk oleh Pendidikan. Disadari atau tidak peran Pendidikan hari ini silahkan anda maknai sendiri.
Dalam konteks sosial, kepekaan dapat mempengaruhi terhadap gerak komunikasi dan etika seseorang. Di antaranya menurut Purwadi (2009:119) adalah Ambeg Adil Paramarta, Ambuncang Reretuning Jagad, Amemangun Karyenak Tyasing Sasama, Amit-Amit Karo Mbah Buyut Mengko Kuwalat. Artinya Pendidikan memiliki peran tidak hanya untuk membentuk intelektualitas saja, tetapi spiritualitas dan meta -- etikanya.
Ambeg Adil Paramarta, artinya individu atau kelompok memiliki kesadaran akan sikap jujur (adil) dan penuh kebijaksanaan. Mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Paham situasi dan kondisi, mampu mengambil sikap yang tepat atas apa yang dihadapinya. Hal ini oleh Ki Hajjar Dewantara dalam Filosofi pendidikannya disebut Tut Wuri Handayani. Dengan demikian Pendidikan adalah membangun sikap agar bijak dalam mengambil keputusan dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Ambuncang Reretuning Jagad, membuang kerajaan dunia. Hal ini seperti yang dikatakan Mbah Mutamakkin terhadap Pakubuwana II bahwa Ia lebih memilih kerajaan akhirat ketimbang kerajaan dunia. Artinya membuang pernak-pernik duniawi yang melekat dan menjadi penyebab kemrungsungnya manusia.
Amemangun Karyenak Tiyasung Sesama, membuat kelegaan dan kebahagiaan bagi sesama. Dalam pendekatan tasawuf, dikenal dengan idkhal as-surur artinya berbagi kebahagiaan, membangun roso pangroso antara satu sama lain agar kebahagiaan itu tidak hanya berupa bungkus luar, tetapi juga di dalam hatinya. Jika Pendidikan mampu menjadi sumber kebahagiaan setiap orang, maka Pendidikan memiliki maksud menyertai, mbarengi, dan mendampingi.
Terakhir, Pendidikan setidaknya memberi nilai-nilai etis sehingga setiap individu mampu menempatkan diri dan bersikap sepatutnya kepada siapapun. Seperti yang disebutkan di atas, amit-amit karo mbah buyut mengko kuwalat, artinya harus menghormati orang tua (orang tua kandung, mertua dan Guru). Walau demikian orang tua sangat luas maksud dan posisinya. Sehingga Pendidikan mengajarkan setiap orang untuk mikul duwur mendem jerro. Artinya menghormati dan menghargai setiap apa yang menjadi petuah dan pesan dari orang tua.
Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan, memupuk dan melestarikan kesadaran akan keberagamaan dan kebudayaan, maka Pendidikan menjadi pijakan untuk menumbuhkan kepekaan atau kesadaran tersebut. Sehingga untuk menyadari kemanusiaannya maka perlu menyadari kepekaanya, karena semakin merdeka hatinya, semakin besar potensi menyadari kemanusiaannya.[]