Sejak itulah saya mulai gemar menulis, walaupun hanya sebatas satu lembar di buku tulis saya. Paling tidak itu menjadi awal di mana saya mulai menggemari dunia menulis dan membaca.
Setelah memasuki jenjang MA/SMA saya mulai mengenal novel-novel, saat itu yang sedang ramai adalah ayat-ayat cinta. Tetapi ketika pergi ke perspus sekolah saya menemukan satu novelnya pak Pram; Anak Semua Bangsa.
Dari sanalah akhirnya beberapa novel dengan konten yang beragam mulai saya gandrungi. Novelnya pak Iwan Simatupang misalnya; Ziarah. Saya mencoba untuk menulis tangan cerita-cerita pendek. Bukan perihal bagus atau tidaknya, pada dasarnya penting nulis aja dulu.
Lambat laun, saya masuk di penjurusan. Dan saya memutuskan untuk masuk di jurusan bahasa. Dari sanalah akhirnya saya mulai belajar menulis dan membaca puisi, esai, features, cerpen dan artikel ilmiah.
Sampai pada suatu ketika saya dipanggil guru Fiqih saya, Bu Hani' namanya. Beliau meminta saya untuk membuat tulisan tentang siwak, ternyata setelah tulisan itu selesai saya menerima undangan untuk mengikuti lomba KIR (Karya Ilmiah Remaja) tingkat kabupaten.
Singkat cerita, tulisan saya tentang siwak diterima dan lolos kualifikasi. Sampai akhirnya masuk pada urutan pertama tingkat kabupaten. Selang beberapa bulan kemudian ternyata ada surat dari diknas agar artikel tersebut diikutsertakan pada lomba KIR tingkat Provinsi.
Bu Hani' memberikan fasilitas yang berupa-rupa. Komputer, buku, akses internet (yang kala itu youtub masih sering bufferingnya) dan makanan terutama. Atas bimbingannyalah saya menerima peringkat ke-dua saat itu.
Tentu tidak berhenti di ajang lomba itu saja. Saya mencoba menulis kumpulan puisi, dan beberapa cerpen. Puisi itu saya tulis untuk cewek kelas sebelah yang diam-diam saya menyukainya (tahu kan, jaman putih abu-abu?). Dan sayangnya puisi itu tak pernah sampai ke tangannya.
Puisi itu lalu saya abadikan di rak buku saya di rumah. Sampai akhirnya saya lulus dan masuk di perguruan tinggi swasta di Malang. Dari sanalah saya mulai mengenal beberapa tulisa atau buku-buku serius; filsafat, marxisme, sosialisme, sejarah, keislaman dan lain sebagainya.
Sehingga muncul niatan untuk menulis serius di laptop yang saya kridit sejak masuk kuliah di bulan pertama.
Saya mulai mengikuti diakusi-diskusi ilmiah di Sekolah Tinggi Filsafat al Farabi. Juga mengikuti organisasi PMII. Di mana di sanalah saya mulai menekuni kajian sosialisme, keislaman, gerakan sosial, aswaja dan lain sebagainya.
Dari situlah saya belajar menulis esai dan opini. Terkadang merespon apa yang sedang terjadi di sekitar pun negara. Apalagi saya ketemu teman di lingkar diskusi itu, yang mana ia sudah sering mengirimkan tulisan ke beberapa media cetak dan diterima. Apalagi dulu sering ada lomba esai tingkat kampus, lintas organisasi, dan lain sebagainya.
Akhirnya saya mulai belajar padanya; oh iya namanya adalah Herlianto. Ialah yang mengenalkan saya pada tulisan esai. Di samping ada Pak Kyai Dlofir yang mengenalkan bagaimana menulis yang isinya daging semua.
STF al Farabi punya peran besar atas diri saya. Terutama dalam bidang pemikiran dan penulisan.
Sampai akhirnya saya kenal beberapa orang di komunitas menulis sastra (kobis). Kita sering ngumpul di kantor kompas di kota malang. Dari sanalah saya belajar banyak hal tentang kepenulisan. Sampai akhirnya saya menerbitkan buku pertama saya tentang Gus Dur; Multikulturalisme kontekstual Gus Dur.
Lambat laun saya mencoba menulis dan mengirimkan tulisan saya ke media-media. Ada yang diterima ada juga yang ditolak. Sampai akhirnya saya berjumpa dengan Kompasiana. Di situlah awal mula saya mengekspresikan segala tulisan saya dan-lalu saya upload ke Kompasiana.
Bukan materi orientasinya, eksistensi iya, tapi hanya berapa persen saja. Yang jelas saya merasa senang bisa bergabung dengan kompasiana. Saya bisa terus belajar menulis dan membaca. Karena kompasiana menyediakan fasilitas tersebut.
Kita bisa menulis apa saja, mengupload kapan saja. Dan kita dipertemukan dengan beragam penulis dari seluruh penjuru Indonesia.
Buku-buku saya yang sudah terbit, sedikit banyak adalah atas sumbangsih kompasiana dan kompasiane. Dari panjenenganlah saya belajar banyak hal, utamanya dalam dunia penulisan. Apalagi sampai menjadi buku. Terima kasih telah memberikan saya kesempatan untuk menulis dan paling tidak dengan begitu, bukti bahwa saya pernah hidup adalah adanya tulisan saya di kompasiana.
Oleh karenanya, 12 tahun kompasiana adalah rasa syukur yang tiada tara. Khususnya bagi saya, penulis amatir yang selalu ingin belajar menulis dan membaca. Bukan masalah menjadi tulisan utama, pilihan editor atau hadiah yang ditwarkan kompasiana. Karena bisa dimuat saja dan bisa sampai kepada setiap pembaca saya sudah bersyukur dan banyak-banyak terima kasih.
Bagi saya, kompasiana adalah ruang ekspresi diri yang bebas dan mampu memberi ruang bagi setiap penulis dan pembaca. Karena bagaimanapun setiap tulisan pasti akan menemui pembacanya.
Terima kasih kompasiana. Salim
A. Dahri