Peningkatan jumlah penduduk agaknya juga memaksa untuk menambah jumlah tempat tinggal. Baik membangun di samping rumah asalnya atau membeli tanah yang sudah dikavling-kavling dan menjadi perumahan-perumahan. Tentu dengan ragam promosi dan fasilitas yang menggiurkan.
Ketika sebagian orang berlomba-lomba memperbaiki lahan pertaniannya, saat itu juga para tengkulak tanah untuk perumahan berlomba-lomba memasarkan dagangannya. Biasanya akan cepat laku kalau tanah-tanah kavling itu berdekatan dengan fasilitas publik, kampus, mall, pasar, dan lain sebagainya. Di samping itu juga pemandangan alam yang memanjakan mata dan suasana, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi calon pembeli.
Tetapi pernahkah kita sejenak berpikir bahwa sebenarnya lahan-lahan yang ada di sekitar kita sangat mungkin untuk menjaga kedaulatan pangan. Baik lingkup kampung, desa sampai seluas Negara. Mengapa? Perlu kita ketahui banyak sekali tanah-tanah produktif yang seharusnya bisa ditanami padi, umbi-umbian, jagung dan lain sebagainya, berubah menjadi bangunan-bangunan yang serba minimalis pun super mewah.
Kalau di tahun 2010an dulu muncul istilah ijo ruko-ruko di mana terbangun ruko-ruko di sepanjang jalan yang dulunya adalah pohon-pohon yang menjulang, yang menjaga stabilitas udara sehingga menjadi sejuk dan tak pengap. Sedangkan delapan tahun kemudian berubah menjadi alih fungsi lahan produktif menjadi lahan-lahan kavling dan berjubel perumahan-perumahan yang bertengger di lahan-lahan tersebut.
Permasalahan yang muncul hari ini adalah permasalahan ketahanan pangan. Di mana harga bahan-bahan kebutuhan pokok tidak stabil dan cenderung berubah bahkan lebih mahal. Sayang sekali beras, kedelai dan kebutuhan pokok yang lain kabarnya masih impor dari beberapa Negara tetangga. Kan. Menjaga relasi, salah satu bentuk silaturrahmi, iya kalau itu tidak berdampak kepada masayrakat, kalau sebaliknya? Tentu akan mengakibatkan kesenjangan di dalam ruang-ruang publik.
Dengan kata lain, lebih baik sepuluh ribu sekarang, ketimbang seratus ribu minggu depan. Ungkapan ini kerap menjadi bahan perenungan, bahwa sebenarnya apa yang menjadi unsur-unsur pemenuhan kebutuhan pokok seharusnya lebih diutamakan. Tempat tinggal itu penting lho, siapa yang tidak menyetujui itu? Akan tetapi perlu adanya peninjauan kembali terhadap apa yang menjadi kebutuhan utama saat ini.
Permasalah lahan memang sulit diterka, yang sering terjadi adalah tanah warisan sering jadi rebutan, kalau sudah dapat maka tidak sabar untuk menjualnya. Begitu juga dengan tanah-tanah yang sifatnya milik Negara, atau HGU yang sudah habis, pasti banyak sekali yang sudah berebut, dengan alasan untuk kesejahteraan, pada akhirnya ketika hak guna jatuh ke tangannya atau sampai bersertifikat, maka tak sabar ingin segera menjualnya. Tidak sedikit kejadian seperti itu terjadi di masyarakat kita.
/2/
Lahan produktif adalah lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pokok, utamanya kebutuhan pangan. Kondisi terdampak pandemi Covid-19 mengajarkan kepada kita semua bagaimana pentingnya pemenuhan kebutuhan pokok. Bahwa kebutuhan sehari-hari lebih utama untuk segera dicukupi ketimbang kebutuhan yang bersifat masih bisa ditunda.
Covid-19 benar-benar menggugah kebiasaan gotong royong yang hampir punah. Agaknya hal ini akan terkonfirmasi dalam kehidupan yang bias kota. Jika di pedesaan agaknya masih sangat kental kebiasaan gotong royongnya. Apalagi pedesaan menjadi dasar penguat bagi sumber pemenuhan kebutuhan pokok. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pangan.
Ada beragam permasalah pertanahan, yang paling pelik adalah kavling-kavling, tetapi kadang juga kemauan yang besar dari pemilik tanah untuk mengubah lahan produktifnya dengan bangunan-bangunan bertujuan untuk usaha dan lain sebagainya. Tentu hal ini bukan lagi menjadi wilayah kepentingan publik.
Tetapi ketika melihat lahan-lahan produktif berubah menjadi sepetak-petak kavlingan tentu muncul seberagam pertanyaan, khususnya terkait kedaulatan pangan. Baik pejabat publik yang mengeluarkan izinnya, atau pemilik lahan, pun tengkulak tanah dengan segudang rencana-rencana bangunan-bangunan yang akan berdiri di atas lahan tersebut.
Kepentingannya sederhana, lahan produktif seharusnya disesuaikan dengan fungsinya. Jika kondisinya masih sangat memungkinkan untuk menghasilkan sumber kebutuhan pokok tentunya perlu diolah dengan baik dan dipertahankan. Terkecuali lahan tersebut bongkor di mana tidak bisa sama sekali untuk ditanami apapun.
Oleh karenanya perlu adanya diskusi, rembukan dengan masyarakat terkait fungsi lahan sebenaranya. Sehingga ada kesadaran dan upaya untuk lebih menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tidak grusa-grusu dalam menyikapi kebutuhan yang sifatnya masih bisa ditunda.
Karena pada dasarnya, yang terpenting bukan masalah lahannya, tetapi manusianya. Membangun mental lebih sulit ketimbang membangun rumah serba elit. Kalau masalah utamanya adalah kedaulatan pangan tentu solusi utamanya adalah pertanian, lumbung dan bagaimana mengatur pasar dengan hasil pertanian masyarakat.