Dua minggu kemarin seluruh mahasiswa UMBY sedang melaksanakan ujian tengah semester, penuh dengan berbagai kesibukan, dari mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan ketika ujian hingga mencari bahan (materi) yang dirasa masih kurang untuk dipelajari agar bisa mengisi soal-soal yang diujikan. Sibuk deh pokoknya …
Namun ada hal lain yang menarik yang saya perhatikan dan tentunya juga teman-teman mahasiswa juga merasakan dan mungkin juga menjadi bagian dari itu semua, yaitu permasalahan pembayaran SPP variabel (SKS). Saya rasa teman-teman mahasiswa sudah membayar setengah dari SKS yang diambil, karena syaratnya memang demikian, dikatakan aktif kalau sudah membayar SPP variabel setengah/lunas ketika memasuki awal semester kemarin. Nah, dari hasil pengamatan saya beberapa hari ini banyak sekali mahasiswa yang tidak tercantum namanya dilembar kertas yang terpampang ketika hendak memasuki ruangan kelas termasuk penulis sendiri dan harus nrimo duduk dibangku yang tak bernomor dideretan belakang, absen nulis nama sendiri dan juga tidak mengisi kolom Nomor kursi dikertas ujian. Bahkan, dengan tidak adanya nama tertera, rasa was-was semakin menjadi ketika para pengawas ujian berkata “kalau tidak ada kartu dispensasi maka akan disuruh keluar dari ruangan” dan bahkan ada yang mengatakan tidak akan dikeluarkan nilainya kalau tidak dispensasi/melunasi sisa tunggakan pembayaran. Sadis memang, tapi mau berkata apalagi, itu sudah menjadi syarat untuk bisa mengikuti ujian yang sudah ditetapkan oleh Rektor (ditempel depan TU kalau di fakultas Psikologi).
Salah satu contoh kasus yang saya dapat ketika mengikuti ujian “Analisis jabatan” senin 14 November2011. Dimana para mahasiswa yang tidak tercantum namanya diharuskan meminta surat permohonan dispensasi terlebih dahulu kalau tidak akibatnya akan seperti tulisan yang saya cetak tebal diatas. Belasan mahasiswapun serta merta bergegas untuk pergi ke bagian keuangan, karena disanalah tempat menyelesaikan proses dispensasi. Namun, ada beberapa mahasiswa tidak mengindahkan ancaman dan perintah legal itu, termasuk saya sendiri. Dengan santai terus mengisi soal-soal ujian dan menganggap itu merupakan hal yang bisa saya selesaikan setelah mengisi soal-soal ujian. Gitu aja koq repot, dengan waktu ujian hanyasatu jam dan mengisi soal-soal yang jawabannya tiap nomor cukup panjang, kemungkinan tidak akan selesai semuanya ketika saya harus mengurus surat dispensasi pada saat jam ujian dan juga seandainya saya keluar untuk mengurusnya bisa saja saya membuka catatan karena kami (mahasiswa) sudah terlebih dahulu diberikan dan sempat membaca soalnya sebelum diperingatkan (semoga saja teman-teman yang keluar tidak seperti itu). Karena motivasi terbesar orang diseluruh dunia adalah kepepet.
Permasalahan tersebut diatas juga tidak hanya dialami oleh mahasiswa Fakultas Psikologi tapi juga di fakultas-fakultas lainnya. Semua (yang baru bayar setengah) mengeluh dengan keputusan tersebut.
“kenapa harus bayar full pada waktu UTS, coba seperti biasanya …semua harus bayar lunas pada saat UAS khan gak harus begini…”.
“aku gak boleh ikut ujian gara-gara belum bayar lunas”
“saya dikeluarin dari kelas, karena belum bayar SPP Variabel”
“ begini nih kampus kalau mahasiswanya gak pernah menyikapi kebijakan-kebijakannya…semau hati dah…UTS aja dipersulit gini”
“…ah percuma aja kita dispensasi, toh nanti batasnya juga harus sebelum UTS berakhir..”
Itulah beberapa keluhan yang sering saya dengardari mulut ke mulut.
Entah apa yang ada dalam benak para pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan dikampus ini. Semakin hari bukannya semakin dipermudah, tapi malah berlaku sebaliknya. Pihak universitas seakan tidak mau tahu, kalau sekarang ya harus sekarang. Tidak ada toleransi sedikitpun. kampus sudah seperti dept collector dan rentenir. Pihak Kampus seakan-akan menyamaratakan semua mahasiswa. Semua dianggap orang berada. Punya banyak uang. Semuanya punya mobil. Anak pengusaha, anak pejabat, anak Pegawai Negeri. Tidak ada yang namanya anak orang miskin yang serba pas-pasan, petani dan pekerja serabutan yang harus kerja dari pagi hingga malam agar anaknya bisa makan dan mencicipi kuliah dikampus yang katanya “kuliah tidak harus mahal”ini, kalian salah wahai para pemimpin kampus, yang kuliah disini tidaklah semuanya orang kaya yang berlimpah harta, anak petani juga ada. Mahasiswa tidak hanya memikirkan ujian kampus tapi juga ujian kehidupan. Apalagi mahasiswa dari perantauan yang setiap akhir bulannya harus mengadaikan barang dan meminjam uang teman se-Kost agar bisa bertahan dan makan.
Motto kampus “Mercu Buana Lebih baik” seakan menjadi “Mercu Buana Semakin Sulit”. Apakah karena ingin menjadi lebih baik maka mahasiswa semakin dipersulit? Apakah sengaja untuk memancing kekritisan kami? Atau ingin memunculkan ke anarkisan kami seperi kampus-kampus lain di negeri ini? Janganlah, karena kami punya rasa itu ketika kebijakan-kebijakan semakin tidak berpihak kepada mahasiswa !
Tanpa mahasiswa apalah arti kampus ini. Hanya sebuah bangunan kosong yang tak berpenghuni.
Kalau ada yang mudah kenapa dipersulit..!
Salam peace dari penulis.