(barth Padatu)
Pemilu legislatif telah di ambang pintu. Partai, politisi, berebut mengetuk pintu hati rakyat. Inilah fenomena yang akan kita hadapi bersama. Siapa yang akan mengambil posisi sebagai wakil rakyat? Siapapun dia, bukan menjadi soal. Tinggal bagaimana mereka menjawab komitmen politik.
Bukanlah berita apabila mengatakan bahwa negara kita adalah salah satu negara biang korupsi. Disebut berita, apabila kita dapat masuk sepuluh besar negara dengan tingkat penyelenggaraan pemerintahan yang bebas dari korupsi. Mungkinkah itu? Jika bicara kemungkinan ya tentu dimungkinkan. Dapatkah hal tersebut segera dicapai? Nah ini persoalannya ! Jawaban ini sangat tergantung, salahsatunya, dengan keberadaan politisi yang akan menjadi salah satu instrumen pencapai harapan menjadikan Indonesia sebagai 10 negara terbersih dari praktek korupsi. Soalnya jelas, mereka memegang kekuasaan bukan saja legislasi, namun fungsi anggaran dan kontrol.
Politisi dalam cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari korupsi memerlukan penyadaran diri super extra, bahwa apabila mereka sendiri merupakan bagian dari koruptor, semua menjadi mudah untuk ditebak akhirnya, Indonesia semakin rapuh. Sebelum terpilih, politisi sebaiknya memiliki kesadaran dini bahwa tidak perlu berlama-lama untuk memperjelas posisi mereka apakah mereka sebagai politisi anti korupsi atau politisi korupsi. Untuk semua politisi (kandidat) yang belanja politiknya melampaui nilai kewajaran dalam pembiayaan logistik, besar peluang ia menjadi korupsi nantinya.
Mengutip kembali quote di atas, "when Politic end, Corruption begin" akan menjadi realitas keseharian mereka yang dalam proses pemenangan dirinya membelanjakan anggaran yg tidak wajar. Ketika proses politik (pemilu) berakhir, yang jelas, lokomotif korupsi melaju !
Untuk rakyat Indonesia, tentukan pilihan kita dengan nurani dan kecerdasan sebagai pemilih !
(Barth, yogyakarta, 16/3/14)