Jam di HP Fura tepat pukul 13.30 WIB. Ia memarkirkan mobilnya di tepi jalan di kawasan DPR Jakarta. Segera dicangklongnya tas hitam kesayangannya melesat menembus keramaian massa yang telah memadati tempat acara.
Senyumnya mengembang setiap berpapasan dengan orang-orang yang dikenalnya. Di bawah terik mentari yang memanggang bumi, nikmat bermandikan keringat ia berdiri tegak menantang cerlang.
Sebenarnya tempat itu sudah tidak asing lagi bagi Fura. Di sebalik pagar itu ia sering menjejakkan kakinya menemu anggota dewan yang terhormat.
Fura mengeluarkan kamera pocket dari ranselnya. Dengan topi bundar ia berusaha mengurangi sengatan mentari. Sesekali duduk dengan mata yang terpicing silau. Berdiri, mondar-mandir, jeprat-jepret mengambil gambar yang menurutnya sesuai.
“Jika harus kembali kepada asas tunggal. Siapakah sejatinya yang mengaku paling pancasilais? Koruptor penggasak uang rakyatkah? Penguasa antek penjajah penjual aset bangsa? Atau yang mengaku wakil rakyat padahal doyannya melancong dan banyak cincong?” Fura bertanya-tanya.
“Sungguh, ini bukan yang terakhir, Ra. Sebelum revolusi benar-benar terjadi dan hukum Ilahi menapaki bumi maka jejak kakimu kan tetap hadir di sana. Menjadi saksi beradunya logika: ganti rezim ganti sistem!” batinnya lantang berbincang dalam diam.
Camkan, Ra, bila RUU itu tetap harus membungkammu. Jangan kaupernah membisu. Hanya satu kata yang kaumau: Revolusi!
Di depan DPR Jakarta, 28 Maret 2013