Di sekitar Gelora Bung Karno tidak seperti itu. Para pedagang sering kesal karena calon pembeli hanya menginginkan kaos bertuliskan Irfan dan Gonzales. "Memangnya timnas itu hanya dua orang saja apa...?," ucap mereka sambil menggerutu karena dagangannya tak jadi dibeli.
Pengalaman berburu orang beken ini cukup lucu dan malu-maluin. Soalnya yang berburu itu adalah para wanita setengah baya alias ibu-ibu yang mendadak ngefans timnas sementara mereka tidak kenal wajah dan nama pemain. Cara hunting mereka beda dengan ABG yang suka berteriak-teriak, menyerbu dan saling menyalib hingga membuat pemain sulit bernafas. Gaya kami para ibu-ibu lebih elegan dan berulang-ulang mengatakan," ini (tanda tangan) untuk anak saya lho Mas!".
Sedari awal saya sudah berangan-angan untuk mempersembahkan setidaknya foto Irfan Bachdim untuk kedua anak laki-laki saya. Dengan mengabaikan keraguan mereka, - Mama bisa apa? -, saya sabar menunggu di loby hotel. Irfan lewat. Gonzales tak tersentuh. Saya terjepit di antara wartawan TV bertubuh tinggi besar serta ratusan abege dan selebritis yang histeris.
Besok sorenya saya dan ibu-ibu lain yang punya misi sama, kembali berkeliling lobby. Tampak puluhan anak didampingi orangtua mereka tertawa-tawa memamerkan baju yang sudah ditandatangani para pemain. Kami menyusuri koridor menuju lantai bawah dengan harapan menemukan pemain itu di sana. Hup... di tangga si baby face Irfan Bachdim tiba-tiba muncul. Dapat juga akhirnya.
Satu persatu tanda tangan pemain bola diperoleh, apakah itu di pintu lift, loby, atau di café hotel. Bahkan kami juga memohon-mohon kepada petugas hotel agar sudi memintakan tandatangan Firman cs.
Pengalaman lucu adalah ketika mengejar tanda tangan Okto Maniani. Saya menjadi iri begitu mengetahui seorang ibu sudah memperoleh tanda tangan Okto. Saya pun bertekad untuk menunggu dia hingga selarut apapun.
Mendekati jam 10 malam, terlihat seorang laki-laki Papua berbadan gempal bertanya ke reseptionis hotel dan menunggu dengan gelisah. Feeling saya mengatakan bahwa dia pastilah keluarga atau kenalan Okto. Setengah jam berlalu, muncullah seorang laki-laki bertubuh kecil dengan topi menutup separuh wajah. Teman saya yang tadi sudah mendapatkan tanda tangan pemain asal Papua itu, sok yakin bahwa itu bukan Okto.
Akhirnya salah seorang diantara kami pun pergi bertanya, "Bapak kerabatnya Okto ya?" Bukannya si pria gempal yang menjawab, tapi Okto sendiri. "Saya Okto, Ibu," ucapnya dengan aksen timur yang mendayu seraya menyembulkan giginya yang putih serta senyum manis. Sontak saja sang ibu kegirangan. Dari sudut lobby ibu-ibu lain pun menyerbu Okto.
Masih ada lagi yang lebih memalukan. Dua orang berjaket atlit hendak masuk lift dan seperti gerbong lepas dari rel, kami pun mengepungnya. Terus terang saat itu saya belum tahu nama buronan kami ini. Dia mulai menandatangani baju bola kami. Eeh... teman saya dengan lugunya malah bertanya, "Namanya siapa, Mas?".
"Zulkifli, Ibu" jawabnya sopan. Si ibu pun mengecek koleksi tanda tangan di baju bolanya dan berguman... o belum ada. Lalu tanpa rasa bersalah menyodorkan baju itu untuk ditandatangani. Untung saja si penyelamat gawang Indonesia itu tidak marah dan membuang baju kami ke lantai. Dasar ibu-ibu...