(Oleh: Angin Kurima)
REALITAS
Salah satu bentuk kolektivitas yang mendahului masyarakat zaman sekarang adalah kolektivitas yang disebut volk atau folk rakyat atau kerakyatan. Jejak kolektivitas semacam ini masih bisa kita temukan dalam ungkapan-ungkapan seperti folk song (lagu rakyat) folk tale (cerita rakyat) folk religion (agama rakyat). Bentuk-bentuk seni ini terkait erat dengan masyarakat traditional tertentu yang hidup dalam batas-batas ideologis tertenu dan kadang-kadang dalam suku tertentu.
Belum ada kepastian. Kapan ungkapan seperti ini dipakai. Namun diduga istilah ini dipakai sejak dimulainya kajian-kanjian “suku terasing” di daerah koloni oleh para peneliti Barat. Istilah ini dipakai karena ada entitas politisnya yang belum jelas. Istilah ini juga terkandung aspek indigenous dan terbelakang (sering disebut “primitif”). Folk juga bentuk “Yang Lain” dari Barat yang sudah maju dan modern.
Folk dalam pembahasan ini, saya pikir kita sebut saja rakyat dalam artian “rakyat tradisional”, semacam gemeinschaft. Dalam arti pengalaman sosialitas sangat erat dengan ikatan geografis, etnic, dan tradisinya (masyarakat). Ulasan folk semacam ini lebih banyak dibahas dan muncul di Jerman pada akhir abad 18 oleh J. G. Herder.
Waktu itu Herder mengemukakan gagasan volkgeist. Secara harfia istilah ini berarti “semangat rakyat” atau bisa juga “semangat nasional”. Maka, sudah sangat jelas bahwa volkgeist sebagai kesadaran kolektif yang kental dengan kesadaran politik rakyat. Gerekan kesadaran yang muncul dari rakyat, mengutamakan kepada rakyat.
Volkgeist ini juga bisa kita temukan di daerah-daerah yang pernah dijajah, seperti di Indonesia. Salah satunya adalah gerakan politik kebudayaan yang dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan seni yang dikembangkan oleh Ki Hadjar lewat Perguruan Taman Siswa. Pendidikan dalam perguruan itu sarat dengan kesadaran politik.
Jika dikaitkan dengan realitas di tanah Papua, muncul di sana Arnold Ap, Eddie Moffu, Yafet Yelemaken dengan gerakan cultural, pengembangan music-music rakyat di tanah Papua. Sayangnya gerakan itu tidak pernah diakui oleh pemerintahan Orde-Baru pada waktu itu. Karena, dianggap melakukan/membangun kesadaran kolektif local “gerakan-gerakan kerakyatan” dalam pengertian negative, di tanah Papua. Dengan demikian istilah “kerakyatan” barangkali lebih cocok untuk menunjukkan pengalaman kerakyatan semacam ini.
Dalam hidup kebangsaan kita pada zaman ini, ialah zaman Indonesia, barulah kita mulai mempersatukan rakyat dari segala kepulauan. Ini berarti “kebudayaan Indonesia” belum ada, belum bisa ada. Yang ada pun hanya mewakili dari beberapa dominasi culture yang besar, yang dinilai oleh kalanganan tertentu bahwa itulah yang baik dan layak, yang lainnya“primitive” dan “nomad”.
“Kebudayaan” itu tidak dibuat, akan tetapi terjadi: terjadinya tidak tergesa-gesa atau sekonyong-konyong, tetapi tumbuh seperti tumbuhanya segala benda yang hidup, yakni berangsur-angsur lambat laun, dengan jalan evolusi, bukan revolusi. Dengan kata lain, kerakyatan dalam arti ini terkait erat dengan gerakan politik, yaitu suatu gerakan kerakyatan yang ingin ditempatkan dalam sebuah wadah yang disebut negara bangsa.
Maka dengan demikian, tentu saja munculnya semacam gerakan-gerakan ekstrimis di kalangan pemuda-remaja di tanah Papua akhir-akhir ini, mengarah pada nilai folk. Kalau dipikir, semua peristiwa itu adalah atas kelalaian para nasionalis banal NKRI dalam mengartikan dan mengentaskan masalah kemanusiaan di wilayah paling timur Nusantara itu.
Dalam konteks negara bangsa (seperti di Indonesia), kerakyatan sering kali dipakai dalam arti yang lebih spesifik. Kerakyatan bukan hanya dipakai untuk membangun nasionalisme oleh elit politik, melainkan nasionalisme yang benar-benar berakar dari kesadaran kolektif rakyat dan bukan dari kehendak penguasa. Kerakyatan bisa saja tumbuh dimana-mana (istana maupun emperan jalanan), tetapi belum tentu itu berakar dari rakyat namun karena kehendak para elit. Di Nusantara ini para tokoh karismatis seperti Sukarno dan Nasser pada dasarnya juga mencoba mengaksen-tualisasikan aspek popular atau kerakyatan dari nation yang mereka bangun.
Maka, dikaitkan dengan beberapa peristiwa akhir-akhir ini di tanah Papua, sekitar 8 peristiwa yang terjadi berkaitan dengan semangat folk kerakyatan.Peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam satu bulan, diantaranya: (peledakan bom di jembatan Muara Tami, perbatan RI-PNG; serangan warga pendatang di Jayawijaya-Wamena; tangki depo pertamina di Biak meledak; serangan pos Polisi di Mutung perbatasan RI-PNG; kantor Polisi Abepura-Jayapura diserang; gedung rektorat Universita Cenderawasih dibakar; personel Brimob tewas di Puncak Jaya; terjadi aksi tembak antara aparat keamanan (ABRI) di perbatasan RI-PNG di Wutung).
Fenomena folk rakyat atau kerakyatan yang menjadi perhatian kita bersama adalah folk culture sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini di tanah Papua. Yaitu gerakan kerakyatan yang diwarnai oleh aksi mahasiswa dan gerakan generasi muda Papua. Pengalaman-pengalaman pahit, pelanggaran HAM dan memori kolektif yang selama ini tidak terselesaikan (seperti peristiwa Wasior Manokwari; Wamen berdarah, dan kasus Abepura dll), menjadi “amunisi” yang relevan dan ampuh untuk menyelesaikan atau merunut kembali gerakan folk yang selama ini membisu oleh hingar-binger tawaran, PERDA, UU, PERDASUS, dll, di Papua.
Secara konprehensif beberapa perisiwa beranti di tanah Papua. Tentu didorong oleh semangat folk yang bertumbuh dan berkembang. Namun yang menjadi catatan penting bagi kita semua adalah, kenapa peristiwa semacam ini terjadi ketika PEMILU demokratis 2009 di seluruh Nusantara sedang dimeriakan. Dan juga, bersamaan dengan keputusan Presiden dan MPR/DPR, tentang pemangkasan anggaran militer di Indonesia, pada beberapa waktu belakangan?
Insiden-insiden semacam ini seharusnya pemerintah pusat maupun daerah di Papua mengambil langkah kongkret untuk menangani/menyelesaikannya. Peristiwa semacam ini bukan pertama kali terjadi di Papua. Sejak pemerintahan Orde-Baru sampai jaman revormasi. Seluruh realitas di negeri ini menjadi hal “biasa”, tanpa ada efek. Setiap periode, pergantian pemimpin (presiden) di republic ini, tidak terlepas dari isyu Separatis, OPM/TPN, GPK dll, tergantung siapa yang memberikan lebel terhadap setiap peristiwa di tanah Papua.
Kemudian, pemikiran yang muncul adalah kelalaian/pembiaran untuk menciptakan objektifitas. Baik dari kalangan aktifis HAM, individu yang iseng, hingga oknum militer yang bermain-main untuk kepentingan tertentu. Maka, ungkapan Fareed Zakaria dan Samuel P. Huntington tentang demokrasi yang tidak diatur dapat meruntuhkan kebebasan dan supremasi hukum, bisa dapat terbuki di dalam bangsa ini, dan benturan culture yang diperkirakan bisa terbentur/terjadi. Sekalipun Papua dalam konteks local di Indonesia.
TAWARAN SOLUSI
Dasar pemikiran yang perlu dikembangkan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di tanah Papua adalah “Dialog Bersama”. Antara Pemerintah Jakarta dan Masyarakat/tokoh Papua. Arah dialog yang perlu diketengahkan dalam menyeleseaikan masalah Papua secara umum adalah, dengan meluruskan fakta sejarah tentang pelanggaran-pelanggaran HAM, Social maun Politik di tanah Papua. Karena memori kolektif semacam ini, akan menjadi embrio radikalisme. Wassallam
Reference:
http://diaryofkurima.blogspot.com/ and http://www.freewestpapua.org/