Multa non multum, tulis Multatuli dalam Max Havelaar (1860). Artinya "banyak tapi tak banyak". Begitulah gambaran yang tepat untuk para petani gurem di wilayah Maja, Lebak. Jumlah mereka banyak tetapi pengaruh mereka dalam menentukan arah kehidupan mereka sendiri saja sangat sedikit. Apalagi pengaruh mereka untuk menentukan pembangunan wilayah yang telah menjadi rumah mereka hingga banyak generasi.
Salah satu dari warga setempat di Maja yang sekarang masih berkutat di sawah adalah Ano. Itu bukan keinginan dirinya. Ia cuma terpaksa keadaan. Karena itulah ia merasa iri dengan kaum pendatang di Maja.
"Kan enak kalau bisa cari duit modal otak aja. Nggak harus jual tanah atau harta di kampung," celetuknya. Ia berpikir alangkah enaknya kalau bisa meraup rupiah seperti para pekerja urban, yang bisa cari nafkah dengan bermodal otak dan pikiran 'saja'. Tak perlu jual tanah dan bekerja kasar seperti dia dan tetangga-tetangganya.
Sayangnya, itu hal yang hampir mustahil terwujud. Ano cuma menggenggam ijazah SD dan belum menamatkan sekolah menengahnya. Lebak memang masih memprihatinkan soal angka partisipasi pendidikannya.