Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Doa Seorang Jawara

12 Mei 2014   16:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:36 35 0
Badar merapal mantra. Dengan bisik yang hanya didengar telinganya, ia terus saja mengulumkan kata magis di posiq arriang. Duduk bersila dalam balutan sarung sutra kemerahan, tangannya bersedekap di dada, sekali dibuatnya sapuan ke sekujur tubuhnya.

Ia seperti membuat selubung tak terlihat yang membentengi dirinya dari sentuhan apapun. Hingga akhirnya sebuah tetak udara dilukiskan pada tiang rumah utama. Seutas tali yang dipilin kecil dari daun lontar, diikatnya melingkar. Ritual itu hampir tak meninggalkan bunyi, kecuali desau nafasnya.

Pemandangan itu dibalur kepul pelita bersumbu. Wajah Badar membayang di dinding gamacca, setitik peluh menyembul di keningnya. Matanya sejurus mencari titik terjauh yang kemudian ditariknya demikian dekat ke kornea. Komat-kamit berisi doa keselamatan segera meruapi songi dimana dia bersila sendiri. Mantera itu untuk membuang sial.

Kemarin, ia masih sempat menyusur sisi bukit Palli. Di kampungnya setiap lelaki yang hendak beranjak pergi seperti wajib untuk melata mencari sesuatu di lereng bukit. Apa saja yang bisa ditanam ke tanah. Tak sampai siang Badar telah menggendong seonggok sisa akar-tanah menuruni jalan kampung. Satu tunas pohon sejenis beringin dijaganya erat.

Ketika pagi mulai menyingsing dengan langkah berat, Badar menuruni tangga rumah panggung khas Mandar, yang menjadi tempatnya mengeak pertama kali. Di rumah ini dia dilahirkan, dibesarkan, hingga tumbuh dewasa. Ia seperti belajar mengitung setiap anak tangga dari kayu damar itu.

Kaki kanannya segera tiba di tanah, menyusul kaki kirinya. Tak pernah lagi ia menengok ke belakang. Mungkin ia tak lagi mengingat ada berapa puluh anak tangga itu.  Wajahnya terlihat sangat berisi kemantapan. Dengan sodo, ia segera membuat lubang untuk bibit pohon yang diambilnya dari Palli.

Lebih sejengkal ukuran dalam lubang itu. Ia terlihat memperhatikan bayang matahari, sebab tak boleh menanam sesuatu sambil membelakangi sumber panas itu. Tanaman harus tumbuh bersama energi dari matahari. Pamali dalam putika. Badar melakukan itu secara seksama.

"Badar, siramlah baik-baik pohon itu," suara agak parau karena usia terdengar setelah Badar mencuci tangannya di atas daun pohon yang baru saja ditanam.

"Iya paman."

"Pohon ini akan menggantikan dirimu di tengah keluarga. Di tempat jauh kami tentu kami tak memiliki daya untuk mencari kabarmu. Pohon inilah yang akan bercerita, meski kau tak sempat berkirim kabar..."

Badar mematung mendengar nasehat itu. Puluhan mata mengantar kehendak laki-laki itu. Di pagi yang mulai sedikit memanaskan pori-pori, Badar akan pergi untuk sekian waktu. Demikianlah para calon lelaki dewasa di kampungnya melakukan itu.

Bukan karena tanah di kampung halaman mereka tak subur untuk memberi makan. Bukan karena sulur air dari huma-huma mengering. Bukan. Tetapi itu semacam syarat kelakian. Salah satu tanda kesuksesan, haruslah bisa kembali dari rantau. Sebab banyak yang telah pergi, tak lagi pernah kembali.

Dan, laki-laki yang sedang memberi petuah ke Badar, tak lain pemuda seperti Badar puluhan tahun silam. Yang dahulu pergi, dan hilang seperti ditelan bumi. Belasan tahun kemudian ia telah kembali dengan banyak sepuhan emas, dan uang untuk membangun rumah, memperluas tanah, atau menikah dengan perawan paling cantik.

"Dahulu paman ke utara, melewati Donggala. Terserah Badar akan kemana, paman dengar besok pagi akan ada kapal di Palipi yang akan ke Kota Baru. Atau, mungkin kau hendak ke Parepare, di sana juga banyak kapal yang bertolak ke banyak banua," ujar laki-laki bernama Paramisi itu.

Beberapa malam sebelumnya. Paramisi telah melempangkan kisahnya di hadapan Badar. Bahwa laki-laki itu pernah menjejak Donggala, Gorontalo, lalu ke Balikpapan hingga ke Serawak. Sampai ia pulang sepuluh tahun lalu.

"Baik paman. Telah ada rencana seperti nasehat paman..." Badar mencium tangan laki-laki itu, menyusul tetua yang lain.

Tak ada air mata setiap lelaki akan pergi. Menangislah ketika ia telah datang menenteng sisa hidupnya di kampung hingga mati. Jangan menangis di punggung laki-laki ketika ia akan melarung hidupnya di kaki langit terjauh.
***
Di kampung, tak cukup mudah untuk meraih predikat jawara atau jagoan. Kisah turun-temurun tak menempatkan luas tanah yang setiap hari menjadi batas pemandangan mata sebagai ruang untuk mengisahkan pengalaman terhebat sekali pun.

Terlalu sempit untuk titel pendekar. Maka, tak ada pilihan selain merantau. Melewati hidup dengan cara apapun diseberang telah mendudukkan beberapa tetua di kampungnya menjadi disegani. Dengan cara itu tempat duduk mereka selalu paling ujung atas bila ada kenduri kampung.

Mereka yang pulang terlalu cepat, akan dinilai tak heroik. Berbeda dengan mereka yang dinanti pulang untuk sekedar berkisah, tetapi belum juga pasti kapan akan datang. Selalu ada tutur pembanding antara setiap perantau.

Badar memilih itu. Sebab ayahnya dahulu demikian. Tak elok rasanya bila ilmu kottau-nya, tak pernah dipapar dengan lawan. Meski aturannya ketat, tak boleh menyerang siapapun lebih dahulu. Badar telah mendalami itu bertahun-tahun. Dan ia jawara yang belum pernah melewati batas kampungnya.

Sejenak Badar memandang pohon yang baru saja ditanamnya. Bila pohon itu tumbuh dengan ranting dan dahan yang terus mengejar matahari, akan mengisyaratkan hidupnya akan makmur dirantau. Namun, bila kelak pohon itu tak mampu melawan udara dan musim yang berganti-ganti, keluarganya patut kecemasan.

"Kami akan menjaga pohonmu ini, dirantau jagalah dirimu. Baik-baiklah mengurai kata, sikap dan tindakanmu."

Dengan menumpang dokar, Badar segera meninggalkan halaman rumahnya. Meninggalkan semua orang yang mengantarnya hari itu. Setelah berkelok di ujung jalan, mata Badar segera lurus ke depan. Tak pernah lagi ia menengok ke belakang sejak kakinya melompat ke bendi itu.

Ia tahu hidupnya ada diantara jalan kampung yang akan segera bertemu aspal Buton, dimana dia akan menunggu bus antarkota menuju Parepare...(*)

Soetta-Seppong-Mamuju, 12 Mei 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun