Saat itu ada tiga wartawan yang diundang Pemkab Polman untuk melaporkan momentum paling bersejarah, dan mengharu-biru bagi rakyat di Tana Mandar. Penulis dari Radar Mandar (kini Radar Sulbar), Rusman mewakili Harian Pedoman Rakyat dan Radio Suara Sawerigading, sementara Alfian dari Harian Fajar.
Di Jakarta, Kak Syahrir-kami sering menyapanya demikian, berempat kami sering melewatkan waktu bersama hingga bersepakat pulang bareng. Kebersamaan itu ditandai dalam wawancara sampai diskusi berjam-jam. Dimulai dari Hotel Syahid sampai kami diminta pindah ke Hotel Ibis.
Meski Sulawesi Barat telah dinyatakan sebagai daerah otonomi baru, tetapi salah satu ujung tombak perjuangan Sulbar itu masih memikirkan banyak hal, antara lain masa depan daerah ini di kemudian hari. Di Jakarta kala itu, juga hadir pengusaha Mandar kawan dekat Syahrir dari Kutai Kertanegara, H. Sabir Nawir yang memasilitasi dengan baik.
Dalam perjalanan pulang, Alfiansyah ingin mampir lebih dahulu di Makassar. Akhirnya kami bertiga menumpangi minibus milik Kak Syahrir yang diparkirnya di bandara Hasanuddin beberapa hari. Tanpa mampir lebih lama di Kota Daeng roda empat itu menerobos malam ke Sulawesi Barat. Perjalanan ini tentu menjadi penting bagi penulis, bagaimana tidak, siapa pun tahu, diantara tokoh kunci perjuangan Sulbar sedang bersama kami.
"Di, tolong ingatkan ya bila sudah dekat perbatasan Binuang..." kata Syahrir sambil menyetir mobilnya. Saat itu kami baru saja memasuki daerah Maros. Tanda waktu sekitar pukul 10 malam, atau lebih dari itu.
Tanpa bertanya mengapa Syahrir hendak diingatkan, penulis yang duduk di depan hanya mengangguk menikmati jalan yang mulai lebih sepi. Rusman Tony yang duduk di kursi tengah juga seingat penulis tidak mengulik kalimat itu.
Seperti lazimnya perjalanan panjang yang melelahkan sejak dari Jakarta, apalagi harus berkendara di malam hari tanpa sopir pengganti, suasana di ruang minibus itu jelas dipadati puspawarna argumen, rupa anekdot, juga ekspektasi masa depan yang melenting jauh. Kak Syahrir tidak pernah kekeringan ide, ditambah kami berdua yang menemaninya malam itu.
Setelah melewati Lasape Kak Syahrir menyarankan agar kami istirahat sejenak. Setelah mencari tempat yang dianggap aman dan nyaman di sisi trans Sulawesi itu, kami lalu rehat dengan memarkir mobil di depan sebuah warung yang telah tutup di sekitar Duampanua, Pinrang. Tanpa tengok kiri-kanan, kami pun tertidur dalam dengkur pulas.
Jelang shalat subuh kami terbangun. Perjalanan kembali merayapi aspal yang dingin. Penulis lalu mengingatkan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di daerah Binuang. Kendaraan tak lagi melaju lebih kencang. Kak Syahrir yang mengendali setir hanya terlihat menatap lebih fokus ke depan. Seperti ada yang mulai nanar di pandangan itu.
Begitu sampai perbatasan Paku, ia segera menggamit sajadah hijau pupusnya. Segera saja Kak Syahrir bergegas menuju lantai semen di ujung jembatan yang memisahkan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Penulis bersama Tony mencoba mengamati apa yang sedang berlaku. Sebelumnya kami telah singgah shalat subuh.
Lelaki yang menjadi sokoguru perjuangan Sulbar ini tampak berdiri, khidmat dan kemudian melakukan sujud syukur di jembatan Paku. Cukup lama ia membenamkan wajahnya dalam tangis di sajadah. Sementara orang-orang mulai melewati tempat itu walau keadaan masih cukup gelap. Mereka melihat adegan itu hati-hati, tapi tanpa bertanya.
"Saya memang menazarkan itu, akan melakukan sujud syukur di sini," ujarnya dalam wajah sembab berlinang air mata. Ia menggenggam setir menegasi rasa sedih bercampur gembira. Baru kali itu penulis melihatnya menitikkan air mata. Kami yang menemaninya juga diliputi keharuan.
Lalu Sulbar 10 tahun kemudian. Tangis itu masih tersisa di kelopak matanya. Lelaki yang telah mewakafkan dirinya saat perjuangan pembentukan Sulawesi Barat itu rupanya tak diberi undangan, untuk merayakan momentum penting yang pernah dibelanya habis-habisan. Logika apa yang bisa menerimanya demikian? Syahrir Hamdani itu masih hidup.
Tapi tak cukup sekadar memuji bagaimana heroiknya seorang Syahrir Hamdani belasan tahun lalu. Lelaki dengan karakter khas itu tak pernah menyesali jalan hidup yang telah dipilihnya. Syahrir hanya menggarisbawahi pesan utama tentang sifat dasar To Mandar yang Malaqbiq: dalam sikap, tindakan, dan tutur kata.
"Yang harus dibangun saya kira sikap saling menghargai. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi mungkin ada di sistem penyelenggara yang lalai. Tak mungkin pak Gubernur akan mengatakan, undang Si Ini, jangan undang Si Itu, saya yakin itu," sebutnya via telepon Rabu pagi kemarin.
"Cita-cita kita membangun sebuah Rumah Sulbar Malaqbiq, tetapi rupanya yang muncul hanyalah Hotel Sulbar. Bila saya dipahami secara keliru, sama kelirunya meminta saya mengubahnya. Karakter inilah yang menyebabkan saya menerima tanggung jawab dari KAPP Sulbar, hingga mengabaikan kepentingan pribadi, para senior paham itu," paparnya melalui pesan singkat.
Syahrir yang mendapat surat penugasan dari Rektor Unhas tanggal 2 September 2002 untuk melanjutkan studi ke pasca sarjana, lebih memilih berkonsentrasi di Jakarta untuk mengawal pembentukan Sulawesi Barat.
"Yang kini sulit bagi saya adalah bagaimana menjelaskan itu kepada anak-anak, dengan melihat situasi yang terjadi," paparnya, ada tekanan haru dari balik teleponnya kemarin.
Dalam deret tokoh perjuangan Sulbar, Syahrir Hamdani merupa akar tunggang, yang mengerek daerah ini susah-payah. Bak sebuah drama atau film, karakteristik perannya ikut menentukan alur utama perjuangan. Ini harus diapresiasi setinggi mungkin. Seting waktu telah menempatkannya secara tepat. Ia terlibat sejak dari Deklarasi Galung Lombok hingga Senayan. Tidak ada pemeran lain yang tampil dalam durasi seimbang dengan Syahrir.
Tokoh seperti Rahmat Hasanuddin, Makmun Hasanudddin, Naharuddin, Aruchul Tahir, Andi Maksum Dai, KH Sahabuddin, Mujirin Yamin, Zikir Sewai, Kalman Bora, Nurdin Hamma, Syahruddin Rasyid, Andi Nuraini Pasilong, Arifin Nurdin, Harun, Rusbi Hamid, Jamil Barambangi, dan tokoh lainnya masing-masing memiliki peran penting, berbeda, dan menguatkan. Mereka memiliki wilayah, tupoksi, dan tanggung jawab perjuangan yang saling mengisi.
Atau, posisi jajaran muda kala itu dalam sejumlah organ seperti Junaedi Latif, Hamzah Ismail, Tammalele, Sabri Maulana, Abdul Rahim, Imran Kaljubi Keza, Azikin Noer, Rahman Bande, Farid Wadji, Watif Waris, Bahrun Sahibuddin, Syamsuddin Idris, Ajbar Kadir, Chaidir Jamal, Ismail Mahmud, Rahmat Azis, Nurdin Pasokkori, Marigun, M. Dalif, Adi Ahsan, Muhammad Hamzih serta daftar nama-nama lainnya yang sungguh tanpa pamrih.
Tokoh Syahrir, seperti dalam buku penulis "Jejak Dua Lelaki" (2011) yang berkisah kiprah Syahrir dan Ibnu Munzir dalam Perjuangan Pembentukan Provinsi Sulbar, hadir di seluruh etafe. Dengan tetap menghormati peran tokoh-tokoh besar lainnya, menurut penulis, Syahrir layak menempati urutan terdepan. Tak ada tokoh lain yang berani menukar nasibnya, seperti yang dihadapi Syahrir dahulu, apalagi dalam konteks hari ini.
Di sejarah apapun, selalu akan mencatat sepak terjang orang per orang sesuai kualitas pengabdiannya. Sebab kita tak boleh menafikan sumbangsih sekecil apapun. Ini pun hanya sebuah refleksi singkat. Sebab ada daftar nama seratusan tokoh menentukan yang ikut merancang, dan membuat Sulbar ini ada.
Asal mula senantiasa tak pernah lupa pada sosok yang menetaknya sebagai tumpuan cacatan waktu, prestasi dan perjalanan. Demikianlah Syahrir Hamdani, Ibnu Munzir juga tokoh utama Sulbar lainnya, mestinya diberi ruang ekspresi sepantasnya, juga kesempatan terbaik, sebagaimana sebuah bangsa meletakkan rasa hormat.
Sungguh sayang, dalam acara Peringatan HUT Sulbar Ke-10 di Lapangan Merdeka, Mamuju panitia tak lagi memasukkan poin pembacaan kronologi perjuangan yang melibatkan tokoh-tokoh sentral lainnya. Padahal itu seharusnya Wajib diperdengarkan. Tak heran bila hadirin bertanya-tanya setelah menunggu narasi tahunan itu dideklamasi.
Ini harus dicermati, sekaligus menjadi kecemasan. Agar Sulbar tidak mudah pikun di usia mudanya dan kehilangan rasa hormat. Belajarlah melawan lupa! (*)
Padang Bulan, 24 September 2014