Mohon tunggu...
KOMENTAR
Worklife Pilihan

Gagal Diakui

20 Desember 2019   14:55 Diperbarui: 20 Desember 2019   15:03 37 1
Di tempat tinggal saat ini, saya kedatangan tamu baru sebagai penghuni kamar 201, persis di sebelah kamar saya. Tamu ini datang dari Jawa Timur namun sekarang bekerja di Kalimantan Timur. Dua pulau yang jarak dan waktu tempuhnya cukup jauh. Jawa-Borneo, saya kemudian membayangkan bagaimana kejauhan memisahkan rindu yang ada.

Jauh dari keluarga bukan perkara mudah, saya merasakannya tiga tahun yang lalu saat menjadi kembara di Timur Tengah. Saya membayangkan jarak Jawa-Borneo yang tidak terlalu jauh, bisa naik pesawat sejam lebih atau melalui kapal laut ke tanjung perak. Jika dibandingkan dengan Saudi-Indonesia, bisa-bisa memelas dada.

Saya kemudian mengajaknya diskusi setelah tiba di Jakarta tiga hari yang lalu. Dirinya datang dalam rangka pelatihan hemodialisa di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih (RSIJ-CP), persis dibelakang Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FIK-UMJ) tempat saya belajar saat ini.

Memang rumah sakit ini terkenal dengan pelatihan hemodialisa juga pelatihan kamar bedah (OK), ada juga pelatihan tentang gawat darurat (BTCLS/ACLS). Kualitasnya memang bagus, setara dengan pelatihan di RSPAD Gatot Subroto juga RSCM Jakarta yang terkenal mahal itu.

Harga memang akan mengikuti kualitas pelatihannya. Tiga bulan pelatihan, peserta harus merogoh kocek kurang lebih 15 juta rupiah. Jumlah yang tidak sedikit bagi kita perawat apalagi jika status honorer atau tenaga kontrak.

Kembali ke cerita tamu tadi. Saya kemudian bertanya, apakah seluruh pembiayaan ditanggung oleh rumah sakit tempat bekerja?

beliau menjawab iya, namun hanya setengah.

Saya bertanya lagi, mengapa demikian?

Beliau menjawab jika dibayar semua maka dirinya harus siap-siap bekerja dengan menandatangani kontrak kerja selama 15 tahun. Saya kaget mendengarnya.

Sahabat ini menuturkan bahwa dirinya tidak membayar full biaya pelatihan sebagaimana rekan yang lainnya, namun hanya membayarkan setengah dari keseluruhan biaya pelatihan hemodialisa.

Hitung-hitungannya bukan lagi dikontrak 15 tahun namun hanya 7 tahun jika membayar setengah dari keseluruhan biaya yang ada.

Dalam proses kontrak tersebut, dirinya menandatangani surat pernyataan dengan beberapa point kesepakatan diantaranya bersedia bekerja selama tujuh tahun dan kesediaan mengganti dua kali lipat dari biaya mengikuti pelatihan jika mengundurkan diri.

Saya membayangkan dinamika yang dialaminya, disatu sisi harus meninggalkan keluarga bekerja hingga keluar pulau jawa tapi disisi lain berjuang mendapatkan pekerjaan yang mengharuskan dirinya bertahan selama bertahun-tahun lamanya.

Gambaran ini bagi saya merupakan cara baru yang tidak biasa. Bisa jadi karena dirinya tidak ingin lama menganggur dengan status sebagai perawat atau alasan ekonomi yang dia hadapi saat ini.

Skenarionya memang masih panjang, jalan terjal dan berliku masih harus dilalui untuk diakui kompetensi dan eksistensinya dalam bekerja. Betapa mahal belajar kompetensi baru sebagaimana cerita perawat tersebut, padahal sejatinya kompetensi itu didapatkan di perguruan tinggi. Benar kata kebanyakan orang, ijazah hanya menjadi syarat lulus tapi bukan menjadi prasyarat utama bekerja.

Masih ada pelatihan-pelatihan lagi, terutama kompetensi khusus yang harus dipelajari, itu tidak murah dan mudah, harus dibayar hingga puluhan juta rupiah. Kuliah kesehatan memang mahal, tapi pelatihan juga mahal-mahal. Jika seandainya pelatihan diikuti dengan peningkatan kesejahteraan, sah-sah saja, namun justru sebaliknya.

Beberapa waktu yang lalu saya pernah mengikuti seleksi penerimaan tenaga perawat di salah satu perusahaan industri terbesar di Karawang. Proses seleksi administrasi saya lalui dengan mudah hingga tahap interview.

Ketika menghadap, pihak perusahaan bertanya tentang pelatihan-pelatihan yang saya ikuti sebelumnya, meski saya cukup yakin dengan kompetensi saya berupa ijazah dan lisensi (STR) juga pelatihan dasar kegawatdaruratan namun mereka masih meminta sertifikat pelatihan lain yang bersifat khusus seperti sertifikat Hiperkes (Hygiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja).

Memang sertifikat ini banyak diburu oleh lulusan baru, untuk mendapatkannya kita harus merogoh kocek sebesar 3-4 juta rupiah. Sertifikat ini juga berlaku bagi tenaga kesehatan lain yang berminat belajar tentang ilmu dasar kesehatan dan keselamatan kerja khususnya di perusahaan dengan sasaran lingkungan kerja dan manusia.

Pihak perusahaan menginginkan adanya sertifikat tersebut meski interviewer tidak mengetahui apa itu sertifikat BTCLS juga STR yang saya miliki. Sudahlah.

Saya tidak terpikir untuk diterima, karena keinginan perusahaan dan ketersediaan syarat tidak memenuhi aspek untuk diterima. Saya kemudian mentertawakan diri sendiri.

Dua cerita dan pengalaman tersebut ada kesamaannya namun juga ada deritanya. Sama-sama perawat yang lulus dan diakui akan kompetensi yang dimiliki namun harus berjuang diakui kompetensinya lewat belajar kompetensi lain yang lebih dibutuhkan pihak rumah sakit dan perusahaan.

Deritanya juga sama, ijazah yang ada belum cukup meyakinkan pihak rumah sakit dan perusahaan untuk bisa diterima meski perjuangan meraih ijazah tersebut tidak mudah dan murah. Ada dana, usaha dan doa yang menggema demi meraihnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun