Dari setiap momentum aktivitas, berbagai atribut perguruan tinggi dijadikan indikator dalam meraih cita-cita akademik yang dilaksanakan.
Meski dalam pelaksanaannya perguruan tinggi memiliki peran dalam mendorong penguatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, tapi eksistensi lulusan menjadi hal mutlak yang harus tetap dijaga sebagai bagian dari identitas keilmuan serta nama baik kampus.
Upaya mewujudkan SDM kampus haruslah senantiasa ditopang dari elemen awal perekrutan sehingga dalam tatanan proses dan output mampu melahirkan iklim akademik dan peserta didik yang baik pula.
Sejauh ini kita masih menemukan berbagai kesalahan dalam melakukan rekrutmen pada tahapan awal pendaftaran mahasiswa baru di perguruan tinggi. Meski tidak semuanya demikian, namun kita cukup tergelitik dengan cara-cara negatif perguruan tinggi dalam menentukan masa depan kampus itu sendiri.
Upaya untuk mencari jalan lain nampaknya masih menjadi tradisi dalam perekrutan calon mahasiswa. Meski hal lumrah dan sebatas opini, namun hal itu masih dianggap biasa dilingkup kehidupan bermasyarakat.
Fenomena di atas bisa menjadi bahaya laten bagi perguruan tinggi dalam upaya memaksimalkan lulusan perguruan tinggi itu sendiri.
Meski seolah-olah terlihat baik dan berjalan sesuai proses tapi semuanya tidak terlepas dari kegiatan negatif individual yang mencoba mengambil jalan pintas mencetak calon generasi yang instan.
Publik pun terdiam seolah-olah hal tersebut lumrah dan menjadi kebiasaan tanpa memikirkan pertanggungjawaban terhadap eksistensi nilai dalam lingkup kehidupan sosial nantinya.
Meminjam kalimat Van Peursen dalam ranah kehidupan budaya yang menegaskan bahwa kebudayaan tidak terlepas dari pola mistis, ontologis dan fungsional. Tatanan kebudayaan mistis mungkin telah lama kita tinggalkan karena abad 21 memberikan perubahan yang bermakna, namun di era modernisasi ini, kita masih terkungkung dalam pola ontologis dari pola pengembangan pendidikan yang ada tanpa ingin melakukan perubahan pada aspek iklim kampus serta sistem yang dibangun di kampus itu sendiri.
Sadar Prinsip
Perguruan tinggi tentu memiliki landasan filosofi masing-masing yang menjadi cermin akan cita-cita maupun sumber daya manusia yang diharapkan oleh kampus. Namun tentu dalam pola manajemen kampus akan ada perbedaan sehingga keluaran atau lulusannya pun berbeda.
Geliat pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia saat ini tentu mengalami pergeseran dari lulusan yang mampu secara hard skill ditambah dengan pengembangan kemampuuan soft skill.
Pola pengembangan ini dirasa cukup baik untuk membangun prospek Indonesia ke depan. Pengembangan ini tidak pula lepas dari pengembangan dasar yang ditempa sejak awal yaitu membangun karakter individu itu sendiri.
Lulusan perguruan tinggi yang memiliki hard skill dan soft skill tidak akan lepas dari penerapan pendidikan karakter sejak awal. Betul bahwa karakter adalah pembentukan diri individu, tapi sejatinya karakter harus dididik sebagai landasan berbuat individu dalam mencapai hard skill dan mengasah soft skill yang dimilikinya.
Kurikilum Pendidikan 2013 menanamkan hal tersebut dengan membagi pendidikan karakter menjadi 3 ranah yaitu pendidikan karakter yang menumbuhkembangkan kesadaran sebagai makhluk tuhan, pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan serta pendidikan karakter yang menumbuhkan rasa cinta dan kecintaannya terhadap bangsanya sendiri.
Ketiga hal tersebut tidak semata-mata menjadi landasan mengawal proses pembentukan pendidikan karakter tapi jadi bagian membagun input, proses, output dan outcam SDM perguruan tinggi.