Pekan depan, atau bulan depan, atau tahun depan, saat kita kunjungi tempat-tempat itu lagi, tak akan kita dapati orang-orang yang sama di sana. Namun dapat dipastikan ekspresi wajah-wajah yang ada di sana akan tetap sama: tampak ceria, bahagia. Seperti foto-foto di face book. Ya foto-foto di face book. Yang terpotret di sana adalah kesementaraan. Dia bukanlah gambaran dari seluruh perjalanan hidup dari seorang yang memadati tempat-tempat itu.
Sepasang kekasih yang berjalan dengan mesra di jantung kota Paris sore itu mungkin saja adalah mahasiswa yang hari-harinya dipenuhi dengan malam-malam larut di library dan paper-paper yang berat di musim salju yang dingin. Mereka kuliah di dua benua yang berbeda dan mesti dengan sabar menanti musim panas itu untuk bisa bertemu dan berlibur bersama. Beberapa bulan setelahnya, si wanita pergi meninggalkan si pria untuk pria lain yang lebih kaya. Serombongan remaja yang kita saksika di Orchard Road sore itu mungkin saja adalah serombongan mahasiswa Indonesia yang mesti menabung sepanjang masa kuliah mereka, untuk bisa melakukan piknik yang barangkali sekali-kalinya di sepanjang hidup mereka. Pria dandy yang memakai kacamata hitam dan menggandengan gadis sangat cantik itu barangkali adalah seorang businessman sukses dari Amerika yang menggandeng super model dari Polandia, yang bunuh diri dua bulan berikutnya karena perusahaannya bangkrut dan terlilit utang.
Di mana pun di seluruh penjuru dunia, kota-kota pusat-pusat perbelanjaan itu selalu hidup, ramai, dikunjungi oleh lautan manusia. Wajah-wajah yang memadati tempat-tempat itu selalu ceria, antusias, muda, tampan dan cantik, bahagia. Karena tempat2 itu memang diciptakan untuk itu. Untuk menciptakan kesenangan sesaat, kesementaraan, yang akan segera lenyap esok hari atau lusa. Apa yang kita lihat bukanlah gambaran hidup orang-orang itu secara keseluruhan. Mereka datang untuk membeli barang-barang yang tak benar-benar mereka butuhkan. Mereka tidak membeli kaus, atau baju atau tas, atau sepatu, yang mereka beli adalah Benetton, atau Louis Vuitton, atau Guess, atau Hermes, atau Gaudi, atau Giorgio Aramani. Mereka tidak membeli barang. Mereka membeli merk, atau brand, atau tanda. Dan inilah dunia hiper realita. Dia bukanlah kenyataan sesungguhnya.
Dan apakah hiper relitas itu? Dia adalah pendar-pendar cahaya, yang sesungguhnya hanyalah bayang-bayang. Karena saat kau mencoba menggapai cahaya itu untuk meraihnya, ia akan selalu luput dari kedua tanganmu. Ia adalah fatamorgana yang tak pernah ada. Ilmu social menyebutnya hiper realitas, sebagian yang lain menyebutnya galaxy simulacra, satu teori lain merangkumnya dalam konsep manusia satu dimensi. Seorang sosiolog berkebangsaan Prancis, Pierre Bourdieu namanya, mengatakan bahwa sosiologi itu semacam ilmu bela diri. Sociology is a martial art. Dia menawarkan pada kita satu alat untuk melihat dunia, alat yg membantu kita untuk membela diri dari gempuran kekerasan simbolik yang tak henti-henti menyerang kita. Ia membantu kita untuk melihat apa yang semu, dan apa yang nyata. Ia membantu kita untuk menyingkap apa yang ada di balik penampakan yang kita lihat. Ia membantu kita untuk tak tersesat dalam jagat tanda-tanda.
Di sini sosiologi, atau filsafat, secara kebetulan memiliki persamaan dengan agama. Mereka sama-sama mengajak kita merenung dan mempertanyakan apa itu kenyataan yang sesungguhnya. Tentang apa yang akan tetap abadi setelah segala kesementaraan ini sirna. Di akhir masa hidup kita.