Seperti biasa, kami tidak pernah peduli PJ Nite diadakan dimana, kapan, dan memanggungkan siapa. Nyaris 3 tahun penuh saya mengenal orang-orang ini, dan yang saya pahami betul, alasan bagi kami untuk hadir di sebuah konser musik lokal hanya satu: jika konser itu memanggungkan lagu-lagu Pearl Jam, berarti... BERANGKAT!
Jam 8 malam, setelah hujan singkat dan macet yang cukup memabukkan, Breznev langsung menghantam. Kumpulan satu ini memainkan Pearl Jam dengan brutal. Sajian mereka penuh tenaga, kasar, dan cepat seperti kereta api. Menderu tiada henti. Lebih condong ke arah metal dan punk ketimbang alternative rock layaknya warna Pearl Jam yang biasa kita nikmati.
Tapi, tentu saja, itu bukan berarti mereka payah. Sebaliknya, penampilan mereka malam itu mengingatkan saya pada semangat sesungguhnya dari musik asal Seattle yang selamanya akan salah kaprah disebut sebagai grunge: murni, jujur, dan dimainkan seolah ini adalah konser penghabisan!
I Believe in Miracles yang mereka sajikan dalam warna asli milik The Ramones, bagi saya, benar-benar kick ass!
Penjelasan singkat dari Dhia dan Hilman mengenai penerbitan Rearview Magazine (RVM), majalah komunitas PJId edisi perdana, menjadi jeda antara Breznev dan performer selanjutnya, Monster Replica.
Ini adalah kali ketiga saya menyaksikan Monster Replica, dan semuanya berlokasi di Bandung. Jika dalam tahun-tahun kedepan mereka terus memainkan Pearl Jam dengan serius, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi band yang diperhitungkan di scene alternative rock Bandung, menggantikan Junkhead yang sudah amat senior, atau bahkan melampaui idolanya sendiri, Cupumanik.
Tapi, tentu saja, mereka harus berani keluar dari jalur nyaman yang seolah sudah menjadi buku panduan bermusik mereka selama ini: album self titled Pearl Jam yang juga dikenal dengan nama Alpukat.
Far Behind dan Hard Sun, yang bersumber dari proyek solo Eddie Vedder bertajuk Into The Wild, yang mereka bawakan malam itu, adalah pertanda bagus bahwa mereka berani melakukan perubahan. Good job, guys!
Siapapun yang mengaku kenal Pearl Jam tentu pernah merinding bulu kuduknya, minimal sekali seumur hidup, ketika mendengar versi live dari Release. Lagu yang teramat personal dan sarat emosi dari album Ten ini barangkali adalah satu dari sedikit lagu di dunia yang mampu menyeret pendengarnya jauh ke alam pikiran dan memenjarakannya disana selama beberapa waktu, seperti sensasi Limbo dalam film Inception.
Jadi tak perlu heran jika sekitar 220-an audiens yang hadir malam itu mendadak terdiam, terduduk di lantai, dan bergulat dengan emosinya masing-masing ketika kolaborasi Marginary dengan Seniman Bangun Pagi mengawinkan alat musik modern (termasuk biola) dengan Karinding, Saluang, dan beberapa alat musik khas Sunda lainnya untuk menghadirkan Release.
Jujur, ini adalah versi Release paling beracun dan menghantui yang pernah saya saksikan!
Perfect Ten, tidak seperti biasanya, tampil bukan sebagai pamungkas. Tapi, seperti biasanya, mereka menyajikan barisan lagu Pearl Jam dengan sempurna.
Helmy, yang ketika PJ Nite V tahun 2010 lalu menjadi drummer tamu, rupanya kini sudah menjadi anggota tetap Perfect Ten, menyokong Irsya. Made, yang malam itu berkesempatan membetot bas dan menggebuk drum, rupanya juga begitu, telah menjadi anggota Perfect Ten. Dan Dhia, yang semakin identik dengan Dirty Frank, rasa-rasanya juga demikian. Ah, sebentar lagi Perfect Ten akan menyaingi Super Junior, dari segi jumlah anggotanya!
Apapun yang disuguhkan mereka, sudah tentu enak dicerna. Namun Crown of Thorns, yang rupanya baru dilatih pada sesi sound check sore tadi, sungguh aduhay!
Lagu Mother Love Bone yang mengingatkan kita semua pada sosok Andy Wood yang keburu meninggal sebelum terkenal itu, yang juga mengingatkan kita pada pemutaran film PEARL JAM TWENTY di Jakarta tempo hari, sukses dibawakan dengan ciamik. Benar-benar sempurna!
Tidak seperti biasanya juga, penutup setlist mereka malam itu bukan Porch, melainkan Got Some. Alhasil, ritual menggotong Hasley berubah sedikit, tapi tetap saja berjalan dengan gila. Ya, harap maklum, audiens yang hadir malam itu memang tidak sepenuhnya waras.
Bagaimana bisa dibilang waras jika diantara audiens itu ada seorang perempuan mungil yang menempuh perjalanan jauh dengan kereta dari Solo dan seorang lelaki yang nekat menempuh 4 jam perjalanan motor menerjang hujan dari Majalengka ke Bandung, bolak-balik tanpa menginap, hanya untuk PJ Nite VI!
Bittertone-lah yang didaulat menjadi sajian pamungkas dalam PJ Nite VI: Love Boat Twenty ini. Dan mereka membayar lunas kepercayaan itu dengan sebuah setlist yang menakjubkan!
Get Right dan Sometimes, dua nomor yang kemungkinan tidak akan kamu lihat di konser musik manapun, kecuali, tentu saja, konser Pearl Jam sungguhan. Breakerfall dan Whipping yang seksi. Serta Yellow Ledbetter paket kombo dengan Little Wing yang membuat audiens mendadak gila.
Ketika sebagian audiens sudah pulang, ketika malam beranjak pagi, ketika itulah PJ Nite kali ini mengeluarkan sari patinya yang paling manis. Semua yang tersisa menjadi saksi betapa Bittertone, dengan setlist-nya yang sungguh berani mati, menyatukan panggung dan lantai dingin menjadi pertunjukan musik super menyenangkan!
Dan, omong-omong, kapan lagi kamu bisa lihat Nito, gitaris handal dari Perfect Ten itu merampas mic dan meneriakkan verse kedua dari Little Wing, sementara Febbie, masih dengan ikat kepala bergaya 80-annya, menjeritkan gitarnya dari atas panggung. Itu, saudara-saudara, adalah momen luar biasa yang tak mungkin dibeli di lain waktu, bahkan dengan Master Card edisi paling dahsyat sekalipun!
Matahari sudah terbit dan 7 jenis dengkuran itu semakin keras. Saya masih tetap terjaga dan sepertinya sangat membutuhkan kopi.
Di tengah sesaknya kamar hotel kecil ini, di tengah kantuk dan lelah yang menggayut tak mau pergi, mengingat kembali PJ Nite VI yang baru saja berlalu, saya merasa sangat bahagia. Bersama teman-teman terbaik yang mungkin saya dapatkan dalam hidup ini, saya ada disana...