Stage diving, yang mungkin hanya terjadi di konser rock dan metal, bukan di konser jenis musik lainnya, memang bukan aktivitas yang aman. Jauh dari itu!
Dan semalam, dalam acara Blues for Freedom di Taman Ismail Marzuki, Navicula merasakan sendiri bahaya itu...
Membuka setlistnya beberapa saat saja menjelang tengah malam, Navicula langsung menghantam dengan salah satu lagu andalannya yang paling keras: Menghitung Mundur! Tak sampai setengah menit kemudian, crowd surfing pertama malam itu langsung pecah!
Sejak detik itu, Navicula dan ratusan audiensnya menggila.
Inilah pesta suara. Inilah blues dalam bentuk yang lain dari biasanya. Blues, seperti dikatakan Cholil Efek Rumah Kaca (ERK) sebelumnya, yang bukan sebagai blues 12 bar nan mendayu-dayu, melainkan blues dalam tema. Blues yang menyuarakan ketertindasan, kekecewaan, dan keresahan jiwa, sebagaimana termuat dalam nyaris semua lagu ERK.
Tapi tentu saja, Dankie adalah blues.
Maka kemudian Navicula melanjutkan malam dengan perkawinan blues dan grunge yang indah: Kali Mati. Lagu keras namun merdu tentang keresahan hati manusia yang meratapi matinya sungai-sungai sumber kehidupan. Ratapan yang tak lagi berguna disini, barangkali, karena semua sungai di Jakarta sudah mati.
Malam kian panas setelah hujatan dan sindiran pada fanatik agama berotak udang biang kesengsaraan bangsa Indonesia yang tertuang dalam Everyone Goes to Heaven dan Budi Berani Mati menghantam.
Tubuh-tubuh beterbangan, dalam artian sesungguhnya.
Begitu panas aksi crowd surfing di bibir panggung sehingga saya berkali-kali mesti merelakan kepala saya tertendang berbagai jenis sepatu, mulai dari Converse yang lembut sampai Doc Mart dan sepatu lapangan yang kerasnya minta ampun!
I Refuse to Forget jadi lagu terbaru mereka yang pertama kali diperdengarkan ke publik Jakarta malam itu.
Lagu keras yang terdengar seperti perpaduan Megadeth dan Soundgarden. Lagu yang menderu meneriakkan perlawanan pada upaya pemerintah dan media massa tertentu untuk membuat kita semua lupa pada sosok pahlawan pejuang HAM yang dibunuh dalam penerbangan menggunakan maskpai yang baru saja mogok pilot-pilotnya, Garuda Indonesia.
Sebagai lagu keenam, Aku Bukan Mesin menjadi penanda separuh jalan dari rencana setlist sepanjang 10 lagu. Penolakan pada penyeragaman isi kepala ini semestinya dilanjutkan dengan satu lagi lagu baru mereka yang berjudul Orang Hutan. Lagu yang pada akhirnya tak pernah dimainkan...
Bagian akhir Aku Bukan Mesin, seperti biasa, berisi dengungan gitar Dankie yang melengking merobek langit. Tergantung mood dirinya dan suasana audiens, dengungan ini bisa bertahan sampai dua atau tiga menit lamanya. Dan semalam, mood dirinya serta suasana audiens berada di puncak!
Dengungan indah itu berjalan menuju menit kedua, ketika aksi celaka itu terjadi!
Entah karena kesal bas-nya beberapa kali kehilangan power, entah karena masalah pribadi, entah karena keangkeran Taman Ismail Marzuki yang katanya memang sudah sejak dulu kerap memunculkan keanehan, sekonyong-konyong Made terbang diatas kepala penonton. Sialnya, tak satupun dari mereka menangkap tubuhnya!
Dengungan gitar sontak berhenti. Sorak sorai penonton sirna. Bibir panggung yang panas mendadak hening.
Made cedera berat di kepala, tentu saja. Dan Navicula menghentikan semuanya.
Blues for Freedom, bagi saya, selesai disitu. Bahkan Gugun Blues Shelter, yang setelah itu naik panggung dan membawakan Little Wing pun jadi terasa hambar. Blues, seperti namanya, pada akhirnya memang selalu mengandung kesedihan dan kekecewaan mendalam.
Malam itu akhirnya Navicula, dengan caranya sendiri, memberi penegasan pada definisi rock versi film dokumenter BBC 7 Ages of Rock: Bahwa dalam sebuah konser rock, kesenangan dan bahaya itu tipis bedanya...