Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Musik 2010: Acoustology II - Times They are a-Changin'

1 Mei 2011   02:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12 107 0
[caption id="attachment_105395" align="aligncenter" width="300" caption="Poster Acoustology II - ilustrasi oleh Roel Eits!"][/caption] Karena waktu mengubah segalanya... Perubahan, suka atau tidak, terus terjadi. Kita, manusia, hanya punya pilihan yang sangat terbatas: mengalir bersamanya atau luntur tergilas jaman dan kemudian mati. Yang muda menua. Yang kecil membesar. Yang cantik menjadi keriput. Yang cinta berpaling. Yang tak kenal jadi sayang. Bersama waktu, semua berubah... Kita, PJId, gerombolan anjing hilang yang selalu bergembira, tunduk pada hukum yang sama. Acoustology di BB’s Menteng mempertemukan kembali banyak jamily yang sudah sekian lama tersesat. Ledakan pemberitaan di KOMPAS membawa lebih banyak lagi anjing hilang. Dan Backspacer Listening Party serta ICE di bilangan Senayan seolah merangkum 2009 sebagai tahunnya perubahan dalam tubuh PJId. Perubahan volume dan definisi jati diri. Pearl Jam Nite 5, pertengahan tahun ini, membawa pesan baru, bahwa kemegahan tidak semata diciptakan oleh kebintangan, tapi juga bisa dari hati. Bahwa cinta dan hasrat selalu punya kesempatan untuk bersinar terang, selama diberi jalan. Maka dipanggillah semua anjing hilang yang punya hati terang. Jakarta, Bekasi, Bandung, hingga Bali. Dan kita pun menyala bersama, ketika Man of The Hour yang bermakna tunggal menjadi Men of The Hours yang bermakna jamak, karena 300-an anjing hilang yang berloncatan di panggung dan di lantai MU Cafe yang panas membara menyala menjadi ratusan bintang yang meneriakkan cinta yang sama: Pearl Jam! Mengarungi perubahan itu, tak mungkin tanpa pedih-perih. Tak hanya tawa yang mengudara, duka pun kerap menyapa. Namun meski kadang tertatih, kita semua terbukti masih bisa berdiri. Maka tidaklah berlebihan kiranya, jika akhir tahun ini Acoustology II: Times They are a-Changin’ menjadi sebuah ucapan terima kasih untuk PJId. Untuk kita semua. Untuk tahun-tahun yang telah kita lewati bersama. Sebuah konser terima kasih yang pada akhirnya memberi banyak kejutan menyenangkan bagi kita semua... Bad Radio membuka konser akustik di Soho Music Citos, 17 Desember 2010 kemarin dengan, ehem, format full band! Ya, baiklah. Pengalaman membuktikan bahwa memang tidak semua orang senang dengan aransemen akustik yang seolah mengekang energi liar yang terdapat di setiap lagu Pearl Jam. Seolah belum cukup keras, mereka memainkan State of Love and Trust, Dissident, dan Jeremy dengan nuansa metal yang cukup kental. Jangan salahkan bunda mengandung, karena dengar punya dengar, vokalis Bad Radio adalah juru teriak dari Purgatory. Alamakjang! Sungguh malam itu adalah sebuah perkenalan yang sangat elegan, karena kemunculan mereka sebagai bagian baru dalam PJId disimbolkan dengan tiga nomor klasik Pearl Jam yang mereka bawakan dengan gagah perkasa! Mirrorball, yang di perhelatan PJ Nite 5 lalu berwajah metal, justru mengubah nuansanya 180 derajat. Dengan aduhai mereka membawakan 9 lagu yang sebagian besar dimainkan dengan aransemen akustik yang unik! Satu-satunya nuansa metal yang tersisa di wajah baru Mirrorball yang akustik dan unik adalah tendangan Kung Fu milik Reza yang nyaris memporak-porandakan drum set yang malam itu digawangi oleh D-Iyan. Yah, setidaknya kita semua sekarang tahu, klub bola mana yang dia bela. MFC dan God’s Dice, sejauh yang saya ingat, adalah dua nomor yang mereka bawakan dengan sangat menyenangkan. Malam itu, dengan pilihan setlist dan aransemennya mereka seolah berkata: “Hey, kamu suka Pearl Jam, kan?” Semua mengangguk, dan seperti biasa, ketika Alive mengudara, semua serentak berteriak: “Oh... Oh... I... Oh... I’m still alive...” Yeah, alive and absolutely kicking! Sesaat setelah menyaksikan suguhan manis dari Mirrorball ini, Reza Lubis yang dedengkotnya PJId itu menyempatkan bicara kepada saya, yang saat itu pun rasanya sudah kesulitan membedakan mana Reza Lubis, mana Reza Mirrorball, dan mana Reza Beku, mengusulkan upaya merangkum aransemen unik seperti ini kedalam sebuah kompilasi. Nais aidi, gan! Duet MC teranyar dari Pancoran.Id, Boy-Dhia, mengantar kita semua pada duet penampil paling anyar di galaksi Bima Sakti: Novi-Nilam! Yang pertama cocok sekali untuk buka toko di bilangan Kota, sementara yang kedua cukup cocok untuk buka usaha salon kecantikan. Menjadi satu, keduanya menyalakan api kegembiraan dengan Thin Air dan Last Kiss. Berbekal satu gitar akustik, dua sesi latihan, dan sekarung penuh keberanian, duo yang sebelumnya menamakan diri Suicide Project ini terbukti mampu membangkitkan gairah dua ratusan lebih jamily yang malam itu setia mencangklong di bibir panggung. Bahwa yang baru yang ditunggu, kiranya adalah bagian tak terpisahkan dari hukum perubahan. Duo penampil cewek ini, sejauh yang bisa saya ingat dari kenangan dan catatan kaki yang saya miliki, adalah yang pertama dalam perhelatan PJId. Ah, Cik Novi, rupanya dirimu sekarang sudah ikut-ikutan jadi artis! Makan-makan, dong! Jika Acoustology adalah saksi lahirnya si biang rusuh Perfect Ten yang selalu dinaungi tuah istimewa angka 10, maka Acoustology II: Times They are a-Changin’ ini adalah ajang balas dendam yang manis bagi Ryo Sonic Wood. Jika di Acoustology tahun lalu ia sempat dihantam flu, maka malam itu di Soho Music dia 100% sukses menghantam kita semua dengan pita suaranya yang selebar jalan bebas hambatan. Marker in The Sand, nomor langka yang seumur-umur belum pernah dimainkan dalam sejarah PJId, meluncur deras tanpa cela. Made, yang sehari sebelumnya menghabiskan sesi latihan tambahan khusus bersama Nito, menderu seperti badai. Ah, dasar anak muda! Adalah Rearviewmirror yang menerbangkan semua ke angkasa. Yah, setidaknya saya samar-samar ingat, bagaimana di tengah lagu itu saya tiba-tiba mengangkasa. Bagaimana kemudian dalam detik-detik singkat yang sangat menyenangkan itu saya melihat, anehnya dengan sangat jelas, betapa semua orang di semua penjuru berdiri, semua kepala tegak, mata sepenuhnya terarah ke panggung, dan mulut-mulut bau kopi, rokok, serta mungkin alkohol itu sama-sama mangap, merapal mantra: “Saw things... Saw things... Clearer... Cleareeer...” Ya, semuanya menjadi jelas! Bahwa bersama, kita sudah berjalan demikian jauh. Dan tumbuh. Kita tidak lagi sekedar kumpulan orang-orang yang disatukan oleh sebuah pertunjukan, namun kita, PJId, sudah menjadi kumpulan para sahabat yang kebetulan menjawab “Ya!” untuk pertanyaan: “Kamu suka Pearl Jam, kan?” Dan malam itu, dengan Rearviewmirror yang demikian aduhai, saya tahu pasti bahwa Blood akan naik kedalam setlist, setelah seminggu sebelumnya ditendang ke comberan Bulungan, dengan alasan Ryo merasa pita suaranya tidak sepenuhnya siap untuk lagu yang teramat-sangat menyiksa itu. Ah, omong kosong macam apa! Maka jadilah kemudian kita semua mandi darah, bersama Sonic Wood meledakkan paru-paru, meneriakkan semua kekecewaan dan kemarahan pada dunia. It’s... My... Blooooooddd!!! Dody Katamsi, yang diselipkan di tengah setlist, tanpa banyak keringat sukses membawakan Even Flow, Daughter, Little Wings, dan Black. “Diselipkan” memang bukan pilihan kata yang tepat bagi Dody, menimbang posturnya yang mengingatkan saya pada sosok Gembul Navicula, si tukang gebuk drum dari Bali itu. Setelah sekian waktu lalu sempat melontarkan gurauan pada kita, ketika berjumpa di BepBop, bahwa sekali waktu dirinya mau juga menjajal jadi Eddie Vedder dalam konser tribute garapan PJId, malam itu semua mewujud. Gurauan sambil lalu itu menetes dalam kenyataan, menjadi kenangan tersendiri bagi dirinya, dan tentu saja, kita semua. Om, hati-hati dengan harapanmu! Whiskey dan bir sudah menjadi darah, merembes keluar sebagai keringat ketika duet gitaris yang sama mumpuni dan rendah hatinya itu menjejakkan kaki mereka ke panggung. Nito yang lurus dan logis, layaknya lulusan Teknik Elektro UI dan jurusan lain yang sama rumitnya, bertemu dengan Dankie Navicula, si Pohon Tua yang kata-kata maupun liriknya berkelok seperti sungai di hutan hujan Amazone, membentuk meander makna dan bahkan kadang melingkar tanpa ujung menjadi danau oxbow kata-kata. Namun malam itu keduanya tidak bertukar kata-kata, melainkan bertukar rasa. Menyatukan semua jiwa, pengetahuan, pengalaman, dan insting bermain gitar dalam empat lagu yang tidak pernah mereka latih bersama sebelumnya. Manuskrip Telaga dan Oksigen dari Dialog Dini Hari, band kedua Dankie disamping Navicula, Off He Goes milik Pearl Jam, dan Times They are a-Changin’-nya Bob Dylan meluncur dalam gelap. Meraba, membius, melangkah pelan dan hati-hati berhembus dari jemari keduanya, yang seolah berkomunikasi lewat hati. Jangankan ratusan audiens yang malam itu terduduk rapi di hadapan keduanya, mereka berdua saja rasanya tidak tahu pasti kemana empat lagu itu akan dibawa. Namun yang pasti, keempat lagu itu jatuh kedalam hati, menjadi kenangan manis dan berbau mistis, sebelum akhirnya ditutup dengan hadirnya Dhia yang terkena kutukan Pohon Tua untuk menyelesaikan dua verse terakhir dari Times They are a-Changin’. Bittertone, yang sudah terkenal dengan latihan persiapan manggung yang tak kalah detil dan serius dibanding persiapan perang, menjadi menu selanjutnya. Betapa malam itu mereka laksana disambar petir ketika di awal lagu Siti Nurbaya, tiba-tiba muncul Erwin, pemain bas orisinil dari formasi Dewa 19 yang melahirkan lagu tersebut! Uwie, yang mencintai detil dan perfeksionis seperti setan, hanya bisa melongo, sementara Ungke kontan menyerahkan bas ke pelukan Erwin dan kemudian kabur entah kemana! Reza Beku kemudian dengan mantap membawakan You Are, nomor yang, lagi-lagi, belum pernah dibawakan di perhelatan PJId manapun sebelumnya. Disusul kemudian dengan aksi maut gebuk kentongan oleh Boy, dalam WMA, sebuah nomor yang saya jamin tidak akan pernah muncul dimanapun, kecuali di setlist Pearl Jam dan setlist PJId, hahaha! Sombong! Ah, sungguh malam itu banyak sekali kejutan! Para penampil, kalian memang baik ya. Semoga amal ibadahnya diterima Pak SBY. Amin! Rats dan Alone menutup setlist Bittertone malam itu. Susunan lagu aransemen akustik yang diatur dengan apik. Benar-benar khas Bittertone! Jika ada yang melewati hari-hari berat sebelum perhelatan ini, maka itu adalah Perfect Ten. Ditinggal pergi dua vokalisnya, mereka benar-benar pusing tujuh keliling. Hasley harus ke luar negeri untuk menghadiri wisuda adiknya, sementara Dedot harus bertapa menyiapkan ujian S2. Jadilah akhirnya mereka meminta bantuan pada Amar Besok Bubar dan Pheps Respito, dua sahabat baik yang selama ini memang kerap bergabung di panggung. Dasar sudah suratan tangannya mereka itu dinaungi tuah angka 10 yang keramat, pada kenyataannya di panggung kemudian mereka mendapat bala bantuan yang tidak main-main seriusnya. Tak kurang dari John Angels yang Bon Jovi maniak itu, Fadly dan Rindra Padi, hingga Robi Navicula yang turut sumbang suara! Tak cukup sampai disitu, pamer tuah berlanjut dengan kehadiran Dedot! Ya, Dedot. Si jangkung yang katanya sibuk menyiapkan ujian sekolah itu! Bah! Amar menghantam dengan Not for You yang dimedley sebagian verse Roadhouse Blues dan Another Brick on The Wall. Robi Navicula, yang malam itu hadir bersama Lakota untuk menemani si Pohon Tua, naik panggung membawakan Jeremy. Kita tidak akan bisa menikmati suaranya, karena ratusan jamily yang masih bertahan hingga jam satu dini hari itu ikut bernyanyi di setiap bait liriknya. Lebih tepat sih, berteriak! John Angels berduet dengan Amar membawakan Hunger Strike. Si maniak Bon Jovi ini rupanya jatuh hati terhadap antusiasme jamily setiap kali melumat lagu-lagu Pearl Jam yang muncrat dari panggung, seperti di konser Perfect Ten di M-Point beberapa waktu lalu. Hey John, kamu suka Pearl Jam kan? Low Light dan Release, yang seolah menggambarkan keruwetan persiapan ujian dan leganya perasaan ketika selesai menjalaninya, dibawakan Dedot dengan penuh perasaan. Disusul kemudian oleh Immortality dan versi brutal dari Spin The Black Circle yang dibawakan Pheps. Seandainya saya tidak punya niat khusus untuk mati-matian menjaga konser akustik ini tetap dalam fitrahnya, pasti saya sudah menyulut moshing tengah malam saat itu juga! Fadly dan Rindra datang, Nito kembali naik panggung. Ino menyerahkan posisi pembetot bas kepada Rindra dan Nito menggantikan Didit, yang diluar kebiasaan, ternyata tanpa halangan jadual maupun masalah kesehatan menyambut perhelatan ini. Sesi terakhir malam itu dimulai oleh Fadly, yang memainkan gitar akustiknya ditemani Rindra. Sungguh itu adalah pernyataan lembut yang sangat keras maknanya. Dini hari itu, dihadapan sekian banyak anjing hilang, dia seolah berkata, “Apakah saya suka Pearl Jam? Ya iya lah!” Jreng! Soon Forget pun mengudara! Wishlist dan semua ikut bernyanyi. Eldery Woman dan semua meneriakkan “Hello!!!” sambil tertawa bahagia. Given to Fly dan kita pun kembali mengangkasa dalam kegembiraan luar biasa. Ah, malam bergulir seolah tanpa akhir... Bahkan ketika semua keceriaan itu ditutup dengan nomor lawakan Last Kiss yang dipadu Kugadaikan Cintaku milik Sang Legenda, Gombloh, ketika Perfect Ten meninggalkan panggung dan duet MC Pancoran.Id mengucapkan salam perpisahan, kami semua masih terbengong di depan panggung. Seolah baru saja tersadar dari sebuah mimpi indah sepanjang 5 jam yang luar biasa menguras tenaga. Alkohol dan keringat sudah menguap. Tulang-tulang tua ini sudah menjerit minta direbahkan. Peluk cium sahabat lama dan jabat erat teman-teman baru sudah selesai. Wajah lama dan baru bersatu dalam tawa. Selamat datang, hey, kawanan anjing hilang! Samudera Acoustology II: Times They are a-Changin’ sudah berhenti bergejolak. Kini ia menjadi telaga yang tenang dan beriak kecil saja. Riak-riak persahabatan. Duhai Waktu, kemana akan kau bawa telaga itu?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun