@america, pusat kebudayaan Amerika Serikat yang berbasis teknologi tinggi, yang kebetulan berdiri di dalam gedung Pacific Place Jakarta, menjadi tempat mengalirnya sebuah cerita. Cerita unik dan lucu dari Gugun Blues Shelter, trio power blues yang belakangan ini menghantam blantika musik Indonesia seperti badai. Sebuah cerita tentang blues itu sendiri...
Sesi Minggu, 27 Maret 2011 malam itu, yang merupakan lanjutan dari konser malam sebelumnya, dibuka dengan dua lagu: Turn It On dan Old Friend. Seperti biasa, Gugun Blues Shelter memainkannya dengan... Gila!
Dua lagu itu kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi, yang lebih tepat disebut sebagai obrolan santai, yang dipandu oleh Wendy dari Rolling Stone Indonesia. Dalam sesi inilah dibuka semua cerita mengenai sejarah terbentuknya Gugun Blues Shelter serta cerita hidup dari masing-masing personilnya: Gugun, Jono, dan Bowie.
Gugun, seperti kebanyakan anak kecil yang jatuh cinta pada musik sejak usia dini, kerap bermain air guitar menggunakan sapu di rumahnya, di komplek Caltex di Duri, Riau. Ayahnya, yang rupanya memberi dukungan penuh pada pengembangan diri sang anak, membelikannya sebuah gitar. Jadilah Gugun kecil yang baru berusia enam tahun itu memainkan gitar pertamanya dengan cara menggesek-gesekkan senar ke tangannya agar bunyi. Ah, kirain udah jago dari lahir, hahaha!
Kesenangannya bermain gitar tumbuh menjadi obsesi. Tak kurang dari 12 jam sehari dia habiskan untuk bermain gitar. Ketika ditanya oleh Wendi, apa yang dilakukannya pada saat bosan bermain gitar di kamar, Gugun menjawab: “Gua keluar kamar, duduk di teras, lalu... Ambil gitar!”
Musik Melayu, Indonesia, The Beatles, The Rolling Stones, dan beragam aliran lainnya disikat. Hingga saat ini, ketika sudah terkenal sebagai salah satu gitaris blues paling bisa diandalkan di Indonesia, dia tidak pernah membeda-bedakan aliran musik. Selama itu berbasis gitar dan enak didengar, hajar!
Mendengarkan beragam musik, menurut Gugun, selain bisa digunakan sebagai pelarian dari rasa bosan, bisa juga menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan karya yang lebih bagus. Hybrid Theory, barangkali.
Menginjak usia remaja, Jakarta menjadi tujuan petualangan musiknya. Mendaratlah ia di sebuah cafe legendaris. Cafe kecil yang saya rasa punya banyak kenangan bagi kita semua, terutama anak-anak Pearl Jam Indonesia (PJId): BB’s Cafe Menteng. Disanalah dia nantinya kerap jamming bersama musisi blues papan atas Indonesia dan bertemu dengan... Jono!
Jono. Pria Inggris bernama lengkap Jonathan Armstrong ini adalah sosok yang lucu. Dia selalu tampil ceria, usil, terkadang malah seperti orang gila.
Lulus sekolah setingkat SMA, dia hijrah dari Inggris ke Australia. Di negeri Kangguru itu dia bekerja serabutan jadi pemetik buah, bahkan suatu kali pernah jadi kuli bangunan. Ah! Tak disangka. Dibalik tawa cerianya itu ternyata tersimpan semangat hidup dan kerja keras yang luar biasa!
Bosan tinggal di Australia, dia liburan ke Indonesia. Aceh, tepatnya.
Suatu hari, mengendarai mobil sewaan, Jono dan temannya yang juga seorang bule itu berkendara keliling Aceh. Mereka tak tahu jika sistem penyewaan mobil disana berbeda dengan di Inggris atau di Australia. Di Aceh, mobil diberikan kepada penyewa dengan tangki bahan bakar yang nyaris kosong.
Karena tidak tahu, mereka enak-enakan berkendara tanpa terlebih dulu mengisi bahan bakar. Alhasil, dengan sukses mobil sewaan itu mogok di seputaran masjid Baiturrahman!
Untunglah polisi Aceh baik hati. Tanpa pamrih, seorang polisi yang kebetulan melintas membelikan bensin dalam jerigen kepada mereka. Tapi sayang sungguh sayang, ternyata mobil sewaan mereka itu berbahan bakar solar! Yassalam...
Tapi mungkin itulah uluran tangan Tuhan kepada Jono. Polisi berlalu, mungkin sembari bersungut-sungut, datanglah dua cewek manis dalam mobil merah yang begitu baik hati membelikan mereka solar. Tak berhenti disitu, keduanya mengundang Jono dan kawannya ke sebuah pesta ulang tahun, dua malam kemudian.
Dan, seperti dalam cerita sinetron garapan kerajaan bisnis Punjabi, salah satu cewek manis yang membelikan solar itu akhirnya menjadi... Istri si Jono!
Bowie, satu-satunya personil yang masih single (but taken), adalah kepingan terakhir yang melengkapi Gugun Blues Shelter. Dialah bagian penting dalam sosok musik blues gubahan Gugun.
Inilah penuturan Gugun mengenai peranan sang drummer bagi band-nya: “Musisi blues disini suka melupakan dan anggap remeh peranan bass dan drum. Kebanyakan mereka beranggapan blues itu cuma gitar. Sisanya gak penting. Menurut gua gak gitu! Blues tanpa bas dan drum yang bagus akan jadi musik gak jelas! Gua emang cari drummer jazz yang punya pukulan keras. Bukan drummer jazz yang mainnya “cantik”. Bowie punya itu semua.”
Sekali dua kali jamming, jadilah Bowie direkrut. Maka menderulah mesin musik dahsyat bernama Gugun Blues Shelter!
Bowie adalah contoh musisi sukses yang tidak terlalu didukung oleh kedua orang tuanya. Mereka, seperti kebanyakan orang tua di Indonesia, mengharapkan Bowie sukses di sekolah tinggi dan jadi pegawai kantoran.
Sejak remaja dia bermain musik sebagai bentuk pemberontakan. Sebagai upaya untuk menjadi dirinya sendiri. Posturnya yang kecil tidak memungkinkan dia jadi bintang olahraga. Jadilah musik, khususnya drum, jadi alat terbaik baginya untuk menunjukkan siapa itu lelaki bernama Bowie.
Sesi diskusi malam itu, yang ternyata mengalir menjadi sebuah sesi cerita blues, kemudian ditutup dengan Set My Soul on Fire, Trampled Rose, On The Road, When I See You Again, dan Spinnin’. Lima nomor yang mereka bawakan dengan luar biasa memukau. Di nomor terakhir, Bowie bahkan diberi tak kurang dari dua menit penuh untuk ber-solo drum!
Dan, seolah memberi penekanan pada ucapan Gugun di tengah diskusi tadi, yang sempat melontarkan pernyataan bahwa dia senang menulis lagu yang memiliki nuansa seperti lagu-lagu Pearl Jam di era ‘90an, cerita blues malam itu ditutup dengan backsound Force of Nature dan video live dari Pearl Jam yang membawakan Black!
Yah, barangkali cerita blues ini memang tidak berhenti disini. Barangkali dia akan mengalir. Menyeret PJId dan kita semua, entah kemana...