Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Musik 2010: JRL 2010 Hari Pertama - Maka Terbakarlah Roma!

30 April 2011   22:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13 101 0
Jumat sore, 8 Oktober 2010. Timeline twitter penuh sumpah serapah soal macet jahanam dan hujan badai yang menerjang Jakarta. Bersama Dani dan BSW, wartawan KOMPAS yang nantinya menjadi satu-satunya orang yang sempat mewawancarai Billy Corgan di Java Rockingland (JRL), saya menembus gerimis, melintasi jalanan komplek, melewati Bandar Jakarta, menuju Pantai Karnaval Ancol.

Ketika tiba di gerbang masuk festival rock terbesar se-Asia Tenggara itu, saya mendapati suasana disana ternyata masih sepi. Hanya beberapa belas peziarah rock n’ roll saja yang terlihat. Petugas yang merupakan bagian dari 1.000 relawan yang bertugas di perhelatan ini juga terlihat kurang bersemangat. Semua seolah lemas terkena siraman hujan, meski sudah terlindungi raincoat, ponco, dan payung aneka warna.

Tanah luas di depan panggung utama sebagian tergenang. Tulang-tulang besi menjulang dari tiga panggung raksasa yang saling berdekatan masih membisu. Gelap.

Disambut oleh hujan, angin dingin, tanah becek, genangan air, dan panggung raksasa yang gelap, hati saya mendadak terasa tidak enak. Apakah ini pertanda bahwa JRL kali ini adalah yang terakhir bagi kita? Apakah bangsa saya memang sudah demikian payah, sehingga hanya mampu mengkonsumsi musik minim nada, terlebih lagi makna, dalam RBT?

Terlambat setengah jam dari jadual dan kekurangan ribuan penonton dibanding Andra and The Backbone pada pembukaan JRL 2009 lalu, /rif menghangatkan suasana di bibir panggung utama dengan perpaduan lagu-lagu baru dalam album 7 dan nomor-nomor lama milik mereka.

Nuansa metal dalam garukan gitaris barunya memang memberi warna berbeda pada /rif. Namun bagi saya, dan 1.500-an audiens yang sebagian takut-takut menginjakkan kakinya ke genangan air dan lumpur sore itu, /rif adalah Radja. Tidak kurang, kalau bisa lebih.

Maka gemuruh dan energi dari sebuah konser rock baru mengalir ketika Andy mengajak semua bernyanyi. Andai aku jadi radja!

Separuh lagu Fight, saya pindah ke Dome, panggung raksasa yang tersembunyi dalam ruangan besar, tepat di belakang panggung utama.

Disana Gugun n’ Blues Shelter sedang menggila. Musik mereka, yang terdiri dari gempuran drum dan cabikan bas tak kenal lelah, yang dimahkotai dengan segala macam jenis raungan gitar yang mungkin dikeluarkan oleh kelincahan jemari manusia, yang mereka sebut sebagai power blues, menjilati ratusan audiens yang sudah sejak tadi terbius di bibir panggung.

Seiring usainya penampilan /rif di panggung utama, audiens mengalir terus kedalam dan mengisi separuh Dome yang nyaman.

“Dari tadi distorsi melulu, nyantai yuk!” Demikian Gugun berceletuk. Dan melantunlah tembang favorit saya dari album terakhir mereka, When I See You Again.

Once, yang sepertinya akan menjadi bagian dari proyek masa depan Gugun, menjadi bintang tamu dan menyanyikan Mistified dengan nuansa rock yang menyenangkan. Hey Hasley, piye kabare?

Penampilan energizer mereka ditutup dengan satu lagu yang isinya melulu jamming yang seolah berasal dari dunia lain. Dan Jono, si English Man yang bangga jadi bagian dari kebudayaan Indonesia, memainkan bas-nya sambil bertelanjang bulat, menunjukkan pampers putih berplester hitam yang tak mampu menutupi pantatnya yang tidak bisa dibilang seksi itu. Dasar gelo!

Untuk sesaat, selama Gugun menebar sihir bunyinya yang sangat mencerahkan itu, saya melupakan payahnya SBY, tidak berdayanya Foke, brengseknya Nurdin Halid, dan tololnya Mr. Tiff. Dalam kejapan penuh cahaya itu, saya bangga jadi orang Indonesia, karena saya punya Gugun!

Dua jam berdiri rupanya hal yang berat bagi tulang yang mulai menua ini. Usai menyaksikan Gugun n’ Blues Shelter, saya menepi ke booth Tebs. Meneguk minuman dingin untuk meredakan lelah, sembari menikmati jeritan emosional vokalis ganda Saint Loco yang mentas di panggung Tebs.

Jika saya menyaksikan mereka sepuluh tahun lalu, ketika saya sedang jatuh hati pada rusuhnya Limp Bizkit dan kerennya Linkin Park, mungkin malam itu saya akan berdiri satu jam lebih lama lagi. Namun entah kenapa, saya sekarang tidak terlalu bersimpati pada hip metal.

Satu hal yang jelas adalah Saint Loco punya basis penggemar yang cukup kuat. Ratusan audiens, sebagian diantaranya bernyanyi bersama pada nomor-nomor tertentu, setia di depan panggung, menanggung dinginnya rintik hujan yang tak kunjung berhenti.

Hujan reda ketika Datarock tampil di panggung utama.

Setengah sembilan malam dan empat pria berseragam olahraga warna merah menghantam. Bukan dengan kerasnya musik, melainkan dengan lawakan yang sungguh menghibur!

Lawak? Ya, Anda tidak sedang mabuk. Lawak!

Jujur saja, tak satu pun lagu karya mereka yang saya kenal. Memang benar saya mendonlot beberapa nomor yang sempat menjadi bagian dari game komputer maupun online. Namun itu semua tidak mampu saya cerna.

Cara bernyanyi yang membosankan, tempo lagu yang tak kalah membuat frustrasi, rupanya tak menjadi halangan bagi mereka untuk memaksa ribuan dari kami bertahan di depan panggung. Aksi buka baju, bergantian memukul drum, crowd surfing, tiup terompet sambil berdiri di atas pagar pembatas, sampai pegang biji kemaluan mereka lakukan.

Sebagai menu penutup, meski saya tidak yakin apakah itu lucu atau aneh, mereka berkaraoke dengan satu nomor OST film Dirty Dancing, lengkap dengan aksi senam kesehatan bersama!

Apapun nama musiknya, para pria berkostum merah yang terbang 25 jam penuh dari Norwegia untuk tampil di JRL 2010 ini benar-benar berhasil membuktikan bahwa musik memang universal. Untuk menikmati konser rock, kita tidak harus paham musik yang sedang dimainkan di panggung. Eh, atau harus ya?

Pas Band menghajar ribuan audiens di panggung Tebs, meski pada saat bersamaan Datarock belum menyelesaikan setlist mereka di panggung utama. Satu bukti lagi bahwa dalam sebuah festival rock besar seperti ini, basis komunitas penggemar yang kuat adalah juru selamat. Sekoci yang menyelamatkan sebuah band dari bencana moral bermain tanpa audiens.

Tidak seperti Plastik, Pas Band bukanlah band yang benar-benar bisa saya nikmati. Sebagian menuliskan label grunge pada mereka, meski saya sendiri merasa warna metal sangat kental dalam musiknya yang memang bagus dan ganas sekali ketika dimainkan secara live.

Setengah jam sebelum pukul 11 malam, panggung utama sudah disesaki oleh belasan ribu audiens yang sepertinya memang khusus hadir untuk menyaksikan formasi terbaru dari Smashing Pumpkins. Formasi terbaru yang hanya menyisakan Billy Corgan, sang pendiri, sebagai the last baldie standing.

Berjalan zig-zag, menyusup diantara pria dan perempuan berkeringat - sebagian diantaranya, terutama perempuan yang berusia muda, cukup wangi untuk ukuran festival rock sebesar ini - saya akhirnya mendarat di baris ke-15 dari bibir panggung. Tepat di tengah. Posisi dimana saya memperkirakan si Misterious Mr. Moody Like Hell Corgan akan berdiri.

Disanalah saya menanti. Bersama belasan ribu lainnya berdebar dan begitu bersemangat. Membiarkan lumpur basah dan genangan air mengotori kaki. Menyambut dinginnya angin malam yang masih membawa sisa hujan bersamanya. Mata menatap lekat ke pintu keluar artis di sisi kiri audiens.

Dum... Dum... Dum...

Semua berjalan sempurna ketika cahaya biru menyinari panggung utama, memantul di permukaan dua kipas logam raksasa yang dipasang berhadapan dan berputar perlahan. Dan itulah dia, Billy, dengan kemeja panjang hitam yang kontras sekali dengan kepala plontosnya yang seolah menyala terang, berjalan anggun, mengambil gitar, dan menyapa belasan ribu audiensnya dengan senyum aneh yang menunjukkan sedikit giginya.

God, ini Smashing Pumpkins! Benar-benar mereka!

Today meluncur dan kami semua bernyanyi seperti gila!

Astral Plane, lagu terbaru mereka, disambut muka-muka heran dan kebisuan massal, sampai kemudian Adore membahana dan menghapus semuanya. Kami kembali bernyanyi, meloncat, dan tertawa bahagia.

Moody adalah nama tengahnya dan misterius adalah marganya. Entah dengan maksud apa, Billy kembali memainkan lagu baru, Song for A Son, yang sangat sedih, tepat ketika audiens mulai memanas dan mengharapkan mereka memainkan rentetan hits internasionalnya.

Puncak kegembiraan kami, itu jika perasaan campur aduk antara senang, khawatir, gemas, heran, dan kesal dapat disebut puncak, adalah ketika suara cemprengnya menyanyikan ini: “The world is a vampire...”

Semua mendadak beringas dan bumi gonjang-ganjing. Sungguh, aspal tempat saya berdiri, dan melompat, saat itu benar-benar bergetar!

“Now you’re alive," katanya sembari terkekeh menjijikkan. Benar-benar seperti vampire.

Dari sana perjalanan musikal kami dengan Smashing Pumpkins hanya menemui turunan terjal. Sederetan lagu baru yang tak kami kenali, serentetan eksperimen gitar dan sound, termasuk didalamnya gesekan gitar Billy pada monitor, menjadi menu yang sangat mengherankan, jika tidak bisa dibilang menyiksa.

Ketika akhirnya Tarantula bergema, semua sudah terlambat. Satu jam yang dijanjikan sudah lewat dan Billy, tanpa belas kasihan, melambaikan tangan sambil mengucapkan salam perpisahan.

Tidak ada 1979. Tidak ada Zero. Tidak ada encore.

Bahkan ketika teknisi panggung, dalam gelap, mulai membereskan drum set Smashing Pumpkins, lima belas menit kemudian, kami semua masih disana. Ternganga dan tenggelam dalam rasa tidak percaya.

Smashing hanya sampai disini? Really? Billy?

Setengah jam kemudian dan saya pun akhirnya sadar, Smashing Pumpkins tidak akan kembali.

BIP, yang malam itu kebagian jatah di Langit Musik, dan The Flowers yang menghentak di panggung Tebs - keduanya masuk dalam incaran tontonan saya di hari pertama - mendadak menjadi tidak menarik sama sekali.

Pulang. Itulah kiranya yang terbaik yang bisa dilakukan.

Bersama BSW dan Ikhwan, saya berjalan menyusuri trotoar. Mencari angkutan untuk membawa kami kembali ke hotel.

Dalam cerahnya malam, dalam resah yang sungguh mematahkan semangat, dalam percakapan penuh tanda tanya, terngiang lirik As Rome Burns yang tadi sempat Billy mainkan.

“We are the new gods, same as the old gods, we’ll take all your blood, and turn it into mud...”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun