Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Musik 2010: Djaksphere 2010 - Lintas Kreasi, Lintas Generasi

1 Mei 2011   01:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12 149 0
[caption id="attachment_105394" align="aligncenter" width="300" caption="God Bless Navicula! - foto oleh Icha"][/caption] Musik, seperti halnya ide tentang Tuhan yang terangkum dalam demikian banyak aliran agama, adalah produk manusia yang paling transendental. Buah pemikiran dan pengalaman kejiwaan manusia yang paling lugas mengungkapkan kerinduan kita semua akan cahaya ilahi. Tentang penciptaan. Tentang keberadaan kita disini dan kemana kita akan menuju nanti. Oleh karenanya, musik bersifat universal dan abadi. Dia bisa melintas dari lokasi yang satu ke lokasi lain. Dari Los Angeles ke Timbuktu. Dia juga dengan mudah bisa melintasi garis waktu. Dari Yunani kuno ke era techno. Musik adalah air yang menjadi salju di Himalaya, menjadi aliran sungai di Amazon, menjadi kristal es di danau bawah tanah di Argentina, dan menjadi awan di langit Khatulistiwa. Tidak seperti lintasan lokasinya yang lebih bersifat imperial, dari negara adidaya ke negara kelas kambing seperti Indonesia, lintasan waktunya bersifat dua arah, dari generasi lampau ke generasi kini dan sebaliknya. Dengan demikian, sah saja bagi Johnny Cash yang dedengkotnya country itu untuk mengaransemen ulang Rusty Cage milik si anak ingusan grunge asal Seattle, Soundgarden. Sama sahnya dengan dewa gitar rock Indonesia, Ian Antono-nya God Bless, ketika memainkan part milik Dankie Navicula, dalam lagu Mawar dan Melati, di perhelatan Djaksphere tempo hari. Kiranya semangat itulah yang terangkum dalam Djaksphere, yang mengangkat tag line: “Lintas kreasi, lintas generasi”. Sebuah pagelaran musik yang menyajikan hasil kolaborasi antar musisi Indonesia dari berbagai generasi. The Trees and The Wild, Mocca, Bonita and The Hus Band, serta Oddie Agam berkolaborasi membuka sesi pertama malam itu. Sementara di luar gerimis masih terus membasahi bumi, di dalam Kartika Expo, yang Sabtu, 20 November 2010 itu gelap seperti pemakaman, saya dan sekitar seribu audiens lainnya menikmati suguhan yang tidak biasa. Yah, tidak biasa karena selain ide kolaborasi ini memang cukup unik, juga karena kebetulan saya bukan tipenya penggemar musik tanpa distorsi. Dua yang pertama bukan untuk saya. Sementara Bonita, meski saya pernah lihat penampilan tak resminya di Coffe War di bilangan Kemang Timur beberapa bulan lalu, sungguh mempesona. Vokalnya seperti menari-nari di tangga nada yang merentang dari jurang yang dalam hingga ke langit. Jika tidak melihat sosoknya di panggung, mungkin banyak orang akan menduga suara indah itu berasal dari pita suara milik cewek berkulit hitam keturunan Afro-Amerika. Maka ketika Oddie Agam bergabung bersamanya di panggung membawakan Puncak Asmara, resmilah semua masuk kedalam pesta suara lintas generasi! Tak hanya om dan tante yang ikut bernyanyi serta bergoyang, beberapa teman nonton yang seumuran dengan saya pun ternyata fasih melantunkan lagu pop legendaris ini. Terlebih lagi ketika Antara Anyer dan Jakarta serta Logika berkumandang. Ah, rasanya seperti kembali ke jaman SD dan menonton Selekta Pop di TVRI! Leonardo Ringo terlalu banyak bicara sampai kemudian Utha Likumahuwa datang dan menyelamatkannya. Suara bintang pop masa silam ini ternyata masih sangat mumpuni, bahkan untuk ukuran kini. Esok Kan Masih Ada, lagu yang disebut sebagai lagu paling optimis oleh duet MC gila (dan sangat porno) malam itu, Soleh Solihun dan Sarah Sechan, menjadi mutiara kebanggaannya. Saya sempat teringat acara tinju di televisi nasional kita ketika Utha menceritakan semangat kebangsaannya yang menggelora saat dirinya memenangi penghargaan musik di Filipina, sekian waktu yang lalu. Ahay! Berikutnya adalah satu dari dua menu utama yang saya tunggu: Gugun Blues Shelter! Tiga musisi yang memainkan power blues seperti bergosip ini, cepat dan bahagia, sungguh adalah tontonan kelas dunia. Tidak ada kepura-puraan dalam diri mereka. Di album dan di panggung, musik kembali ke fitrahnya melalui gitar yang seperti bernyawa, bas yang sungguh enerjik, dan pukulan drum yang seolah tak kenal lelah. Dengan keunggulan musikal seperti itu, ide memasukkan Once kedalam formasi mereka, yang diucapkan secara tersirat oleh Gugun sendiri di Java Rockin’ Land 2010 Oktober lalu, terdengar seperti guyonan bagi saya. Bukan Once yang mereka butuhkan, melainkan panggung raksasa dengan tata suara puluhan ribu watt! When I See You Again yang manis dan Turn It On yang dimainkan dalam versi liar, keduanya berasal dari album yang berbeda, dibawakan sebelum dan sesudah kolaborasi dengan Sylvia Saartje, lady rocker yang tidak lagi muda. Saya tidak tahu apakah dirinya manis ketika masih muda, tapi yang pasti, di usianya yang sudah 53 tahun ini, Sylvia Saartje masih terdengar liar. Lengkingan suaranya ketika membawakan Jakarta Blue Jeansku, Geram, dan Mr. Drifter, benar-benar mendirikan bulu roma. Usai membawakan Jakarta Blue Jeansku, Sylvia sempat bercerita tentang makna lagu tersebut. Baginya, lagu itu sangat pas menuturkan kondisi Jakarta dan persepsi orang-orang tentang kota sejuta impian ini. Baiklah Tante, tunggu sampai kamu dihantam Metropolutan-nya Navicula! Navicula, raksasa grunge dari Pulau Dewata, menghantam dengan sebuah nomor instrumental yang terdengar seperti Alice in Chains bertemu Radiohead. Dankie, dalam balutan baju merah dan tentu saja sorban mistisnya, memainkan gitarnya seperti orang malas. Satu dua kali saja dia terlihat menggerakkan tubuh. Namun dampaknya sungguh menghancurkan. Jika saja semua konser rock Indonesia terdengar seperti Navicula malam itu, tentu venue dan festival rock lokal tak perlu lesu darah sepi penonton seperti saat ini. Robi, yang mempunyai pesona tersendiri setiap kali berdiri di panggung, tak butuh waktu lama untuk menyihir audiensnya. Menghitung Mundur meluncur dan semua sepakat bahwa matematika itu penting. “10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1... Buka mata hatimu, saat kuhitung mundur!” Everyone Goes to Heaven berderap sebelum kemudian badai suara bernama Metropolutan bertiup, memporakporandakan semesta Djaksphere. Demikianlah kami semua menyaksikan bahwa pesona suara dari Pulau Dewata dengan sempurna membuka gerbang bagi legenda rock Indonesia, God Bless. Betapa kemudian keindahan musik dari keduanya bisa menyatu dalam Rumah Kita dan Kehidupan, dua nomor rock legendaris milik God Bless yang malam itu dimainkan dalam sentuhan Navicula. Ian Antono, betapapun tinggi tempatnya bersemayam dalam sejarah rock Indonesia, ternyata bukanlah orang yang pelit apresiasi. Dengan kelincahan jemarinya yang seolah tak tersentuh kutukan usia, dia memainkan intro dari Mawar dan Melati gubahan Navicula dengan sempurna. Saya yang hanya penggemar saja rasanya bangga melihat karya Navicula dimainkan oleh seorang legenda, bagaimana pula perasaan para personil Navicula sendiri saat itu ya? Untung mereka tidak jatuh pingsan di panggung karena kegirangan! Navicula yang hadir dengan kemegahan suara yang luar biasa dan God Bless yang nyata belum kehilangan aura legendanya benar-benar menutup malam dengan sempurna. Ketika semua musisi dari sesi-sesi sebelumnya naik ke panggung dan kembang api ditembakkan ke angkasa, kami semua tahu bahwa pesta telah usai. Djaksphere, yang selama dua tahun berturut-turut telah dengan nekat mencoba menjembatani ruang kosong antar generasi musik negeri, sudah selesai. Yang tertinggal kemudian adalah kesadaran, yang meski bukan baru namun kerap kita lupakan, bahwa musik sesungguhnya tak lekang oleh waktu. Tak pudar oleh kategorisasi industri dan batas generasi. Karena ia bicara soal hati. Soal pencerahan ilahi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun