Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Musik 2010: Storm Report - Final Day "Goodbye for Now..."

30 April 2011   17:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13 102 0
[caption id="attachment_105382" align="aligncenter" width="300" caption="Poster Koser Metropolutan - ilustrasi oleh Roel Eits!"][/caption] Perjumpaan, yang kemudian disempurnakan dengan perpisahan, bagaimanapun bentuknya, selalu meninggalkan lubang di dalam hati. Besar maupun kecil. Ruang kosong yang akan selalu diisi oleh kerinduan. Seperti ketika Frodo terpaksa meninggalkan Bumi Tengah dan teman-teman hobbit-nya, berlayar ke Utara bersama Elrond sang raja Rivendell serta pamannya tercinta, Bilbo, setelah memenangkan Perang Cincin yang demikian berpengaruh pada arah sejarah dunia mereka. Agar ia selalu dikenang, maka ditinggalkanlah buku kisah perang mereka kepada Samwise Gamgee, pembantu sekaligus pelindungnya yang paling setia, dengan satu bab kosong yang harus dilanjutkan penulisannya oleh Sam. Bab kosong yang akan diisi tulisan ketika kekosongan hati demikian tidak tertahankan lagi. Buku yang menjembatani kerinduan mereka berdua, karena pertemuan kembali mungkin tak akan pernah terjadi. Demikianlah, “Navicula: Metropolutan Concert” yang digagas oleh Maqnet Entertainment di Mario’s Place, Menteng, semalam, seolah menjadi sebuah konser perpisahan Navicula, yang akan segera bertolak kembali ke Bali, meninggalkan penggemar dan pengagumnya di kota Metropolutan ini. Tak kurang dari Besok Bubar, Respito, The Bolong, Revenge The Painful, Perfect Ten, hingga Cupumanik yang mengirimkan utusannya menghadiri perhelatan kali ini. Tim dokumentasi dari proyek Grunge Indonesia, Joshua Stigmata dan Eko HC, melengkapi penghormatan kepada sang raksasa, Navicula. Konser rock lintas genre malam itu dibuka oleh si pengusung post-grunge, Respito, yang telah, dan masih, menjalani jadual manggung yang luar biasa melelahkan. Terlepas dari itu semua, menurut hemat saya, penampilan mereka malam itu bagus. Nomor demi nomor meluncur mulus. Dan bertenaga, tentu saja. Freedom, Angels Cry, dan Adiksi yang pertama kali saya dengar di perhelatan Grunge Gods: Back to The Top di Rossi Music, Fatmawati, tempo hari, jelas menjadi menu yang sangat saya nikmati. Sayang sekali salah satu lagu favorit saya di album Jalan Menuju Surga, yaitu Membusuk di Neraka, batal dibawakan. Padahal, menurut penjelasan Daff sang gitaris, nomor itu sesungguhnya sudah masuk dalam setlist. Damn! Malam terus bergulir, membawa Friends of Mine ke hadapan kami semua... Sejujurnya, ini adalah kali pertama saya menyaksikan penampilan mereka. Dan malam itu, untungnya, mereka memainkan dua lagu dari album self-titled yang saya kenali, Kau Terkalahkan yang penuh dendam dan Dalam Tenang yang menghentak manis. Jadilah teman saya Danu, Dinda, serta Tombol, yang khusus datang untuk Friends of Mine serta Navicula, mengangguk-anggukkan kepala sembari menyeruput teh manis dan es cappuccino. No alcohol tonite, darling! Punk melodic berlalu dan datanglah grunge bermuatan politik! Besok Bubar, yang jelas-jelas menyatakan diri sebagai pemuja Navicula dengan memainkan intro Menghitung Mundur ataupun Aku Bukan Mesin dalam dua penampilan terakhir mereka, menghantam 150-an audiens rock yang malam itu sudah berkumpul. Membuka dengan sebuah nomor instrumental, seperti juga Respito dan (memang nyaris selalu) Navicula, Besok Bubar menghajar tanpa henti. Coklat, yang sepertinya adalah lagu baru, diteruskan dengan Pahlawan Bertopeng, Diskriminasi, Perangkap Tikus, Raksasa, Bedtime Stories, dan Busung Lapar. Serangkaian lagu keras yang benar-benar tidak kenal kompromi, baik dalam urusan nada maupun lirik. Hajar! Dalam beberapa kesempatan, Besok Bubar memainkan lagu-lagunya dengan berbagai improvisasi nada. Menjadi lebih progresif, demikian Novi, Harris, dan (mungkin, jika dia datang malam itu) Pak De Purnomo mengatakannya, apapun artinya itu. Tapi, setidaknya bagi Amar, bagian paling manis pastilah ketika Robi menyanyikan Raksasa bersamanya. Lengkap dengan sesi pukul-pukul bongo pula! Hampir pukul sebelas malam ketika Navicula memulai persiapannya untuk menutup perhelatan itu. Arman, dengan kepala plontos, kacamata, dan segudang aksi gilanya, memaksa Amar untuk berduet a la Srimulat di depan panggung. Pasangan yang tidak bisa dibilang mengecewakan! Dan inilah dia, si raksasa yang akan segera pergi, sejenak meninggalkan kita semua... Berbeda dari tiga kesempatan sebelumnya di Hard Rock Cafe, Rossi Music, maupun Colours Cafe, kali ini nomor instrumental pembuka yang dibawakan tidak bernuansa psikadelik, melainkan terdengar lebih keras. Terdengar seperti panggilan untuk headbanging dan menabrakkan diri ke bibir panggung. Like a Motorbike menghentak dan semua bergejolak! Audiens yang sudah sejak tadi merapat ke bibir panggung sontak ikut berjingkrak, saling menabrakkan diri, dan berteriak. Kegilaan yang menyenangkan itu terus berlanjut di Kali Mati, Metropolutan, Menghitung Mundur, Everyone Goes to Heaven, dan Zat Hijau Daun. Memang bukan cerita baru jika para pemuja grunge Jakarta hapal mati lagu-lagu Navicula. Dan saya, dengan bangga, adalah salah satu dari mereka! Satu-satunya saat tenang hanyalah ketika semua terbengong pada nomor ugal-ugalan yang batal rilis, sesuatu tentang kuda dan kamar mandi, serta lagu instrumental yang digadang-gadang merupakan materi untuk album berikutnya. Album yang juga akan berisi Metropolutan yang dahsyat serta sebuah lagu cinta yang sempat dibawakan di Hard Rock Cafe beberapa malam yang lalu. Crowd surfing berlangsung dengan Boy sebagai korban pertama. Tubuhnya yang kecil dengan mudah diangkat dan dipindahtangankan, meskipun sebenarnya dia berteriak-teriak menolak. Boy, hidup memang kejam! Hahahaha! Navicula, betapapun besarnya mereka, adalah kumpulan grunge yang rendah hati. Dengan ringan, meskipun mereka sadar bahwa kami semua sesungguhnya tidak mengharapkan mereka membawakan cover, dari para dewa grunge sekalipun, Navicula mengundang semua vokalis band grunge yang malam itu hadir. Egy The Bolong, Uncal Revenge The Painful, Amar Besok Bubar, dan Che Cupumanik naik ke panggung, beramai-ramai membawakan All Apologies milik Nirvana. Pheps menolak naik ke panggung karena tenggorokannya sudah nyaris terbakar, sementara Hasley akhirnya bergabung ketika Alive, anthem keberanian untuk menjalani hidup sepanjang masa milik Pearl Jam, berkumandang. Bagi saya, apa yang tersaji di panggung ketika itu hanya punya satu makna: persahabatan. Dalam kelompok kecil ini, kumpulan pemuja grunge yang sudah ada sejak dulu, dan akan selalu ada sepanjang masa, hanya persahabatanlah yang akan menyelamatkan kita semua. Percayalah... Ketika Robi meletakkan gitarnya, Dankie pergi ke balik tirai, Gembul menghilang di ceruk gelap di belakang drumset, dan Made berpaling menuju tangga, audiens serentak meneriakkan encore! Kami tahu Robi sedang sakit. Kami sadar Navicula sudah sangat lelah. Namun ini adalah konser terakhir. Jadi, kami mau lebih! Kami mau lebih! Kami mau satu lagu lagi!!! Dan menggemuruhlah Televishit, nomor dahsyat yang membuat saya pertama kali jatuh cinta pada mereka. Bersama, kami semua meneriakkan paru-paru hingga tandas, mengutuk semua acara televisi yang tidak ada gunanya. Matikan tiviii!!! Matikan tiviii!!! Matikan tiviii!!! Layaknya manusia, yang memang tak pernah bisa dipisahkan dari sifat serakah, kami minta tambah! Jadilah Mawar dan Melati, sebuah nomor lembut dari album Beautiful Rebel, dinyanyikan Robi bagi semua perempuan yang hadir malam itu. Perempuan, seperti juga pacar saya, yang dengan setia menemani orang-orang seperti saya. Seperti kita. Kumpulan orang yang dengan bangga mencintai, dan menggilai, kejujuran bermusik a la Navicula. Maka usailah semua, rangkaian badai grunge yang berhembus di bulan penuh cinta. Navicula yang membuka, mereka pula yang menutupnya. Bersama tirai yang perlahan turun, mari nyanyikan lagu ini, sembari menanti kesempatan ketika kita semua berjumpa kembali. “Cause the man of the hour is taking... His final bow... Goodbye for now...”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun