Cinta itu pula yang menggerakkan ISI menggagas pesta rock untuk merayakan kebesaran Pearl Jam, dengan menggabungkan performer serta audiens dari Bandung dan Jakarta, tak peduli betapa rumit dan sulit jalan yang harus dilalui.
Cinta yang sama yang membuat anggota PJId dan para jamily lainnya yang datang ke acara tersebut menempuh jarak jauh menggunakan kereta dan mobil, bertahan hingga pagi hari, menanggung resiko ditegur atasan di kantor karena masuk kantor dalam kondisi payah, atau malah bolos sekalian!
Dan sudah barang tentu cinta itu juga yang membuat para performer dengan suka cita rela menyisihkan waktu, bakat, serta tenaganya untuk hadir dan membakar panggung.
Pesta dimulai sejak sore hari di resto Tiga Cemara. Sebuah resto apik dengan harga menu bersahabat yang berlokasi di Sukajadi, Bandung.
Dini, anggota PJId domisili kota kembang itu, menyediakan resto yang dikelolanya untuk dijadikan tempat berkumpul bagi anggota PJId. Juga bagi jamily lainnya yang berkenan bergabung, untuk menunggu tibanya waktu pesta di Score, Ciwalk, malamnya.
Jadilah hampir semua anggota PJId yang berangkat ke Bandung berkumpul disana. Rombongan kereta bertemu dengan rombongan mobil. Ditambah sekelompok jamily asal Banjaran, Bandung, yang datang bergabung setelah melihat info di page Pearl Jam Indonesia di Facebook, resto itu pun kemudian menjadi hingar-bingar setelah dua gitar akustik yang tersedia dijadikan modal untuk koor bersama.
Nomor-nomor milik Pearl Jam, Nirvana, Alice in Chains, Oasis, dan Stone Temple Pilots segera mengudara. Dan ketika Perfect Ten merapat kala sore menjelang bersama hujan yang kian deras, repertoir bertambah banyak dan luas. Nomor-nomor terkenal milik Collective Soul, Blind Melon, dan bahkan Metallica pun meluncur dengan mulus.
Sebenarnya saya mengharapkan Megadeth. Tapi, yah, ini kan PJId...
Sayang sekali Nilam tidak bisa berlama-lama menikmati keceriaan itu, karena anaknya mendadak sakit dan dia terpaksa kembali ke Jakarta, setelah sebelumnya tiba di resto ini menggunakan kereta dengan rombongan pimpinan Denny Andryana.
Pukul sembilan kurang, seluruh rombongan, yang saat itu berjumlah sekitar 40-an orang, bergerak dari resto Tiga Cemara menuju medan laga. Halah!
Di depan Score, karena acara belum lagi dimulai, kami bergabung dan nongkrong dulu dengan beberapa anggota PJId lainnya yang langsung ke TKP tanpa melalui resto Tiga Cemara, termasuk AnkBadar yang baru tiba dari Majalengka.
Suasana sudah ramai. Jamily dari penjuru Bandung, dan mungkin juga kota lain di sekitarnya, sudah datang dan mengelompok di beberapa titik. Flanel, Doc Mart, celana jins belel, dan aroma Seattle era ’90s menggantung di udara.
Saya sendiri, seperti biasa, hanya memakai sepatu kets, celana jins, dan kaos murahan. Bukan penggemar fashion, after all. Tapi jelas, sangat menggemari Fashion TV, terutama acara Midnight Hot dan Lingerie. Ngaku sajalah, Anda juga kan?
Pukul sepuluh lebih dan pesta itu dimulai, meski dengan sedikit canggung, oleh Sad Shabby yang mendapat tugas membawakan album Binaural.
Audiens masih belum panas. Pilihan lagu bertempo sedang, seperti Light Years dan Thin Air, seolah menjadi sebuah sapaan lembut ucapan selamat datang...
Di sela-sela lagu, sang vokalis yang malam itu mengenakan baju Nirvana, mengingatkan saya pada Che ketika mentas di Tribute to Pearl Jam di Planet Hollywood beberapa tahun lalu, menyampaikan maaf jika permainan musiknya kurang berkenan dan menyatakan bahwa dirinya merasa sedikit malu untuk tampil di hadapan para seniornya, apapun artinya itu.
Kalau boleh mengkritik, tanpa bermaksud menghina tata cara Sunda yang memang bagi saya terasa sedikit terlalu halus, saya rasa itu semua tidak perlu. Ini konser rock, bung! Mainkan saja musiknya!
Selanjutnya adalah Bittertone. Kumpulan jamily yang terbukti tak pernah menghindar dari tantangan, baik itu memainkan lagu baru dari Backspacer di perhelatan Backspacer Listening Party, manggung di mini stage Indonesia Consuminity Expo, hingga memainkan Riot Act, yang jujur saja, bukanlah album favorit semua orang, di acara ini. Dan, saya merasa wajib mengatakan ini, malam itu semangat Riot Act benar-benar sempurna mereka hadirkan bagi kita!
Arc yang kemudian dilanjutkan Love Boat Captain, layaknya dalam dokumentasi Pearl Jam Live at The Garden 2003, membuka penampilan mereka. Sungguh memuaskan! Tentu saja bagi saya, karena sudah demikian lama saya memimpikan kedua lagu ini dimainkan berurutan tepat seperti itu.
Dan itulah dia, gerbang pembuka kegilaan malam itu, yang pada akhirnya mengirim kita semua ke angkasa kegembiraan perayaan Pearl Jam The Immortality dalam moshing, koor, dan crowd surfing yang sungguh-sungguh menyenangkan!
Can’t Keep, Get Right, hingga Save You meluncur kemudian. Mengukuhkan mereka sebagai satu dari yang paling saya nikmati malam itu.
Namun, lagi-lagi, sangat disayangkan bahwa Bittertone tidak bisa berlama-lama dalam pesta. Mereka segera kembali ke Jakarta karena ibunda dari sang vokalis, Hafit, baru saja masuk rumah sakit.
Monster Replica hadir kemudian membawakan album Avocado.
Vokalisnya, yang mengenakan ikat kepala khas Sunda, melontarkan lawakan seputar Che melalui tulisan di kaos yang dikenakannya. “Che is Dead” demikian tertulis disana, yang kemudian ternyata adalah salah eja dan akhirnya dia ubah menjadi “Che is Dad”, sebagai ungkapan suka cita atas kelahiran anak pertama dari vokalis Cupumanik itu.
Audiens yang sudah melangkah memasuki gerbang kegilaan semakin panas dengan nomor-nomor dari album keras yang menggugat kampanye perang ide dari si jenius Bush Jr ini. Si jenius yang data intelijennya mengenai senjata pemusnah massal di Irak terbukti salah total dan menjadi bahan olok-olok orang di seluruh dunia. Dan jadilah semua berteriak penuh semangat mengamini tiga nomor ganas yang dibawakan berturut-turut. WWS, Comatose, dan Life Wasted!
Sesi berikutnya untuk Reza...
Bagaimana tidak? Separuh dari No Code, album favoritnya, dimainkan oleh Silentium, yang baru saja menjadi salah satu musisi pengisi album OST Sang Pemimpi. Sungguh tak sia-sia dia datang bersama teman aktivis lingkungannya yang ternyata adalah jamily berkebangsaan Jerman, Rene.
No Code, bagi kita semua, adalah sebuah saringan. Itu adalah album yang memisahkan jamily korban media, yang menyukai Pearl Jam semata karena ledakan hype grunge yang digembar-gemborkan seluruh media massa di dunia, dengan jamily sejati yang mencintai Pearl Jam karena karya-karya orisinil mereka, tak peduli betapa pun anehnya karya-karya itu terdengar di telinga.
Dan malam itu terbukti bahwa jamily sejatilah yang berada di bibir panggung, karena dengan fasih mereka semua ikut menyanyikan Who You Are dan juga Off He Goes, yang mungkin bahkan tidak pernah diulas di media massa lokal kita.
Respito, yang baru saja meluncurkan album berjudul Jalan Menuju Surga, akhirnya benar-benar mengirim kami semua ke surga. Moshing dan crowd surfing benar-benar menggila selama mereka memainkan nomor-nomor legendaris dari album Vitalogy.
Spin The Black Circle dan Not For You disambut beringas. Pheps menjadi yang pertama kali terjun bebas dari panggung ke audiens. Dan, seolah belum cukup, dia melakukannya berkali-kali!
Corduroy, yang dimainkan setelah Betterman serta Immortality yang dipoles dengan aransemen tambahan bernuansa magis di bagian akhir lagu, mengirim kami semua ke puncak kegilaan.
Tubuh-tubuh bersimbah keringat berbenturan. Tubuh-tubuh yang jiwanya sedang terbang bergembira, benar-benar terbang di atas kepala! Dan, yah, akhirnya, saya mendapat oleh-oleh lagi, berupa ciuman maut sebuah sikut di rahang kanan, seperti dalam perhelatan Acoustology tempo hari.
Alien Sick, yang kali ini kembali diperkuat Nito, seperti dalam perhelatan di The Rock, Jakarta tempo hari, melanjutkan kebakaran panggung. Yield, yang jelas bukan barang baru bagi mereka, digeber tanpa ampun.
Brain of J menghentak cepat. Jessy pasti senang menyanyikan lagu ini, karena bagi dia, seperti celetukannya di panggung, Brain of J adalah kependekan dari Brain of Jessy. Bah!
Kemudian, seolah memberi waktu bagi kami semua untuk bernafas, Faithful, No Way, dan All Those Yesterday meluncur mulus.
Do The Evolution menghantam dan waktu istirahat pun usai!
Audiens kembali terjun ke moshing pit yang semakin panas. Semua larut bersama Alien Sick dalam pesta rock ini. Semua mengerahkan energi yang ada hingga akhirnya sesi itu ditutup dengan koor dan rentangan tangan ke udara yang kompak luar biasa dalam Given to Fly.
Setelah Vitalogy dan Yield, mengingat malam sudah usai dan hari telah berganti, serta tenaga yang sudah terkuras, sejujurnya saya meragukan apakah moshing pit masih bisa lebih panas lagi.
Namun kenyataan bicara lain. Perfect Ten, yang malam itu diperkuat Pronky di divisi bass menggantikan Ino yang sedang sakit, memang membawa pesona tuah angka sepuluh bersamanya.
Setelah mencumbu habis-habisan Deny Suteja, jamily gila asal Bandung yang pertama kali saya kenal saat di membawa serta istrinya yang tengah hamil besar ke Acoustology, dengan Just Breathe, Perfect Ten langsung membakar dengan Gonna See My Friend serta The Fixer.
Bagaikan api yang menyambar bensin, begitulah mereka menyambar jiwa kami.
Melupakan sejenak ayahandanya yang sedang dalam pemulihan setelah beberapa hari lalu terkena serangan jantung, Hasley yang, seperti biasa, pecicilan minta ampun, memandu paduan suara bertegangan tinggi ini sebelum akhirnya terbakar oleh api yang disulutnya sendiri dan terjun bebas ke pelukan kami!
Nito, Irsya, Pronky, dan Arie, tak perlu ditanya! Meski tak terlihat ugal-ugalan, kecuali Nito yang beberapa kali maju ke depan, memainkan gitar di punggung, dan mencoba crowd surfing yang (untungnya) tidak berhasil, dalam hatinya mereka pasti sedang terbang ke angkasa!
Tempo turun, meski hanya sejenak, ketika Dedot menggantikan Hasley membawakan Unthought Known. Si vokalis satu ini pun sesungguhnya sedang gundah karena ibundanya masih dalam perawatan karena kanker.
Bagi kalian berdua, Hasley dan Dedot, juga Ino, saya do’akan semoga semua segera membaik.
Puncak kegilaan saya malam itu tercapai ketika sayatan gitar maut Nito bercumbu dengan gemuruh drum Irsya yang menderu. Got Some! Dan jadilah itu pengiring crowd surfing saya yang paling lama, dan paling sukses, sejauh karir saya bersama komunitas gila ini, hahaha!
Unke dari Bittertone menggantikan Pronky menutup sesi Perfect Ten dengan Supersonic. Nomor dinamis yang sadis dari Backspacer, yang membuat kami jatuh hati pada Bittertone dalam perhelatan Backspacer Listening Party beberapa bulan lalu.
Walau sudah setengah mampus, saya selalu punya energi untuk Versus.
Cupumanik, yang dini hari itu menggunakan satu gitaris tambahan bernuansa metal untuk mengisi posisi Rama, menyapa dengan Glorified G. Berturut-turut kemudian Rearviewmirror dan Rats, yang tentu saja kami lahap dengan buas!
Moshing dan crowd surfing terus berlanjut, dengan Che sebagai salah satu pelakunya.
Setelah mereda sejenak dalam Daughter, mendengarkan ceramah dini hari Che soal proyek dokumentasi Grunge Indonesia yang tengah digarapnya bersama Eko HC dan Joshua dari RSI, kebakaran panggung berlanjut hingga sesi itu selesai.
Alone, SOLAT, Animal, dan Go menderu tanpa henti!
Selama nyaris dua puluh menit penuh moshing pit terus bergejolak. Para pelaku crowd surfing seperti menemukan sanctuary-nya. Menemukan tempat suci untuk terus-menerus terbang di atas kepala. Dan Che, seperti tak mau rugi, berkali-kali terjun bebas dan menikmati pesta ini.
Setelah versus, setelah semua keliaran itu, rasanya nyaman sekali bersandar di sudut Score yang gelap, menyesap bir dingin untuk meredakan panas di kepala dan dada, sembari menggumamkan Wasted Reprise yang diganti sedikit liriknya. “I have faced it... A life tasted... I would love to take a bite again...”
Dan tepat seperti itulah yang saya lakukan ketika Junkhead menutup perayaan ini.
Saya duduk manis saja mengamati mereka memainkan Why Go, Evenflow, Alive, Black, dan Jeremy dengan tiga gitar. Menikmati paduan suara dari audiens yang seolah tak pernah kehabisan energi, yang masih memadati bibir panggung sesaat menjelang jam tiga pagi, meluapkan kenangan akan cinta mereka semua pada sebuah karya yang luar biasa bermakna, Ten.
Mengawali malam di bibir panggung, saya berniat mengakhirinya juga disana. Maka Porch dan Release, yang merupakan dua nomor penghabisan dari Junkhead, saya nikmati dari bibir panggung, bersama jamily lainnya yang sudah lelah, mandi keringat, namun luar biasa sumringah.
Ya Tuhan! Sudah nyaris dua ribu kata dan sebentar lagi jam dua. Saatnya saya, dan Anda semua merebahkan diri, mengumpulkan energi untuk esok hari.
Namun sebelum kita semua terlelap, ijinkan saya mengingatkan Anda, bahwa malam itu, apa yang kita alami di resto Tiga Cemara dan Score adalah cinta. Dan percayalah, bukan kebencian, melainkan cinta, yang akan membawa kita kembali pada kejayaan grunge Indonesia, seandainya itu benar-benar penting bagi Anda...