[caption id="attachment_105475" align="aligncenter" width="300" caption="Stone Temple Pilots"][/caption] “Mandilah, ‘kan kureguk air yang kau tinggalkan... Jika engkau terpaksa mati lebih dulu, tanyakan apakah boleh membawa teman...” Dan yakinlah saya bahwa bukan hanya keringat yang tumpah di Arena PRJ pada Minggu, 13 Maret 2011 malam yang lalu, melainkan juga air mata bahagia. Kita, generasi ‘90s, adalah kelompok kecil yang tersingkir, yang lekat dengan pesona kesedihan. Lagu STP mana yang terdengar sedih, namun pada saat yang sama juga sangat membius, jika bukan Still Remains? Seolah itu semua belum cukup, lagu yang luar biasa menyayat itu dilanjutkan dengan... Big Empty! Jadilah ini separuh pagelaran yang benar-benar menguras emosi, setelah sebelumnya meluncur dengan sempurna Crackerman, Wicked Garden, Vasoline, Heaven & Hot Rods, Between The Lines, dan Hickory Dichotomy. Stone Temple Pilots jelas sudah melewati puncak kejayaannya. Ini bisa dilihat dari konsernya di Jakarta kali ini yang tidak sold out. Sekitar tiga ribuan penggemarnya yang malam itu bernyanyi dan menggoyangkan tubuh dengan bersemangat dibawah rintik hujan yang sesekali terbawa angin pun bisa dibilang sudah cukup berumur. Tapi mereka jelas belum kehilangan kemampuan sihirnya. Robert DeLeo dengan lentur dan ceria memainkan basnya, sementara Erick Kertz menghantam drum seperti kereta api. Dinamis, akurat, dan sangat bertenaga. Dean DeLeo, jangan ditanya. Tak kurang dari 7 gitar yang dia gunakan malam itu. Semuanya mengeluarkan suara yang luar biasa indah. Kadang menderu, sesekali mendayu. Satu ketika menyayat sedih, kali lain menghantam seperi halilintar. Perpaduan bunyi yang dimainkannya dengan tata lampu panggung kerap menimbulkan nuansa psikadelik yang dalam dan menghantui. Saya berlebihan ya? Mungkin malam itu saya sedikit mabuk... Dan Scott Weiland, si bengal yang sepertinya sudah menerima berkah ketenangan usia senja, masih sangat bisa diandalkan. Tariannya mungkin tidak selentur dulu. Perutnya juga sudah terlihat mulai membuncit. Namun suara dan pesona pribadinya sebagai ujung tombak sebuah band legendaris sekelas STP, sungguh masih bisa diandalkan! Dancing Days milik Led Zeppelin meluncur. Berurutan disusul oleh Silvergun Superman, Plush, Interstate Love Song, Huckleberry Crumble, Down, dan Sex Type Thing. Plush dan Interstate Love Song, dua lagu STP yang mungkin paling terkenal di dunia, yang video YouTube-nya masing-masing sudah ditonton lebih dari sejuta kali, tak pelak menjadi sesi paling heboh. Paling bergemuruh! Semua bernyanyi. Semua melompat dan mengacungkan tangan. Semua terlempar kembali ke masa lalu. Ke masa remaja yang gila dan menyenangkan. Ke masa ketika Scott Weiland adalah salah satu manusia paling keren sedunia, disamping Kurt Cobain, Eddie Vedder, Layne Staley, dan Chris Cornell. Encore, yang tanpa sesi jeda dan teriakan klise “We want more!”, berisi Dead & Bloated serta Trippin’ on A Hole in A Paper Heart. 17 lagu dan itulah Stone Temple Pilots. Menghantam Jakarta dengan formasi legendaris lengkap, dengan bonus kerutan wajah dan lemak di sekitar pinggang. Di usia senjanya, mereka menyelamatkan kita semua, laskar ‘90s Indonesia, dari derita mati penasaran. Biarlah kita semua hanya bisa gigit jari karena selamanya takkan pernah bisa melihat kehebatan formasi legendaris Nirvana dan Alice in Chains dengan mata kepala sendiri. Setidaknya kita sudah melihat Stone Temple Pilots. Dan masih boleh berharap pada Pearl Jam dan Soundgarden. Ambil satu lagu, tahan nafasmu, dan berdo’alah...
KEMBALI KE ARTIKEL