Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Musik 2010: JRL 2010 Hari Kedua - You Made Me Feel Like The One!

30 April 2011   23:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12 56 0
Sabtu, 9 oktober 2010, hari ke-2 Java Rockingland (JRL), kami semua terlambat bangun. Amarula, Dry Gin, Balimoon, Kahlua, dan Chivas Regal tak mampu mengibaskan mimpi buruk yang ditinggalkan Smashing Pumpkins tadi malam. Sungguh terlalu!

Berkat agenda makan sore di warung padang, jadual nonton pun diundur. Padahal siangnya Icha sudah datang membawa spaghetti buatannya untuk kami makan. Tak sampai tiga jam setelahnya, semua mendarat di hadapan rendang, kikil, sayur daun singkong, dan ayam pop. Ini wisata rock apa kuliner sih?

Menjelang magrib, gerimis masih terus turun. Angin dingin sesekali bertiup kencang. Langit gelap. Sepertinya cuaca hari ini akan sama seperti kemarin. Apakah sajian musiknya juga akan sama?

Ketika tiba di gerbang masuk JRL, Boomerang dan Roxx sudah selesai tampil. Saya sudah lihat Roxx tahun lalu dan tidak terlalu tertarik dengan Boomerang. Adalah Ikhwan yang cukup kesal, karena dari pagi sudah cuap-cuap berniat untuk menonton mereka. Nasibmu, Le!

Ribuan audiens yang sedari tadi sudah bertualang di tanah rock n’ roll Ancol tampak bergegas mencari makan malam. Kebab, hot dog, sushi, mie ayam, nasi rames, burger, bakso, dan segala macam jenis booth makanan lainnya diserbu.

Jumlah dan jenis makanan, juga minuman, yang tersedia adalah salah satu keunggulan JRL 2010 dibanding tahun sebelumnya. Tidak ada lagi antrian makan. Tidak perlu ada rebutan menu. Semua bisa memilih, membeli, dan menikmati makanan kegemarannya dengan santai. Sungguh itu sangat manusiawi. Bukankah rocker (dan penikmatnya) juga manusia, yang butuh makan dengan tenang dan penuh rasa syukur? Halah!

Seperti tahun sebelumnya, Sabtu malam sepertinya akan jadi puncak kunjungan audiens ke JRL.

Belum lagi jam tujuh dan semua arena sudah terasa sesak. Sepuluh panggung, dengan 4 diantaranya berukuran raksasa, seolah tak mampu menampung semangat dan kegembiraan belasan ribu peziarah rock n’ roll yang seperti kesetanan berusaha melupakan smack down keji Smashing Pumpkins semalam.

Tunggu saja sampai ada satu performer utama yang meledak, dan Billy, kami akan melupakan dirimu semudah kami lupa menaruh tisu bekas ingus!

Saya sempat menyaksikan 4 lagu Slank dibawakan di panggung utama yang dipadati ribuan audiens. Sebagian diantaranya adalah slankers yang kabarnya dapat jatah masuk gratis dari panitia Java Rockingland. Eh?

Sejujurnya, saya sudah tidak berminat pada Slank sejak Pay keluar. Malam itu pun mereka bukanlah yang terbaik.

Seringkali saya merasa heran, betapa seringnya mereka jadi cover majalah Rolling Stone Indonesia. Padahal rasanya tak kurang dari satu dekade lamanya saya tidak mendengar satu pun hits nasional baru dari musisi berbasis komunitas paling kuat setelah Iwan Fals tersebut.

Yah, itu kan saya. Anda mungkin punya opini berbeda.

Bersama Icha, saya meninggalkan panggung utama dan bergeser ke samping, menghampiri panggung Langit Musik yang saat itu juga sudah dipadati ribuan audiens.

Di panggung utama Slank masih memainkan lagu terakhir, dengan lirik yang terdengar seperti “krisis air... krisis air...”, yang beberapa menit molor dari jadual. Di sini, di bagian terdepan panggung Langit Musik, ratusan audiens berteriak keras: “The S.I.G.I.T! The S.I.G.I.T! The S.I.G.I.T!” sembari mengacungkan kepalan tangan ke udara.

Aduh, bakal rusuh deh!

Gerimis dan angin dingin tak lagi terasa. Udara panas dan ketegangan memuncak. Personil The S.I.G.I.T yang sudah siap di panggung terpaksa menanti dalam gelap. Menunggu Slank menyelesaikan lagu terakhirnya...

Lampu panggung utama dimatikan dan The S.I.G.I.T langsung menghantam dengan riff-riff gitar yang seolah berasal dari masa lampau. Terlalu berlebihan jika disebut seperti Led Zeppelin, namun demikianlah warna lagu-lagu mereka malam itu.

Selesai memberi salam dengan hantaman musik kualitas unggul, Rekti sang vokalis yang berpostur jangkung, dengan rambut panjang, topi tukang sihir, dan kostum serba hitam, menyapa audiens dengan gaya Sunda yang khas. “Hey Brader! Kumaha, damang?”

Gerrr... Jadilah kami semua nyengir kuda. Ketegangan sirna. Udara sejuk kembali terasa.

Selanjutnya mereka menggempur tanpa ampun dengan berbagai nomor keren dan jurus-jurus maut, mulai dari bintang tamu yang meniupkan hatinya melalui harmonika, crowd surfing kecil-kecilan, hingga aksi menggasak gitar dengan bow biola. Ahay! Apakah tadi saya sudah sempat menyebut Led Zeppelin?

Satu jam bersama The S.I.G.I.T, seperti jam-jam menyenangkan lainnya, terasa demikian singkat. Lampu panggung dimatikan dan semua bergegas ke panggung utama.

Saya sih tidak terlalu bersemangat. Berjalan gontai, setengah menyeret diri, saya membaur bersama ribuan ABG wangi dan berisik yang sangat bersemangat berebutan tempat di bagian depan panggung utama.

Lima puluh meter dari bibir panggung rasanya sudah terlalu dekat. Tiga lagu rasanya sudah terlalu banyak. Akhirnya, dengan sangat bersemangat, saya meninggalkan Dashboard Confessional dan segala kegalauannya, memilih berkeliling menikmati Sabtu malam yang dingin bersama kekasih tercinta, melihat keceriaan di penjuru festival rock terbesar di Asia Tenggara.

Langkah kaki terhenti di panggung Free Your Stage. Dua ratusan orang bergejolak dalam moshing, crowd surfing, dan teriakan perang. Beside membahana di atas panggung dan semua seperti kesetanan. Hohoho, another “not for me” kind of rock music.

Dua lagu dan saya memutuskan untuk istirahat. Mecari tempat untuk duduk dengan nyaman. Mengumpulkan tenaga untuk menyaksikan menu utama. Stereophonics.

Namun sebelum mereka masih ada Arkarna di panggung Langit Musik. Yah, lagi-lagi bukan minat utama saya. Tak mengapa. Saya senang kok menyaksikan ribuan orang begitu antusias menonton Arkarna yang kabarnya sedang mempersiapkan album terbaru.

Mereka sepertinya juga sangat senang bisa bermain dihadapan ribuan penggemarnya di JRL kali ini. Itu terlihat dari setlist yang panjang dan seringnya mereka membacot di panggung. Meski demikian, saya ragu audiens mampu sepenuhnya memahami apa yang disampaikan, mengingat gaya bicaranya yang menggunakan logat Inggris dengan efek rahang jatuh dan nuansa kumur-kumur.

Empat puluh menit menjelang pukul sebelas dan kami semua sudah berkumpul di deretan depan panggung utama, terpisah delapan baris saja dari bibir panggung.

Saya, Icha, Dhia, Dani, Ikhwan, Reza, Farry, dan Boy merapatkan barisan. Menyatukan harapan akan sebuah sajian memuaskan, diantara himpitan belasan ribu audiens lainnya yang sepertinya berusia lebih muda.

Di panggung Langit Musik Arkarna masih bermain. Dan kami semua, yang saat itu sudah rapi menghadap panggung utama yang gelap gulita, terpaksa berbalik punggung dan ikut bernyanyi sambil tertawa malu ketika So Little Time mengalun. Ahay!

Arkarna mati. Lampu panggung disana mati. Kami serentak berbalik ke arah yang benar. Kembali menghadap ke panggung utama.

Keheningan hanya berlangsung sekejap. Ketika siluet Kelly Jones berkelebat dari pintu masuk artis, mengambil gitar, dan langsung berdiri di tengah panggung, teriakan mengelu-elukan kontan menggelegar!

Teriakan parau kami membahana ke seluruh penjuru. Menyuarakan harapan dari belasan ribu pecinta rock yang hadir saat itu, agar keempat pria ganteng dari Wales nun jauh di Utara itu dapat menyelamatkan kami. Membawa kami semua terbang selama satu jam, dalam gegap gempita pesta rock Indonesia!

Bank Holiday Monday, A Thousand Trees, More Life in A Tramp Vest, dan She’s Alright mengalir deras tanpa banyak perkenalan. Dari empat nomor pembuka itu, lagu ketigalah yang saya kenali. Sisanya, tidak masuk dalam kursus singkat “Stereophonics for Idiots” yang saya ambil sebulan lalu.

Tak kenal maka tak sayang? Pepatah ini, betapapun banyak kebenaran yang terkandung didalamnya, tidaklah relevan bagi Stereophonics malam itu.

Kualitas vokal kelas satu, permainan musik yang sangat mumpuni, serta tata suara yang demikian sempurna membuat saya, dan juga semua yang hadir, larut dalam gemuruh rock yang sangat menyenangkan.

Tak salah jika Wikipedia, tempat saya mengais informasi mengenai sejarah musik mereka, menyebut Stereophonics sebagai “band rock klasik Inggris dengan suara vokal bernuansa whiskey”. Vokal Kelly Jones, yang malam itu tampil rapi dengan kemeja panjang dan berdandan layaknya akan mengencani anak gadis tetangga, sungguh terdengar seksi dan penuh tenaga.

Reza, yang dapat dikategorikan sebagai spesies die hard fans Pearl Jam paling militan di dunia, berbisik sambil cengengesan pada saya. “Kalo mereka maennya kayak gini, Pearl Jam dalam bahaya nih!”

Bayangkan jika suara yang serak dan seksi itu berbisik di telinga anak gadis belasan tahun, menghembuskan kata cinta dan janji-janji surga. Sementara hela nafasnya, yang mungkin sedikit berbau whiskey, menggelitik tengkuk dan kulit putih nan tak berdosa. Aih, sebaiknya saya tidak berencana punya anak gadis!

Lagu kelima dan saya sudah melupakan Billy si vampire gila. Supermaaannn!!!

Dari sana, pesta rock ini benar-benar mengangkasa. Tak satu pun lagu berlalu tanpa teriakan kami bersama. Bernyanyi sekerasnya, melompat tinggi-tinggi, menghentakkan kaki seolah ingin menjebol tanah tempat kami berdiri, tak peduli orang di sebelah merasa keki dan memaki.

Dunia milik saya, situ cuma nyewa!

Mr. Writer, Have a Nice Day, Just Looking, Local Boy on Photograph, dan Maybe Tomorrow semakin menghanyutkan. Nomor yang paling belakangan, dibawakan live dengan sangat memuaskan, sungguh memabukkan. “Oh, maybeee tomorrowww... I’ll find my wayyy... Hooomeee...”

Faktanya, kalimat beracun itu baru lenyap dari kepala ketika keesokan harinya Wolfmother menghantam dengan bait lain yang tak kalah mematikan: “... Into another dimension!”

Di tengah pertunjukan, karena berbadan mungil sehingga lebih sering menonton ketek audiens lainnya dibanding menikmati pesona Kelly Jones, Boy menerobos ke depan. Sejenak dia menghilang, sebelum kemudian mendadak menjulang diantara kepala penonton dan menari-nari seperti orang kesurupan!

Lha, Boy, ngapain lo???

Ternyata seorang bule, yang kemungkinan berasal dari Wales, mengira Boy anak kecil yang nyasar dan mengangkatnya supaya tidak terinjak-injak. Seandainya Boy tidak takut jatuh, tentu si bule berbadan besar itu dengan senang hati membiarkan Boy nangkring di pundaknya hingga pertunjukan berakhir. Orang Wales memang baik!

Dan menyempurnakan kebaikan itu, Stereophonics memberi kami encore. Bukan hanya satu, tapi dua!

Jadilah Bartender and Thief serta Dakota menjadi kembang api penutup pesta yang meledakkan kami ke langit bahagia. Bersama belasan ribu lainnya kami meneriakkan: “Yeaaahhh... You made me feel like the one... Made me feel like the oneee...!!! The Oneee...!!!”

Ah, betapa melegakan...

Koor belasan ribu orang malam ini, meneriakkan hits terbesar Stereophonics, seolah menjadi mantra yang menghapus wajah dingin Billy, si vampire plontos yang menghantui kami sejak kemarin.

Seperti sihir pawang hujan asal Depok yang terbukti ampuh mengusir butiran air dari langit Ancol, pesona empat pria Wales baik hati berbendera Stereophonics tersebut sungguh ampuh menerbangkan kami semua ke langit gempita pesta rock kelas dunia!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun