Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Musik 2009: The Biggest Wave Ever!

30 April 2011   17:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13 57 0
Lituya Bay, pantai selatan Alaska, 1958. Sebuah gempa berkekuatan 8,3 skala Richter merobohkan sekitar 36 juta meter kubik es ke laut dan menghasilkan ombak setinggi 573 meter yang menyapu habis seluruh kehidupan di pantai yang beku dan sunyi tersebut. Itulah ombak terbesar yang pernah dicatat oleh sejarah modern umat manusia.

The Rock, Kemang, 23 Desember 2009. Sepasukan maniak Pearl Jam beranggotakan Perfect Ten, Alien Sick, Febie dan Afit Bittertone, Rony, Che Cupumanik, Edwin Cokelat, Ipang BIP, Tony dan Nial Bunga, Giri, Irang ex-BIP, Romy Sophiaan, serta Amar Besok Bubar memuntahkan 47 lagu tanpa henti, menghasilkan kegilaan luar biasa selama 4 jam penuh di seantero kafe yang saat itu dipenuhi oleh sekitar 300 pengunjung. Itulah pertunjukan paling gila, paling rusuh, paling menguras energi, dan paling memuaskan dalam sejarah PJId.

Seperti yang dikhawatirkan Purnomo, yang malam itu sudah tidur nyenyak di kampungnya, Solo, acara di The Rock molor dari jadual. Baru menjelang jam sebelas malam panggung terisi. Audiens sudah ramai sekali. Ruangan beratap rendah yang dipenuhi tiang serta poster ikon rock dunia, kecuali Pearl Jam (what the F!), itu sudah terasa pengap. Padahal lagu pertama belum lagi bergulir.

Ketika akhirnya lagu pertama, Long Road, berkumandang, sejujurnya, saya merasakan nuansa canggung dalam diri Perfect Ten. Tidak mengherankan. Tekanan pada mereka, terutama pada Hasley yang malam itu, seperti biasa, menampilkan citra Eddie muda, cukup besar.

Bagaimana tidak besar? Di sisi kanan, menghadap panggung, duduk manis Gusti dan Joshua Stigmata, Che Cupumanik, Edwin Cokelat, dan Ipang BIP, yang semuanya merupakan maniak Pearl Jam. Di belakang, dalam gelapnya bayang-bayang tiang yang bertebaran, ada Jessy Alien Sick, Tony Bunga, Giri, Irang ex-BIP, dan Anji Drive.

Tentu tidak mudah bagi Hasley dan Dedot untuk bernyanyi layaknya Eddie, ditengah kepungan aura para musisi, terutama vokalis, yang notabene punya pemahaman dan kedekatan psikologis mendalam terhadap Eddie.

Bagaimanapun, Perfect Ten memang terlahir dibawah naungan tuah angka sepuluh!

Entah bagaimana ceritanya, suasana canggung mendadak lenyap, berganti semangat dan antusiasme luar biasa di lagu ke sepuluh, Given to Fly. Mungkin audiens akhirnya mengamini bahwa ini malamnya Pearl Jam, setelah mereka lelah menerka-nerka deretan lagu dari Versus, Vitalogy, No Code, Yield, dan Backspacer yang sebelumnya dibawakan. Jadilah Given to Fly sebagai koor sempurna pertama malam itu, setelah sebelumnya hanya PJId saja yang jejeritan seperti gerombolan orang gila di sembilan lagu pertama.

Setelah itu, Hasley melantunkan Hail, Hail untuk istrinya tercinta. Ngomong-ngomong, malam itu lagu ini ditujukan untuk istrinya yang mana ya?

Do The Evolution meresmikan semua kegilaan malam itu. Arie dan Ino, yang terpaksa berpisah karena kehadiran Nito diantara mereka, seolah mendapat energi tambahan. Audiens juga tidak tanggung-tanggung ber-moshing ria sepanjang lagu ini. Tabrak kiri, hantam kanan. Dorong depan, injak belakang. Koor super kompak berlangsung di bagian: “Admire me... Admire my home... Admire my son... He’s my clone!”

Dan semua mengangkat kepala serta kedua tangan layaknya dalam sebuah upacara aliran pemuja setan ketika meneriakkan: “Hall... E... Lu... Jaaahhh...!” Tolong ya, kalian ini sebenarnya anak PJId apa anak setan?

Kemudian meluncurlah tiga nomor yang sungguh terasa sebagai hadiah natal dari Eddie, yang malam itu berulang tahun untuk ke-45 kalinya.

Last Exit, Whipping, dan Satan’s Bed! Dimana lagi akan kita cari lagu-lagu seperti ini, jika bukan disini? Di kumpulan anjing hilang yang tak henti melolongkan panggilan pada saudara-saudaranya yang tercecer entah dimana.

Che, yang saat ini sedang berjuang membuktikan bahwa musik tidak butuh embel-embel senioritas dan pengkotakan, naik ke panggung membawakan State of Love and Trust. Dia kemudian ditemani rekannya dari Konspirasi, sang gitaris, Edwin Cokelat. Jadilah keduanya berasyik-masyuk memainkan Go, yang tentu saja disambut audiens dengan beringas!

Berikutnya Irang ex-BIP melantunkan I Am Mine dan Jeremy, menambah panjang masa rehat bagi Hasley dan Dedot yang mulai meleleh dalam balutan keringat. Dan, seperti biasa, jari tengah teracung massal pada bait: “... Seemed a harmless, little F!”

Setelah sebelumnya kabur entah kemana, mengabaikan panggilan untuk naik ke panggung di kali pertama, akhirnya Ipang bersedia menyumbangkan suara yang membuat dirinya dinobatkan sebagai Eddie-nya Indonesia sejak lama. Bersama Che dan Edwin dia membawakan anthem kehidupan yang legendaris, Alive!

Di penghujung lagu, ketika Edwin memainkan solo terakhirnya malam itu, sementara penonton tak henti meneriakkan “Yeah! Yeah! Yeah!” sembari mengacungkan tinju ke udara, Che dan Ipang menggabungkan diri dalam satu pijakan. Ketiganya berdiri berdesakan di satu tempat, yang sebenarnya hanya muat untuk satu orang performer saja. Bersama, mereka meneriakkan semangat kehidupan melalui pita suara dan senar gitar.

Inilah, saudaraku, bukti bahwa Pearl Jam, dan semua nuansa musik yang diwakilinya, masih hidup. Mengalir kencang dalam pembuluh darah, meski terkubur jauh di dalam daging, di bawah permukaan main stream yang kini keriput dan semakin tidak menarik.

Ah, andai saja Ipang punya waktu lebih lama dan berkesempatan membawakan lagu favoritnya, Glorified G...

Separuh perjalanan dan Alien Sick pun merapat. In My Tree, Tremor Christ, dan No Way mengalir tanpa halangan. Bagi Jessy, yang punya rentang suara luar biasa, ketiga lagu itu hanyalah cemilan pembuka. Hunger Strike porsi Cornell, barulah dia berdiri tegak dan konsentrasi penuh!

Tony Bunga meredakan suasana dengan Eldery Woman. Demikian dalam dia menghayati lagu ini, membawa audiens larut dalam emosi yang sama ketika meneriakkan: “I just want to scream... Hello!” Selamat datang, lost dogs...

Setelah sedikit memanaskan mosh-pit dengan Rearviewmirror bersama Giri dan Romy Sophiaan, Tony kembali menyejukkan The Rock dengan Yellow Ledbetter dan Daughter. Sepertinya dia, juga Giri, memang cenderung mengeksplorasi kedalaman emosi Eddie, dibanding kegeraman, kemarahan, dan ledakan energi seperti yang kerap ditampilkan Che maupun Hasley.

Alkohol, performer yang sangat berbakat sekaligus gila, serta energi audiens yang luar biasa liar, menerbangkan saya ke level berikutnya dari sebuah pertunjukan rock. Dalam Got Some, diiringi pukulan drum Irsya yang menggulung laksana gelombang, diantara sayatan gitar Nito yang menyambar bagai petir ditengah badai, dibungkus vokal Hasley menuturkan lirik yang berkejaran seperti air hujan, saya ber-crowd surfing!

Tidak lama, hanya sekitar 5 detik. Selanjutnya saya dicampakkan seperti seonggok sampah ke bibir panggung. Yah, saya sadar sepenuhnya bahwa tangan-tangan rapuh mereka tak akan mampu menahan pesona saya, karena saya memang orang yang berbobot, hahaha!

Setelah sebelumnya Amar Besok Bubar, dengan rambutnya yang luar biasa bernuansa Soundgarden itu, naik panggung dan menghajar audiens dengan Animal, Febie dan Afit dari Bittertone menyumbangkan bakat mereka, kembali bersama Giri, di Black. Dan koor patah hati pun menggemuruh.

Entah kenapa, setiap kali mendengarkan Black dinyanyikan secara massal seperti ini, alih-alih sedih, saya malah jadi semangat. Hidup yang berat, jika dijalani dengan sebuah keikhlasan, memang akan terasa lebih nyaman. Irsya, relakanlah Tamara, kamu sudah punya Ayu.

Kolaborasi Bittertone dan Perfect Ten berlanjut hingga akhirnya Che naik panggung untuk kedua kalinya, menyanyikan Betterman dan Alone.

Sebelumnya, ketika berbincang dengan saya, Che menyampaikan bahwa dirinya memang sangat ingin membawakan Alone malam itu. Niatnya kesampaian. Justru hasrat saya, yang ingin melihat dia kembali berduet dengan Nito membawakan Ocean, pupus ditelan asap rokok yang semakin menyesaki The Rock.

Namun hasrat tak kesampaian itu terbayar lunas menyaksikan penampilan Nito selanjutnya. Dengan slide melekat di kelingking kiri, dia menyayat gitarnya, meniupkan dengung seribu nyamuk pembawa petaka. Red Mosquito!

Kami semua sudah melampaui batas waktu pertunjukan normal, dan mulai lelah serta mabuk berat, ketika Dhia dengan gagah berani menggantikan Dedot, menyanyikan Spin The Black Circle.

Kejutan berlanjut ketika Reza, yang memanjat tiang panggung outdoor di ICE tempo hari, menggantikan Irsya menggebuk drum di nomor Smile (ternyata Deppy yang main drum - saat itu saya duduk jauh di belakang dan melihat Reza naik panggung, jadi berasumsi dialah yang gebuk drum - my bad!). Irsya sendiri, seolah tak ingin kalah mengagetkan, dengan paksa memonopoli mic dan mengirim Hasley serta Dedot ke bangku cadangan.

Saya teringat akan Irul, si pembuat poster tak resmi acara ini, yang mendapat lebih dari 700 komentar, penting maupun tidak. Mungkin dia sedang menitikkan air mata darah, di kamarnya yang temaram, di Lamongan, ketika Irsya meneriakkan chorus dari Smile sembari tertawa lebar... Piss man!

Kegembiraan dan kegilaan malam itu akhirnya ditutup dengan Leaving Here, beberapa saat sebelum jam dua pagi. Tinggallah kami semua terkapar kelelahan. Bersimbah peluh dan kehabisan tenaga, terserak di bangku dan meja yang penuh sampah makanan serta minuman. Kembali ke pantai kenyataan setelah 4 jam penuh menunggangi ombak terbesar tahun ini.

Sahabatku para lost dogs, sampai jumpa tahun depan. Semoga kita diberi kesempatan untuk sekali lagi menikmati kegilaan seperti malam ini. Keep on rocking in the free world!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun