Dan semalam, Carburator Springs di bilangan Veteran menjadi saksi sebuah perlawanan. Perlawanan yang boleh dibilang nekat, dari ratusan orang yang merindukan kembalinya sebuah genre musik yang tenggelam bersama kematian para dewanya. Grunge.
Ratusan orang adalah upil menjijikkan dihadapan jutaan audiens musik negeri ini. Sama sekali tidak signifikan. Namun demikian, riak yang terjadi malam itu laksana sebuah simbol. Simbol pergerakan arus bawah, yang sepanjang sejarah terbukti selalu menghentak dan mengejutkan. Dan layaknya simbol, yang dipuja sepenuh hati oleh Dan Brown dalam buku-buku kontroversialnya, ia tak akan pernah mati. Selamanya.
Setengah sepuluh malam. Sidharta, band asal Semarang, menghentak panggung dengan lagu-lagu karya mereka sendiri dan sebuah cover milik The Doors, Break On Through (To The Other Side).
Di sudut-sudut yang gelap, dimana kaum kucel (meminjam istilah Che) duduk dengan nyaman, bisikan mengeras menjadi permintaan yang mendesak: Navicula! Navicula! Navicula!
Grunge Fair, yang merupakan kali pertama, ini dimulai sejak siang hari. Berbagai band dari berbagai wilayah tampil silih berganti. Ada Sidharta dari Semarang, Mushafear dari Sukabumi, Revenge The Painful, Bolong, Alien Sick, dan Besok Bubar dari Jakarta, Zu dari Bandung, Navicula dari pulau dewata, Bali, dan masih banyak lagi. Entah berapa banyak, dan berapa bagus, saya tidak tahu. Yang saya tahu ini adalah pertunjukan yang saya nanti. Sisanya, lihat nanti!
Untuk satu hari penuh, Carburator Springs, yang sejatinya adalah wilayah kekuasaan anak-anak moge, dijajah oleh kaum kucel. Tua, muda, pria, wanita, keren, kumal, jelek, ganteng, cantik, seksi, semua tumpah jadi satu.
Mereka duduk di sudut-sudut temaram. Tertawa bersama sahabat lama dan baru. Menikmati penampilan band favorit mereka. Dan, tentu saja, berfoto layaknya orang gila, menyalurkan semangat narsis yang memang kian hari kian menjadi.
Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, Sukabumi, Bandung, Purwokerto, Semarang, Malang, dan Bali adalah tempat mereka berasal.
Tidak semua punya cukup uang, memang. Juga tidak semua punya tempat bermalam yang nyaman. Namun hari itu terlalu indah untuk diisi gerutu dan keluh kesah. Semua tertawa dalam bahagia. Karena, sebagaimana dinyanyikan oleh Robi sebagai penutup malam itu, menyadur tembang Iwan Fals yang dimainkan dalam warna grunge, “Hey, sahabat yang terbuang... Engkau sahabatku... Tetap sahabatku...”
Hari ini adalah harinya kaum kucel. Penikmat musik yang terbuang dari peta industri. Tergusur oleh roda jaman yang memang selalu berganti arah. Luluh lantak digilas keinginan korporasi yang kian tak punya nurani.
Hey, I’ve got a news for you!
Kami tidak akan terbuang, hanya karena harapan kami telah terbuang. Karena kami saling memiliki. Disatukan dalam sebuah asa yang sama. Melintasi sejuta perbedaan yang ada.
Sahabatku dalam grunge, berderaplah bersamaku, menuju hari baru. Dimana kita semua bisa menciptakan musik yang kita cintai, tanpa perlu khawatir dengan uang dan kejayaan. Dimana kita bisa menikmati musik yang kita sukai, tanpa perlu peduli dengan selera pasar. Dimana kita semua, tanpa kecuali, kembali pada semangat rock yang paling dasar: perlawanan!
Kita punya Alien Sick yang melintasi Jawa dengan tubuh luka. Kita punya Besok Bubar, Zu, dan Respito yang akan segera menelurkan album tanpa kompromi. Ada Cupumanik yang sedang tertidur lelap. Jangan lupakan belasan lainnya yang terus berderap melawan kehendak jaman, meski harus terseok-seok dan setengah mati.
Dan, diatas segalanya, kita punya Navicula!
Semalam saya berulang tahun untuk yang ke-31 kalinya. Cukup tua, untuk ukuran manusia. Tahun depan grunge berusia dua puluh tahun. Pantas kiranya jika saya mengatakan bahwa saya menghabiskan sebagian besar umur saya dengan grunge sebagai musik latar.
Dalam hati saya masih berharap untuk sekali lagi menyaksikan dewa-dewa kita semua berdiri. Besar menjulang dengan karya-karya dari hati. Bukan demi uang. Bukan atas nama pasar. Karena, sesungguhnya, kita semua ditakdirkan untuk mengikuti kata hati. Dan melawan semua yang menghalangi. Tanyakan itu pada Freud, pada Eddie, dan Robi.
Grunge Fair adalah sebuah perlawanan. Dan saya menyambutnya dengan hati terbuka. Meminjam lirik dari band favorit saya, Pearl Jam, mari kita lempar kegusaran ini ke muka dunia dan meneriakkan kebangkitan grunge, sekali lagi: “Fight to get it back again! Yeah! Yeah! Yeah!”