Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Musik 2011: Tribute to Nirvana - Selamanya Menyala

1 Mei 2011   07:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:12 438 0
Dalam film dokumentasinya yang diberi judul “7 Ages of Rock”, salah satu nara sumber BBC dengan sangat yakin menyatakan bahwa The Who-lah yang pantas disebut sebagai band rock pertama di dunia. Bukan Rolling Stones, apalagi The Beatles. Dalam musik dan konser The Who, demikian sang nara sumber memaparkan, terdapat wilayah abu-abu dimana batas antara hiburan dan bahaya menjadi kabur. Itulah definisi terbaik dari rock.

Dan Jumat, 28 Januari 2011 malam yang lalu, MU Cafe menjadi saksi betapa semangat rock murni yang lahir empat dekade lalu masih menyala dan membakar.

Pagelaran konser Tribute to Nirvana yang digagas oleh Mustang FM menjadi ajang moshing, crowd surfing, dan stage diving bagi lebih dari 300 audiens yang benar-benar liar. Itulah saat dimana performer meledakkan musik di panggung, sementara audiens meledakkan kepala masing-masing dalam ritual tabrak lari yang tipis saja bedanya dengan kerusuhan. Sebuah “Fuck You! Moment” yang sangat menyenangkan!

Selama tiga jam yang penuh distorsi dan keringat itu, gudang peluru Nirvana dikosongkan. Mega hits yang meledak di penjuru dunia, lagu keren yang tidak sempat mengudara di radio bahkan di era kejayaan Nirvana, hingga lagu cover yang hanya bisa ditemui di box set With The Lights Out menghantam.

Sebagian dimainkan seperti aslinya, sebagian dimainkan dalam karakter baru sesuai band yang membawakan, dan sebagian lainnya tidak terlalu berhasil. Namun semuanya sama: dimainkan dari lubuk hati yang paling dalam.

Tiga band audisi serta empat band utama yang terdiri dari Shock Breaker, Besok Bubar, Toilet Sounds, dan Daily Feedback memastikan bahwa malam itu dahaga para penggemar Nirvana Jakarta dapat terpuaskan. Saya sendiri datang terlambat, sehingga hanya kebagian Besok Bubar, Gugur Bunga, Toilet Sounds, dan Daily Feedback.

Besok Bubar, dimulai dari pagelaran Metropolutan Concert bersama Navicula dan berlanjut ke festival rock terbesar tanah air Java Rockingland, sepertinya sudah menemukan karakter sound dan standar permainannya. Satu kaki berdiri di grunge yang mengusung keindahan distorsi, satu lagi berpijak di berat dan bertenaganya sound metal. Kombinasi yang sama sekali tidak jelek!

Sejak awal, ketika membuka penampilannya dengan ucapan “Bismillahirohmanirohim (Tuhan yang maha pemberi dan penyayang),” sembari menggerai rambutnya yang seperti pohon beringin, Amar langsung mengirim semua ke surga. Lima lagu yang menghantam ditelan bulat-bulat oleh audiens, yang seolah kesetanan dan tak henti saling melemparkan tubuh.

Favorit saya sih, dua lagu terakhir. School dan Negative Creep. Seru!

Gugur Bunga jadi yang selanjutnya. Datang terlambat sehingga menggeser urutan performer, mereka bukan yang terbaik malam itu.

Sosok gitaris merangkap vokalisnya yang berambut pirang dan memainkan gitarnya secara kidal, cukuplah kiranya mengingatkan kita semua pada Kurt Cobain. Namun sejujurnya, bagi saya, adalah David dari Daily Feedback yang terlihat benar-benar serius menjiwai karakter bernyanyi dan bermain gitar dari salah satu dewa grunge itu.

Toilet Sounds, legenda grunge Jakarta yang dulu pernah mendapat predikat hot band dari MTV Asia, hadir dengan drummer tamu: Irsya dari Perfect Ten. Membuka penampilannya dengan About a Girl, mereka menyuguhkan tiga komponen yang menjadi sebagian penyebab kenapa Nirvana bisa meledak di seluruh dunia.

Yang pertama: cukup nekat untuk melakukan crowd surfing sambil terus memainkan gitar. Yang kedua: cukup gila untuk membanting gitar ke lantai panggung dan menyeretnya kesana kemari. Yang ketiga: pukulan drum yang luar biasa bertenaga, namun disaat yang sama, sangat enak didengar.

Dua yang pertama sukses dilakukan oleh Petrus, sang vokalis/gitaris Toilet Sounds, sementara yang paling akhir dengan mulus ditunjukkan oleh Irsya di nomor Breed. Luar biasa!

Daily Feedback jadi pamungkas.

Dari sekian banyak setlist yang mereka bawakan malam itu, adalah Very Ape yang menjadi favorit saya. Lagu yang dua malam sebelumnya, melalui siaran langsung di Mustang FM, disebut David sebagai lagu Nirvana yang paling berbau budaya Padang. Hahahaha!

Beberapa kali komplain kepada drummer-nya, David memuncaki penampilan Daily Feedback dengan memainkan gitarnya sembari enak-enakan crowd surfing.

Audiens, yang tentunya sudah lelah, begitu baik hati mengusungnya ramai-ramai dalam tempo yang lumayan lama. Yah, hitung-hitung ucapan terima kasih atas suguhan mereka yang menutup malam dengan sempurna.

Encore? Tentu saja, Smells Like Teen Spirit!

Dengan bertenggernya dewa-dewa grunge seperti Alice in Chains, Soundgarden, dan Pearl Jam di nominasi lagu dan album terbaik Grammy tahun ini, tentulah mata dunia terbuka. Semua menoleh ke belakang. Ke dua dekade lampau. Ke kota basah dan dingin di bagian Utara Amerika Serikat yang bernama Seattle.

Di awal kelahirannya, media massa menjadi bidan tunggal grunge. Ketika Kurt Cobain meninggal, media massa juga yang akhirnya membunuh grunge. Sekarang, ketika semua menggeliat, media massa mencari tempatnya dalam sejarah dan mengumandangkan slogan “Grunge is Not Dead!”

Bagi saya, itu semua omong kosong belaka.

Sejak pertama kali didefinisikan oleh Mark Arm, vokalis Green River dan kemudian Mudhoney, grunge itu memang tidak pernah sekarat, apalagi mati. Grunge hanya tidak muncul di media massa dan toko kaset. Namun dia terus hidup dalam hati penikmat seni, seperti juga definisi rock dari The Who yang terus menyala selama empat dekade terakhir. Dan mungkin, selamanya...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun