Bersama Tiko dan Tombol saya menyusuri jalan becek, mendaki bukit, dan melintasi padang rumput, menuju Main Stage 2 yang katanya akan jadi tempat manggung Navicula di sore hari yang cerah itu.
Sepuluh panggung besar berdiri terpisah jauh satu sama lainnya. Jangan bayangkan susunan apik dari pangung-panggung layaknya di Java Rockingland. Disini, untuk mencapai panggung yang dikehendaki, kita harus pandai-pandai membaca rambu yang jumlahnya sangat minim dan banyak bertanya pada petugas berseragam safari hitam atau kaos bergambar wayang yang berkeliaran.
Selebaran berisi jadual penampil, keterangan panggung, dan peta? Lupakan saja!
Setengah tiga sore dan mentari masih bersemangat sekali. Orang-orang gegas berjalan, mencari perlindungan di teduhnya pepohonan besar yang kebetulan memang bertebaran dimana-mana.
Suguhan pertama yang saya nikmati adalah Retina, band pop-rock yang digawangi oleh Irsya, yang band alter-egonya, Perfect Ten, sudah cukup dikenal sebagai biang rusuh tengah malam.
Tampil tanpa satu gitarisnya yang sedang sakit, Retina memainkan dua lagu: Bento dan Belajar Setia. Entah mengapa, ternyata sore itu ada beberapa penampil yang membawakan lagu-lagu Iwan Fals. Apakah karena cukup banyak kelompok anak ingusan yang nonton sambil bawa bendera OI?
Belajar Setia adalah lagu favorit saya di album perdana Retina. Lagu yang jenaka, bersemangat, meski tetap dengan lirik nakal yang memang tidak sepenuhnya saya amini. Namun setidaknya, bagi saya, Belajar Setia tidak kelewat pop dan bengal seperti single pendahulunya, Don Juan, hahaha!
Sungguh bukan pengalaman yang jelek, menikmati permainan live Retina untuk kali pertama di tengah bumi perkemahan yang sepintas lebih mirip hamparan semak belukar ini.
Retina kelar, saya lanjut ke Main Stage 2. Apa daya, ternyata jadual tampil Navicula diundur. Jadilah saya menikmati Club ‘80s, Krisyanto-nya Jamrud, dan Soneta serta Sonet 2. Ya, Anda tidak salah baca. Bang Haji Oma dan anaknya! Alamakjang!
Tak kurang dari 30 menit Bang Oma menghibur. Lebih tepatnya, melontarkan ceramah omong-kosong dan lantunan lagu yang tidak mampu saya kenali.
Selama waktu tampilnya itu, tak satupun hits Soneta yang dimainkan! Sungguh tega!
Bahkan penggemar fanatiknya sekalipun, yang sore itu berwujud ibu-ibu dan abang-abang tukang Aqua, menunjukkan mimik tersiksa dan berdiri mematung, alih-alih joget ceria seperti layaknya dalam pertunjukan dangdut. Mereka dengan lega dan sangat bersemangat pindah ke muka Main Stage 1 yang memang saling bersisian, ketika Ridho Sonet 2 muncul di akhir setlist Soneta.
Jadilah bapak dan anak itu bersahut-sahutan menyanyikan lagu penghabisan, dalam bahasa India pula!
Matahari sudah separuh jalan menuju peraduannya ketika The Hydrant, kumpulan musisi pecicilan dari Bali tampil.
Vokalisnya sungguh membuat audiens terpingkal. Aksi sisir rambut, lari-lari sepanjang jembatan penghubung ke Main Stage 1 yang jaraknya 50-an meter dari Main Stage 2, dilakukan sambil bernyanyi, dan tertawa!
Saya sih tidak kenal lagu-lagunya. Yang saya ingat hanya bait: “Pagi, jalan-jalan... Siang, jalan-jalan... Sore, jalan-jalan...” Tapi saya jelas ingat otot lengannya yg keras seperti onggokan batu karang, tawanya yang lebar, dan aksi sisir rambutnya yang kelewatan kocak, hahaha!
Langit sudah redup dan angin malam mulai bertiup menuju lembah ketika suara magis dari Bali itu berhembus. Empat lelaki berambut gondrong yang tak pernah berhenti membuat rahang saya terjatuh dengan pesona bunyi-bunyiannya. Navicula.
Sebuah nomor instrumental yang membius, yang terdengar keras namun merdu, yang rasanya juga mereka bawakan di perhelatan Djaksphere tempo hari, membuka setlist mereka petang itu. Setlist super singkat yang hanya terdiri dari 4 lagu.
Menghitung Mundur jadi yang pertama. Lagu yang menjadi racun memabukkan ketika pertama kali saya menyaksikan Navicula di Kemang, dua tahun lalu.
Menghadap panggung, di sudut kanan, puluhan anak bau kencur jumpalitan di pagar pembatas, menikmati lagu yang menghantam. Saya tidak pasti apakah mereka kenal Navicula, atau hura-hura saja dengan deru musik yang memang asyik. Terberkatilah jiwa muda mereka yang merdeka!
Dari ratusan audiens yang berkeliaran di depan Main Stage 2 petang itu, saya lihat beberapa mengenakan kaos berbau grunge. Ada Soundgarden, juga Nirvana. Pearl Jam? Cukuplah diwakili kaos Acoustology II yang dikenakan Tiko dan... Dankie!
Waktu manggung yang memang sempit dan Maghrib yang segera menjelang membuat Navicula bergegas menyelesaikan setlist-nya. Everyone Goes to Heaven menderap mantap, ditutup dengan carut-marutnya Jakarta di mata orang Bali: Metropolutan!
Robi hanya sempat mengucapkan beberapa patah kata perkenalan, sekaligus perpisahan, pada audiens yang sebagian besar mungkin belum pernah melihat Navicula. Saya, Tiko, Tombol, dan Gusti yang merapat tepat sebelum lagu pembuka dimainkan, jelas tidak puas.
Empat lagu Navicula? Ah, itu sih seperti makan selada air saat lapar menerjang!
Namun, demikian itulah rupanya definisi festival musik menurut Deteksi dan Indosat, dua nama dibalik perhelatan musik bertajuk “1.000 Bands United” ini: singkat, buru-buru, dan tentu saja, kehilangan sebagian besar makna.
Biarlah...
Bagi saya, berkesempatan menyaksikan Navicula sudah menjadi kenikmatan yang sepadan. Ditambah bonus The Hydrant, Retina, dan Si (mantan) Raja Dangdut, rasanya hari itu bisa ditutup dengan cukup menyenangkan, meski sebenarnya saya masih berharap dapat menyaksikan Supeman is Dead yang tak kunjung tampil.
Perhelatan ini, seperti semak belukar yang terhampar di seantero bumi perkemahan, adalah musik yang tumbuh liar. Hidup dan matinya seolah diserahkan sepenuhnya pada musisi yang bertarung di panggung, tanpa uluran tangan dari pengelola acara. Sungguh masih jauh sekali dari bentuk yang sempurna.