Jingga, hari ini adalah hari dimana kau harus menjauh dari hidupku, karena kau sudah tidak lagi mengerti tentangku, tidak mengerti apa-apa
tentang semua yang pernah aku lukiskan tentang kau dalam hatiku. Atau kau sendiri yang sudah tidak mau mengerti karena mata dan hatimu
sudah kau tutupi dengan kisah barumu bersama angin yang membawamu ke kursi pelaminan, yang katanya tidak kau kehendaki. Tapi kau
tersenyum bahagia dan mencibir di belakang punggungku. Mungkin...
Baiklah Jingga, jika hidupmu lebih bahagia dan kau bisa menari-nari gembira di udara, melayang-layang ringan karena tak lagi punya beban
yaitu aku, dan kau bisa bebas melangkah ke cakrawala, atau di tepi muara, seperti yang selalu aku janjikan dan tak pernah aku mampu wujudkan,
maka tepatlah jika kau menjauh dariku. Dan kuyakin kau takkan menoleh lagi melihatku mengutuk diri.
Jingga, aku tahu hari-harimu dulu bersamaku adalah kepahitan hidupmu, dan bersamaku adalah ujian hidup yang tak ada habisnya kau pikir. Jadi ketika kau memutuskan menjauh dariku, adalah keputusan mengakhiri masa ujianmu. Walaupun ujian dalam hidup sebenarnya adalah perjalanan yang tak ada kata akhir, kecuali kau mengakhiri hidupmu.
Baiklah Jingga, aku tahu semangat hidupmulah yang mendorongmu menjauh dariku, karena bersamaku adalah keputusasaan yang senantiasa
bergelanyut tak menentu. Dan aku bahagia, ketika semangatmu itu juga membuatku harus tegar menjalani hidup dengan semangat baru tanpa harus
bergantung padamu.
Semoga kau bahagia Jingga....
Aku, Agustus, 2015
***