Aturan yang melarang pengangkatan tenaga honorer atau yang sejenis terdapat dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 yakni di Pasal 8. Dengan demikian semestinya sejak berlakunya PP itu yakni tanggal 11 Nopember 2005 para pejabat yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah tidak diperkenankan mengangkat lagi tenaga honorer. Lantas kenapa pada kenyataannya aturan tersebut seolah dianggap sebagai angin lalu saja.
Alasan pertama, larangan pengangkatan honorer tidak disertai sanksi bila ada pelanggaran. Sebagaimana kebiasaan sebagian orang Indonesia yang patuh dengan aturan karena takut dikenai hukuman, bukan karena kesadaran. Orang takut melanggar lampu lalu lintas karena ada polisi, bukan karena kesadaran yang hal itu akan membahayakan jiwa, misalnya. Hal ini tampaknya menghinggapi pula penyelengaraan pemerintahan, hampir di semua level. Maka jangan heran, ketika sebuah larangan tidak disertai dengan sanksi, mudah ditebak akan dilanggar.
Alasan kedua, tumpang tindihnya kebijakan pemerintah sendiri. Kadang-kadang pemerintah pusat melalui kementeriannya mempunyai program yang harus dilaksanakan di daerah. Daerah sebenarnya turut diuntungkan karena manfaatnya bisa dinikmati langsung oleh rakyat daerah. Dana yang tersedia pun diberikan oleh pusat kepada daerah. Namun keterbatasan PNS daerah untuk mengelola program ini membuat daerah mau tak mau mengangkat pegawai non PNS. Tak peduli dengan larangan, toh manfaatnya dirasakan rakyat daerah, apalagi tidak membebani keuangan daerah.
Alasan ketiga dan ini yang paling mendasar, peraturan yang lebih tinggi tidak melarang pengangkatan tenaga honorer. UU Nomor 43 Tahun 1999 memberikan kesempatan pejabat yang berwenang untuk mengangkat tenaga honorer, dalam UU itu istilahnya pegawai tidak tetap (Pasal 2 ayat 3). Dalam hukum terkenal adagium lex superior derogat legi inferior, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Undang-undang jelas lebih tinggi kedudukannya daripada Peraturan Pemerintah.
Kesimpulannya, tak usahlah menyalahkan instansi-instansi yang terus saja ’membangkang’ menambah tenaga honorer jika pemerintah sendiri memberikan peluang untuk itu. Dan toh kenyatannya pemerintah pusat sendiri (melalui berbagai instansi dan kementeriannya) yang memberikan contoh ’pembangkangan’ itu.