Bau tubuhnya sudah menyengat sampai beberapa meter jauhnya. Rambutnya yang diikat
menggunakan sisa-sisa kain seadanya terlihat sangat kumal, mungkin sudah tak dikeramas dalam
beberapa hari ini. Di kakinya, lumpur kecoklatan yang melengket sudah kering sebelum sempat tersiram
air. Maklum beberapa hari ini cuaca sedang tak menentu di kota Kendari, kadang hujan deras
berjaam-jam, kadang juga tiba-tiba panas datang sangat menyengat. Tak pelak, jalanan becek dan
berlumpur. Bahkan sebagian jalanan masih ada yang terendam banjir.
Aku sangat bosan dengan cuaca seperti ini. Dan kukira, semua orang juga tak suka dengan
keadaan yang seperti ini. Kecuali, ya kecuali pengantin baru tentunya. Jika aku saja tak suka dengan hal
ini, apalagi bagi perempuan itu yang pekerjaan keseharianya menjual jamu keliling, tentu cuaca yang
tak bersahabat ini sangat tak nyaman untuknya. Bahkan akan menghalanginya untuk mendapatkan
rejeki yang lebih banyak. Aku kasihan melihatnya. Ia harus berkeliling kota menjajakan segelas demi
segelas jamu pada masyarakat. Padahal warga di jarang yang hobi minum jamu. Ritual itu hanya
digemari pendatang suku Jawa, Madura atau Bali yang memang senang menggunakan jamu sebagai
obat tradisional untuk mencegah penyakit. Tapi, sudah melalui jamu di botolnyalah ia mendapatkan
rejeki. Mungkin Tuhan sudah menetapkan garis tangannya bahwa ia harus jadi penjual jamu.
****
Seperti hari ini, setelah tadi subuh hujan sangat deras, siang ini justru panas sangat terik. Di
sekeliling jalanan kuamati seluruh bagian-bagian kota. Mataku menjelajah seluk-seluk kota yang masih
terlihat sangat jorok dan penuh sampah. Ya, bagian kota lama ini, tepat di depan kios-kios perhiasan
emas, air got yang menggenang terlihat sangat keruh kehitam-hitaman. Sampah yang menumpuk dan
air yang menggenang membuatnya menjadi lumpur yang sangat bau. Melihatnya saja aku ingin muntah.
Hanya para tukang ojek yang berebut penumpang dan aheng sopir angkot yang bertahan nongkrong di
tempat seperti ini.
Di antara bangunan-bangunan tua kota ini, kulihat perempuan itu tengah menawarkan
dagangannya yang tak lain adalah jamu. Seharusnya di hari yang sesiang ini jamunya sudah habis. Dan
dia sudah bisa pulang ke rumah dengan membawa sayur yang akan dimakan siang ini. Jika dia belum
pulang, berarti di rumah belum ada makanan dong. Hmm… salahku juga, tadi aku tak sarapan, jadi
siang ini aku harus puasa. Aku tak bisa mengharapkan akan cepat makan siang ini, karna aku yakin
perempaun itu tak akan pulang sebelum jualannya habis terjual. Aku tau betul sifatnya, pekerja keras
yang sangat pantang menyerah.
Dan karna sifatnya itulah aku sangat bangga kepadanya. Walaupun dia hanya penjual jamu,
aku tau itu pekerjaan yang halal. Sudah lebih dari dua puluh tahun dia menekuni pekerjaanya sebagai
tukang jamu. Mungkin sudah bermil-mil jarak yang ditempuh jika saja dikumpulkan dari waktu ke waktu
sejak aku kecil dulu. Tapi, betis perempuan itu mungkin betis ciptaan Tuhan yang sangat spesial,
sehingga masih mampu menopang badan ibu selama bertahun-tahun. Walaupun badannya kian ringkih,
keriput-keriput di wajahnya kian rapat, matanya kian sayu, dan tak sedikit mulai ditumbuhi katarak yang
berseliweran di kelopak matanya. Namun ia tetap tersenyum bangga kepaku, menyunggingkan senyum
setiap pulang. Dan selalu memberi semangat padaku ketika pagi datang, agar tak bernasib sama
sepertinya.
Perempuan itu selalu mengatakan, ” kamu harus bisa jadi orang, walaupun pekerjan Ibu jadi
penjual jamu, namun nasib bisa saja berubah, dan Tuhan tak akan mengubah nasib manusia kecuali
manusia itu sendiri yang mengubahnya. Makanya sekarang kamu harus sekolah biar gak kayak ibu” itu
adalah kata-kata perempuan itu yang sudah entah keberapa kalinya aku dengarkan.
Jika sudah begini, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Mungkinkah dari tangan seorang pejual
jamu aku bisa menjadi guru atau menjadi sekertaris di sebuah perusahaan? Ah orang jawa bilang "Guru
jamu" atau "Sekertaris Jamu".
****
Aku tak tau yang sebenarnya. Ketika aku berumurtuju tahu, ketka aku duduk di bagku SD, kata
guruku Ibu itu adalah orang tua perempuan kita. Tapi aku tak tau yang sebenarnya, apakah perempuan
itu memang ibuku atau bukan, aku tak paham. Teman-temanku juga memiliki ibu, dan mereka sangat
dekat dengan ibunya. Kadang aku membayangkan mereka seperti lakon sinetron keluarga cemara. Tapi
aku tak pernah seperti itu. Kedekatanku pada Ibu hanya sebatas ia memberiku nafkah dan
menasehatiku. Itu pun hanya sedikit saja, dan hanya itu-itu saja. Hari-hariku lebih banyak diisi
kekosongan dan kebisuan. Perempuan itu tak pernah memanggilku “nak”, juga pernah memelukku,
apalagi menciumku seperti yang dikatakan teman-temanku, ketika mereka berangkat sekolah, mereka
pasti akan mencium tangan ibunya, dan ibunya pun akan mencium pipi anaknya. Oh… indahnya jika itu
juga terjadi padaku. Dunia ini terasa sangat sepi. Tapi aku hanya punya Dia.
Mungkin benar kata perempuan ini, dan mungkin juga memang benar dia adalah ibuku.
Semenjak aku bisa membuka mata. Dialah yang aku panggil Ibu, walaupun sering jika aku
memanggilnya tak menggunakan sebutan Ibu. Dan aku tau dia tulus memenuhi segala kebutuhanku
walaupun aku tak pernah memintanya. Dan tentu seorang Ibu ingin anaknya hidup bahagia seperti yang
dia inginkan. Itu memang keinginan mulia darinya, walaupun hanya bekarja sebagai tukang jamu namun
perempuan yang biasa dipanggil Patonah ini tak pernah putus asa, dan selalu berusaha bagaimana agar
anaknya dapat bersekolah dengan baik.
Aku anak semata wayang di rumah perempuan ini, namun aku tak pernah mendapatkan kasih
sayang sebagai seorang anak. Apa mungkin karna ibuku ini sudah capek atau apa, yang pastinya sejak
ayahku tak pernah lagi muncul di rumahku ini, ibu pun juga tak pernah menganggapku ada.
Betahun-tahun aku didiamkannya, hingga suatu hari, aku ingat ibu membawaku ke suatu tempat dan
ibuku mengatakan bahwa itu adalah sekolah, aku harus belajar di tempat itu dan tak boleh nakal. Itulah
yang ku ingat ibuku pertama kali mengucapkan kata-katanya setelah Ayah menghilang.
***
Aku masih ingat, dulu aku sangat bahagia tinggal di rumah yang sangat sempit ini. Rumah
kos-kosan papan sederhana yang hanya terdiri dari satu kamar utama, satu ruang tamu, dan satu
ruangan lagi yang disekat dari ruang tamu yang ditempati oleh seorang perempuan yang aku sebut
“tante’. Aku biasa bermain-main dengan Ayahku, dan perempuan itu sementara ibuku memasak.
Dapurku hanyalah halaman belakang yang ditutup dengan papan-papan rusak sebagai dindingnya.
Ayahku bekerja sebagai sopir mobil angkot jurusan kota-kampus. Sebagai seorang sopir, uang Ayah
mungkin sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami. Karna aku sering
mandengar Ibuku kekurangan uang belanja dan bertengkar dengan ayah. Tapi pertengkaran Ibu sangat
santun. Tak pernah Ibu membentak-bentak Ayah hingga terjadi insiden keributan atau bahkan
kekerasan.
Ketika ibu menjual jamunya, aku tinggal berdua bersama tanteku. Dia perempuan yang baik
padaku. Jika aku ingin makan atau pipis, tante yang selalu melayaniku. Dia juga baik pada ayahku, dia
biasa menyiapkan makanan sisa sarapaan pagi untuk Ayah ketika pulang sebentar sewaktu bawa mobil.
Dan ayah juga baik padanya, dia sering membelikan sesuatu yang diberikan kepada tanteku. Hingga
tante dapat tertawa dengan sangat senang dikamarnya.
Walaupun ibu sering bertengkar dengan ayah, namun ibu tetap sabar dan berusaha untuk
mencukupi kebutuhannya dari jualan jamu keliling. Adik ibuku yang hanya tamatan SMP sangat susah
mencari pekerjaan yang hanya sekedar cukup untuk memenuhi keutuhannya sendiri. Jika ada, itu pun
hanya sebagai pembantu rumah tangga. Dan ayahku, tak setuju jika adik iparnya itu harus dipekerjakan
sebagai pembantu rumah tangga. Ia berjanji untuk mencarikan pekerjaan yang lebih baik selain
pembantu rumah tangga. Sehingga tanteku hanya menganggur luntang luntung tak jelas karuannya.
Walaupun ibuku sering merasa kurang dengan penghasilan ayahku, dan biasa hidup dengan
serba kekurangan. Tapi nyatanya, tetap saja ia tak bisa berbuat apa-apa dan ibukulah yang terpaksa
harus mancukupinya. Tapi walaupun ibu dengan susah payah sudah mambantu ayah, sepertinya ayah
tepat santai-santai saja, dan ia masih bisa membelikan barang-barang yang disukai tante, bedak, jam
tangan, dan pernak-pernik lainnya yan tentunya tak diketahui oleh ibuku. Sementara ibu harus
menambah jam berjualannya agar menambah penghasilan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami
***
Suatu pagi, aku heran, ketika aku bangun pagi biasanya ibu sudah tidak ada. Tapi, pagi ini ibu
ada di rumah. Atau barangkali ibu belum berangkat. Tapi, tak ada juga barang-barang yang biasa di
bawa ibu ketika menjual jamu keliling. Tanpa bicara dan masih dalam diam, aku berlari ke dapur, dan
ternyata, oh… barang-barang bawaannya ibu masih tersusun rapi. Tak ada warna-warna merah bekas
kunyit yang biasa berceceran di lantai tanah belakang tempat memasakku ini, dan semuanya masih
terlihat sangat rapi.
Kulihat mata ibu merah dan sangat sembab. Aku tak pernah melihat hal aneh ini sebelumnya.
Apa yang telah terjadi aku pun tak paham, yang aku lihat pagi ini terbalik. Ayah tak ada di rumah, dan
ibu ada di rumah dalam tatapan kosong, bengong dengan mata sembab, dan membiarkanku kelaparan.
Untung ada tanteku yang menyendokkanku nasi, sehingga aku tak kelaparan. Kulihat tante berperilaku
aneh hari ini. Tak ada lagi senyum renyahnya bersama ayahku. Dia sangat pediam dan tak berani
manatap ibuku.
***
Hari itu adalah hari terakhir ketika kulihat ayahku pulang siang, yang kemudian disiapkan
makan siang oleh tanteku. Ayah hari itu sangat bahagia. Ayah memeluk tanteku dn menggendong ke
kamarnya, aku sudah biasa melihat hal ini terjadi berulang-ulang. Dan aku juga sering di gendong oleh
ayahku. Aku tak heran jika ayah juga selalu menggendong tanteku. Ayah hanya menggendongku ketika
menunggui ibuku memasak atau menunggu sarapan. Tapi, jika Ayah sudah menggendong tanteku, ayah
selalu membawa tanteku di kamar. Dan pintu kamar tanteku akan tertutup. Aku disuruhnya main-main
sendiri di sekitar rumahku. walaupun aku tak punya teman di sekeliling rumahku. Sehingga aku hanya
berdiam diri di rumah. Aku tak tau apa yang dilakukan tante dan ayahku. Aku selalu mendengar suara
yang aneh-aneh. Hingga suatu hari, ayah tak kunjung keluar-keluar dari kamar tanteku. Aku sangat
kesepian. Aku ingin makan, tapi tante tak kunjung keluar-keluar juga. Dari kejauhan aku
melihat ibu pulang dengan membawa sayur yang agak banyak dibanding hari-hari sebelumya. Tumben
ibu membawa sayur yang cukup banyak. Mungkin uang yang diperoleh ibu hari ini banyak. Dari
kejauhan, aku mengejar ibu dan berlari menjemput ibu:
“ibu, ibu, aku ingin makan, Santi lapar bu,,,” aku merengek pada ibuku
“loh, memangnya mana tantemu?”
“tante masih di kamarnya dengan ayah”
Sejenak ibu berhenti, dia melihat mataku. Ada pertanyaan di sana. Namun ibu hanya diam, dan bergegas
menuju rumahnya. Dan semuanya disaksikan sendiri oleh ibu ketika ia membuka paksa kamar tante.
***
Jika kini ibuku mampu untuk menopang semua kebutuhanku, aku sudah yakin ibu dapat
melakukannya dengan mudah tanpa harus bergantung pada laki-laki lain. Jika sekarang ibuku pendiam,
mungkin itu dikarenakan akibat luka masa lalu ibu. Kini aku sudah bisa berpikir, dan menerka apa yang
terjadi pada perempuan ini. Tapi aku tak pernah mengungkit hal ini. Aku sudah cukup paham. Aku tak
ingin menambah luka hati perempuan yang sudah semakin tua ini.
Aku kini tak punya lagi teman selain dia. Orang tua keriput yang katanya ibuku. Aku juga tak
lagi mengetahui di mana tanteku sekarang. Katanya ibuku, tante kini telah mempunyai keluarga sendiri.
Yah… mungkin itu benar, karena tak lama setelah ayah pergi. Tante punya anak, dan aku memiliki adik
sepupu dari tanteku. Sayang tak lama setelah itu tante tak lagi tinggal di rumahku. Padahal aku sangat
bahagia mempunyai teman baru yang lucu. Aku masih ingat waktu itu tante sempat mencium pipiku.
Aku juga tak pernah melihat, mana yang disebut suami tanteku itu.