Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Menemukan Kepingan Sejarah Bangsa Lewat Analisis Bahasa

2 Mei 2012   06:10 Diperbarui: 18 Juni 2016   18:46 1854 1

Hampir semua suku-bangsa yang berada dalam lingkup bahasa Austric tidak memiliki aksara, termasuk juga dalam superstock Celebic, bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi, yang didalamnya terdapat keluarga bahasa Mori. Ketiadaan aksara, menghilangkan juga banyak memori dimasa lalu seperti silsilah, sistem adat dari waktu ke waktu, sistem religi, kesenian, cerita-cerita rakyat, perayaan-perayaan, dan terutama sekali sejarah bangsa.

Kehilangan banyak hal tersebut menghasilkan krisis identitas pada generasi-generasi yang lebih baru. Kebiasaan penggunaan bahasa Indonesia oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya menyebabkan hilangnya salah satu bentuk identitas yang mudah dikenali selain kerugian dari segi kelangsungan salah satu bahasa dan kemungkinan pengembangannya. Sistem religi yang dianut oleh masyarakat yang dalam prosesnya menghilangkan jejak kepercayaan masa lalu serta semua ritualnya ke dalam samudera takhayul tanpa pernah dibuatkan catatan tertulis sebagai inventaris kebudayaan dan sejarah bangsa ikut memperparah proses tersebut.

Pergulatan ide seperti ini berlaku pada generasi-generasi yang lebih baru, yang membutuhkan identitas lengkap ketika bergaul dengan aneka identitas yang lain, termasuk juga memuaskan semua pertanyaan sejarah dan asal-usul mereka. Bangsa yang hanya mengandalkan memori ‘lisan’ selalu terbentur pada minimnya catatan yang bisa didapatkan sekadar untuk memuaskan sejenak dahaga identitas.

Pencarian akan kepingan-kepingan sejarah masa lalu seperti yang terjadi dalam masyarakat asli di Kabupaten Luwu Timur, yang berdiam di tiga kecamatan yaitu Wasuponda, Nuha, dan Towuti. Suku-suku bangsa tersebut adalah To Padoe, To Karunsi’e,To Tambe’e,danTo Soroako di tengah kepungan modernitas yang membuat lena akan sejarah, yang mutlak untuk membentuk identitas yang lebih lengkap.

Salah satu alat untuk memahami kepingan yang berserakan tersebut adalah bahasa.

Pencarian Identitas Kebahasaan di Sulawesi Bagian Timur-Tenggara

Pada tahun 1831, J.N. Vosmaer mengitari bagian tenggara sulawesi dan menjadi yang pertama menyediakan informasi soal penduduk dan bahasanya; sembilan tahun kemudian seorang berkebangsaan Inggris, James Brooke memimpin sebuah ekspedisi yang menyelidiki area seputaran teluk Bone; dan pada tahun 1950 Capt. Van Der Hart mengunjungi beberapa lokasi di pantai sebelah timur sulawesi timur-tenggara dalam perjalanannya dari Makassar ke Ternate.

Pada tahun 1852 dan 1856 Gubernur Goldman di Maluku menyetujui ekspedisi untuk mengeksplore bagian timur Sulawesi tengah. Ekspedisi yang kedua pada 1856 inilah yang pertama memasuki sampai kebagian dalam hingga dipaksa mundur oleh orang Mori di Pertahanan Ngusumbatu sekitar 40 km dari mulut sungai Laa.

Pada tahun 1874 seorang naturalis berkebangsaan Italia Odoardo Beccari menghabiskan sekitar setengah tahun menjelajah peninsula Sulawesi tengah-tenggara. Akan tetapi bahkan setelah semua itu, bagian terdalam di sekitar danau Matano dan Towuti, di jantung masyarakat berbahasa Mori, belum “ditemukan” oleh orang Eropa hingga 1896 ekspedisi oleh Fritz dan Paul Sarasin.

Penelitian bahasa dan etnologi pertama di daerah Sulawesi bagian timur tenggara dilakukan oleh missionaris dan ahli bahasa Adriani (1900) mengenai bahasa Bungku dan Mori, dan seterusnya setelah itu bahasa Mori terus mendapat perhatian oleh Van Ellen & Ritsema (1918-1919), J. Kruyt (1919), dan Esser (1927-1933). Di bagian lebih tenggara, missionaris H. van der Klift mulai menganalisis bahasa Mekongga pada 1915.

Setelah kemerdekaan, beberapa peneliti bahasa dan etnis kemudian meneruskan penelitian mengenai bahasa-bahasa dan bangsa di area sulawesi timur-tenggara. Diantaranya  Salzner (1960), Anceaux (1978), Barr & Barr (1979), Sneddon (1983), Grimes & Grimes (1987), Karhunen & Vuorinen (1991) dan Mead (1999).

Beberapa diantara mereka kemudian memberikan klasifikasinya untuk bahasa-bahasa di daerah ini.

(1) Adriani dan Kruyt (1914)

Adriani dan Kruyt meletakkan dasar klasifikasinya pada penyebaran perubahan bunyi secara historis dan kesamaan morfologi. Untuk dialek, mereka mengikuti kebiasaan pada saat itu dan menentukan kekerabatan berdasarkan kata negatif yang digunakan dalam bahasa tersebut.

Berdasarkan pertimbangan itu, Adriani membagi bahasa-bahasa diarea sulawesi timur-tenggara kedalam kelompok bahasa mori-bungku menjadi empat bahasa yaitu: 
1) Bungku 
2) Mori 
3) Lalaki (atau Laiwui) 
4) Mekongka

Didalam kelurga bahasa Morisendiriterdapat empat dialek menurut Adriani yaitu:
1) Mori Timur
2) Mori selatan (Termasuk Tambe’e)
3) Soroako-Karunsi’e-Sinongko 
4) Padoe

(2) Salzner (1960)

Salzner menggunakan istilah yang digunakan oleh Adriani, kelompok bahasa Bungku-Mori dengan empat bahasa, yaitu:

1) Mori barat
2) Mori Timur
3) Mori Selatan (Termasuk Tambe’e)
4) Soroako-Karunsi’e-Sinongko
5) Padoe

(3) Sneddon (1983)

Sneddon menggunakan istilah yang digunakan oleh Adriani, kelompok bahasa Bungku-Mori dengan empat bahasa, yaitu:

1) Mori 
2) Bungku 
3) Lalaki/ Laiwui 
4) Mekongka


(4) Karhunen dan Vuorinen (1991)

Marjo Karhunen dan Paula Vuorinen pada tahun 1988 memulai penyelidikannya di Sulawesi Tengah dan Selatan untuk menentukan lebih teliti dialek-dialek dalam bahasa Mori. Setelah membandingkan bukti leksikostatistik dari daftar 24 kata, mereka mengemukakan tiga bahasa ada di daerah Mori yaitu Padoe, Mori Atas (termasuk Tambe’e) dan Mori Bawah (Termasuk Soroako dan Karunsi’e).

(5) Mead (1999)

Penelitian David E. Mead dilakukan pada seluruh bahasa dan dialek yang termasuk dalam stock Bungku-Laki, yaitu bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan erat yang tersebar dari Luwuk sampai Kendari, Sulawesi bagian timur-tenggara, yaitu keluarga bahasa Mori, Bungku dan Tolaki.

Hasilnya kemudian dipresentasikan dalam bukunya The Bungku-Tolaki Languages of South-Eastern Sulawesi, Indonesia; Pacific Linguistics; 1999,dan digunakan sebagai acuan dan sumber data dalam tulisan ini.

Metode Leksikostatistik dan Glotokronologi

Metode leksikostatistik adalah bagian dari sebuah cabang linguistik yang mempersoalkan bahasa-bahasa sekerabat dengan mencari persentase kekerabatan bahasa dengan membandingkan kata-kata (leksikon) dan kekerabatan yang ada. Teori mengenai metode ini mula-mula dikembangkan oleh Morris Swadesh dan Robert Less pada 1950an.

Metode yang digunakan adalah pertama menentukan kosa kata pokok yaitu kata-kata yang secara umum pasti dimiliki oleh sebuah komunitas meski sebelumnya komunitas tersebut tidak memiliki bahasa karena dalam komunikasi dalam komunitas kata-kata ini dibutuhkan dan yang sulit sekali berubah. Dengan membandingkan semua kosakata pokok yang ada dapat ditentukan persentase kosakata yang sama antar dua bahasa atau lebih sehingga didapatkan pola kekerabatan antara kedua bahasa.

Lebih jauh dengan metode glotokronologi sebuah pendekatan dibuat untuk menghitung jumlah waktu dalam tahun, pemisahan antara dua bahasa yang telah diketahui persentase kekerabatannya.

Klasifikasi Bahasa-Bahasa Sulawesi Timur-Tenggara

Klasifikasi bahasa yang diterima oleh kalangan akademisi di daerah Sulawesi timur-tenggara adalah sebagai berikut:

No      Bahasa            Dialek

1        Moronene          Moronene
2        Moronene          Tokotua
3        Taloki                  Taloki
4        Kulisusu            Kulisusu
5        Koroni                 Koroni
6        Wawonii             Wawonii
7        Wawonii             Menui
8        Bungku              Landawe
9        Bungku              Tulambatu
10      Bungku              Waia
11      Bungku              Torete
12      Bungku              Bungku
13      Bungku              Routa
14      Bahonsuai         Bahonsuai
15      Mori Bawah       Watu
16      Mori Bawah       Bahano
17      Mori Bawah       Mo’iki
18      Mori Bawah       Ngusumbatu
19      Mori bawah        Roda
20      Mori Bawah       Petasia
21      Mori Bawah       Kangua
22      Mori Bawah      Soroako
23      Mori Bawah      Karunsi’e
24      Padoe                Padoe, Lasulawai
25      Padoe                Padoe, Kawata
26      Padoe                Padoe, Taliwan
27      Mori Atas           Tambe’e
28      Mori Atas            Ulu’uwoi
29      Mori Atas            Impo
30      Mori Atas            Molongkuni
31      Mori Atas            Kolokolo
32      Mori Atas            Olota
33      Mori Atas            Lolonggoio
34      Mori Atas            Wulanderi
35      Mori Atas            Doule
36      Mori Atas            Molio’a
37      Mori Atas            Molio’a
38      Tomadino           Tomadino
39      Waru                   Waru
40      Waru                   Lalomerui
41      Tolaki                  Wiwirano
42      Tolaki                  Asera
43      Tolaki                  Konawe
44      Tolaki                  Mekongga
45      Tolaki                  Laiwui
46      Rahambuu        Rahambuu
47      Kodeoha             Kodeoha

Untuk pengelompokan bahasa digunakan batasan oleh Grimes dan Grimes (1987) yaitu:

  • Persamaan leksikon sebesar <15% berarti kedua bahasa berbeda phyla
  • Persamaan leksikon antara 15% dan 25% berarti kedua bahasa sama phyla
  • Persamaan leksikon antara 25% dan 45% berarti kedua bahasa sama superstock
  • Persamaan leksikon antara 45% dan 60% berarti kedua bahasasama stock
  • Persamaan leksikon antara 60% dan 75% berarti kedua bahasasama family
  • Persamaan leksikon antara 75% dan 80% berarti kedua bahasasama subfamily
  • Persamaan leksikon antara 80% dan 90% berarti kedua bahasasama language
  • Persamaan leksikon sebesar >90% berarti keduabahasa sama dialect

Setiap dialek dan bahasa kemudian disurvei dengan meminta responden masing-masingmemberikan kata-kata padanan terhadap 226 kata pokok tersebut dan dibandingkan. Kekerabatan leksikon sebesar 50% berarti bahwa dari 226 kata yang digunakan sebagai acuan tersebut, ada 113 kata yang sama antara kedua bahasaatau dialek yang dibandingkan.

Matriks hasil leksikostatistik dari survey yang dilakukan oleh Mead untuk bahasa-bahasa dalam stock Bungku-Tolaki sebagai berikut:

Sementara lebih dalam terhadap keluarga bahasa Mori sebagai berikut:

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa untuk bahasa Soroako, Tambe'e, Karunsi'e dan Padoe sebagai berikut:

1) Bahasa Soroako, terhadap Bahasa-Bahasa Mori Bawah sebesar 82%,Terhadap Bahasa Padoe 81%, dan terhadap Bahasa-Bahasa Mori Atas sebesar 70%.
2) Bahasa Karunsi’e, terhadap Bahasa-Bahasa Mori Bawah sebesar 81%,TerhadapBahasa Padoe 80%, dan terhadap Bahasa-Bahasa Mori Atas sebesar 73%.
3) Bahasa Tambe’e, terhadap Bahasa-Bahasa Mori Bawah sebesar 74%,terhadapBahasa Padoe 77%, dan terhadap Bahasa-Bahasa Mori Atas sebesar 81%.
4) Bahasa Padoe, terhadap Bahasa-Bahasa Mori Bawah sebesar 75% danterhadap Bahasa-Bahasa Mori Atas 74%.

Dari hasil perbandingan kekerabatan dengan metode leksikostatistik tersebut, dapat dilihat bahwa Bahasa Soroako (To Taipa, To Rahampu’u dan To Nuha) lebih dekat dengan bahasa Mori Bawah dengan tingkat kekerabatan leksikon sebesar rata-rata 82%. Dengan tingkat persamaan leksikon sebesar 80%-90% demikian Bahasa Soroako digolongkan sebagai salah satu dialek dalam Bahasa Mori Bawah.

Bahasa Karunsi’e secara leksikostatistik juga lebih dekat dengan Bahasa Mori Bawah dibanding Padoe dan Mori Atas dengan rata-rata sebesar 81%. Dengan tingkat persamaan leksikon sebesar 80%-90% demikian Bahasa Karunsi’e digolongkan sebagai salah satu dialek dalam Bahasa Mori Bawah.

Bahasa Tambe’e secara leksikostatistik lebih dekat dengan Bahasa Mori Atas dengan kekerabatan Leksikostatistik sebesar 81%. Dengan tingkat persamaan leksikon sebesar 80%-90% demikian Bahasa Tambe’e digolongkan sebagai salah satu dialek dalam Bahasa Mori Atas.

Bahasa Padoe secara leksikostatistik dari tiga desa narasumber (Lasulawai, Kawata dan Taliwan), memiliki rata-rata kesamaan leksikon sebesar 75% dengan Bahasa Mori Bawah dan 74% dengan Mori Atas. Berdasarkan bukti tersebut dan dengan perbedaan struktur/pola bahasa yang jelas, David Mead mengikuti Karhunen dan Vuorinen (1991) menggolongkan Bahasa Padoe sebagai Bahasa tersendiri dan menggolongkannya sebagai Sub-family Mori.

Berdasarkan uraian diatas maka David Mead (1999) berkesimpulan bahwa untuk garis keturunan bahasa-bahasa bangsa Padoe, Karunsi’e, Soroako dan Tambe’e sebagai berikut:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun